NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 8

Kabut siang yang biasanya cepat menghilang, entah mengapa hari itu menggantung lebih lama di halaman Pondok Nurul Falah. Udara lembap menyelip masuk lewat celah jendela ruang tamu, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh semalam. Langkah-langkah santri di luar terdengar pelan, seolah mereka enggan menimbulkan suara di tengah ketegangan yang menyelimuti pondok.

Dilara duduk di kursi kayu panjang, tubuhnya tegak tapi matanya menyiratkan kegelisahan. Ia meremas ujung kerudungnya di pangkuan, mencoba menjaga agar napasnya tetap teratur. Salsa duduk sedikit di belakang, tatapannya bergantian antara Dilara dan Gus Zizan, siap ikut bicara jika sahabatnya itu kembali disudutkan.

Ummi Latifah menatap mereka berdua bergantian, lalu mengalihkan pandangannya pada Gus Zizan yang duduk di sisi kiri meja. “Gus, apa benar panjenengan yakin bisa menyelidiki ini tanpa menimbulkan keributan?” tanyanya, nadanya masih mengandung keraguan.

Gus Zizan mengangguk perlahan, tapi matanya tetap terarah pada Dilara. “Saya hanya ingin mencari kebenaran, Ummi. Dan saya tidak mau ada santri yang dihukum tanpa bukti jelas. Apalagi kalau itu fitnah.”

Ucapan itu membuat jantung Dilara berdegup lebih kencang. Ada nada keyakinan yang membuatnya ingin menangis, namun ia menahan diri.

“Kalau begitu,” sambung Ummi Latifah, “silakan, tapi tolong semua langkahnya dikabarkan pada saya. Kita tidak mau ada gosip baru.”

“Insya Allah,” jawab Gus Zizan singkat.

Sebelum percakapan berakhir, Dilara memberanikan diri bicara. “Ummi… kalau boleh, saya ingin tahu… barang bukti sandal itu, bisa saya lihat lagi?”

Ummi mengangguk dan memberi isyarat pada Ustadzah Siti untuk membawa plastik berisi sandal lusuh itu. Begitu plastiknya diletakkan di atas meja, Dilara memperhatikannya dengan saksama. Ia membungkuk sedikit, menatap detail sandal itu—dari bentuk sol, jahitan, sampai bekas lumpur yang mengering di bagian depannya.

Sesuatu membuatnya mengernyit. “Lumpurnya… ini bukan lumpur dari halaman pondok,” ucapnya lirih.

“Kenapa kamu yakin?” tanya Gus Zizan.

“Kalau dari halaman pondok, lumpurnya lebih cokelat tua dan ada serpihan rumput kecil. Ini warnanya agak keabu-abuan, seperti tanah liat bercampur pasir. Saya pernah lihat… waktu kerja bakti di kebun belakang rumah warga, di luar pagar barat.”

Salsa yang sedari tadi tegang, langsung menimpali, “Berarti jelas dong, sandal ini dari luar!”

Ummi Latifah terdiam, menimbang ucapan itu. Sementara Gus Zizan menatap sandal itu lama-lama, lalu mengangguk kecil, seolah sudah mendapatkan petunjuk awal.

Di luar ruang tamu, kabut perlahan menipis, menyingkap pemandangan halaman belakang pondok. Wulan berdiri di balik tembok dekat taman kecil, memperhatikan dari kejauhan. Ia mengeratkan genggaman di mukenanya. Pikirannya berputar cepat—jika Gus Zizan benar-benar turun tangan, semua rekayasa ini bisa terbongkar.

Rani menghampirinya dengan langkah gugup. “Lan… ini udah kelewatan. Kalau sampai ketahuan…”

“Diam, Ran,” potong Wulan dingin. “Kita cuma perlu percepat rencana ketiga. Setelah itu, semua akan yakin kalau Dilara memang melanggar aturan. Gus Zizan pun nggak akan bisa nolong dia.”

“Tapi—”

“Kalau kamu nggak mau ikut, sekarang waktunya mundur. Tapi ingat, fasilitasmu di pondok… dan uang saku tambahan itu…” Wulan mengangkat sebelah alisnya, membuat Rani menunduk tanpa berani membantah.

Sore itu, langit mendung tipis. Beberapa santri sedang menyapu halaman depan, sementara di sudut lain, suara tadarus dari musala kecil terdengar lirih. Dilara memilih tetap di kamar, duduk di lantai dekat jendela. Pikirannya terus memutar kejadian pagi tadi.

Mita masuk sambil membawa segelas teh hangat. “Lara, minum dulu. Wajahmu pucat banget.”

Dilara tersenyum tipis. “Makasih, Mit. Aku cuma… capek mikir.”

“Gus Zizan kayaknya beneran mau nolong kamu,” kata Mita sambil duduk di hadapannya. “Tapi kita nggak bisa cuma nunggu. Kalau memang ada yang ngejebak, kita juga harus cari bukti.”

Salsa yang baru saja masuk langsung setuju. “Iya. Aku udah punya ide. Nanti malam, kita coba intip ke sekitar pagar timur dan barat. Siapa tahu ada yang aneh.”

“Tapi itu berisiko,” sahut Dilara.

“Lara, sekarang semua udah menganggap kamu bersalah. Kalau kita nggak gerak, mereka bisa bikin bukti palsu lagi,” tegas Salsa.

Dilara terdiam, lalu mengangguk. “Baik. Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai ketahuan.”

Sementara itu, di kediaman kyai, Gus Zizan memanggil Devan. Mereka duduk di ruang kerja kecil yang penuh rak kitab.

“Devan, malam ini aku mau keliling pondok. Tapi nggak bisa sendirian. Aku butuh kamu untuk ngawasin dari jarak jauh,” ujar Gus Zizan.

“Siap, Gus. Kita mulai dari pagar timur?”

“Ya. Aku curiga orang yang menaruh sandal itu tahu persis titik rawan keluar-masuk pondok. Kalau benar, berarti dia punya akses yang nggak dimiliki semua santri.”

Devan mengangguk paham. “Kalau ketahuan sama pengurus?”

“Kita nggak akan ketahuan. Malam ini kabut tebal lagi, itu bisa jadi keuntungan kita,” jawab Gus Zizan dengan nada mantap.

Malam tiba lebih cepat dari biasanya. Lampu-lampu asrama mulai menyala, menciptakan lingkar cahaya kekuningan di halaman. Kabut turun lagi, lebih pekat dari sore tadi, membuat udara terasa lembap menusuk kulit.

Dilara, Salsa, dan Mita keluar kamar dengan alasan hendak mengambil air panas di dapur. Setelah memastikan lorong sepi, mereka menyelinap menuju pintu belakang asrama.

Di sisi lain, Gus Zizan dan Devan sudah berada di dekat pagar timur, bersembunyi di balik semak besar. Dari tempat itu, mereka bisa melihat sebagian area tumpukan batu bata yang disebut Pak Yusuf pagi tadi.

Suasana hening, hanya terdengar suara jangkrik dan tetesan air dari talang seng.

Tiba-tiba, dari arah lorong belakang asrama, muncul dua sosok berpakaian gelap. Mereka bergerak cepat menuju pagar timur. Gus Zizan menyempitkan mata, mencoba mengenali, tapi kabut terlalu tebal.

Dilara yang diam-diam mengintip dari balik pohon, merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia mengenali salah satu gerakan itu—cara berjalan yang terburu-buru, dengan bahu sedikit condong ke depan. Itu… Rani?

Orang kedua membawa sesuatu di tangannya. Mereka berhenti di dekat tumpukan batu bata, lalu membungkuk, seperti sedang meletakkan atau mengambil sesuatu.

Gus Zizan memberi isyarat pada Devan untuk mendekat dari sisi kanan, sementara ia sendiri melangkah perlahan dari sisi kiri. Namun sebelum mereka bisa mendekat cukup jauh, kedua sosok itu mendadak menoleh dan kabur ke arah pagar barat.

Dilara, Salsa, dan Mita saling pandang, lalu spontan mengikuti dari jarak aman. Namun karena kabut tebal, mereka kehilangan jejak.

Gus Zizan menghampiri titik tempat kedua orang itu berhenti. Di sana, ia menemukan bungkusan kain kecil berwarna hitam. Ia membukanya perlahan—di dalamnya ada potongan kain seragam pondok yang kotor berlumpur, serta selembar kertas kecil bertuliskan tanggal dan jam tertentu.

Devan memandang heran. “Ini… semacam catatan? Kenapa ada di sini?”

Gus Zizan tidak langsung menjawab. Ia menatap kabut pekat di sekeliling, lalu berkata lirih, “Ini bukan cuma jebakan untuk Dilara. Ini rencana yang disusun rapi. Dan mereka belum selesai.”

Sekitar setengah jam kemudian, Dilara kembali ke kamar. Raut wajahnya masih tegang. “Kalian yakin tadi itu Rani?” tanyanya pada Salsa dan Mita.

“Aku hampir yakin,” jawab Salsa. “Tapi aku nggak bisa lihat jelas siapa yang satunya lagi. Badannya kayak… Wulan.”

Mita menghela napas. “Kalau benar mereka, kita harus punya bukti yang nggak bisa dibantah. Kalau cuma dugaan, mereka bisa balik nuduh kita fitnah.”

Dilara memeluk lututnya. “Aku nggak mau perang gosip. Aku cuma mau kebenaran keluar.”

Di luar, kabut semakin tebal, dan dari kejauhan, terdengar suara pintu pagar besi berderit pelan.

Tanpa mereka sadari, di balik kabut itu, Wulan berdiri bersama Rani di dekat pagar barat, memegang sesuatu yang dibungkus plastik. Wulan tersenyum tipis. “Rencana ketiga siap. Besok pagi, semua akan selesai… dan Dilara akan keluar dari pondok ini.”

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!