Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Khanza sudah sampai di rumah sakit dan ia menunggu di depan ruang UGD.
"Ya Allah, selamatkan suamiku." gumam Khanza.
Sudah satu jam Khanza berada disana menunggu dokter yang masih memeriksa keadaan Reza.
Khanza duduk gelisah di kursi tunggu, tangannya terus meremas ujung jilbabnya.
Matanya sembab, basah oleh air mata yang tak kunjung kering.
Pintu UGD terbuka, seorang dokter keluar sambil menurunkan masker ke dagunya.
Khanza langsung berdiri, jantungnya berdebar keras.
“Dok, bagaimana keadaan suami saya? Bagaimana Mas Reza?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Kondisi suami Anda cukup kritis. Dia mengalami serangan jantung ringan akibat tekanan emosi yang tinggi. Untungnya Anda cepat membawanya ke rumah sakit, kalau terlambat sedikit saja bisa berbahaya.”
Khanza menutup mulutnya, tubuhnya lemas seketika.
“B-boleh saya lihat suami saya, Dok?” suaranya nyaris tak terdengar.
“Sebentar lagi, setelah kondisi beliau sedikit lebih stabil. Untuk saat ini, kami mohon Ibu tetap tenang. Suami Anda butuh ketenangan dan jangan sampai ada stres tambahan.”
Khanza menganggukkan kepalanya dengan mata yang berkaca-kaca.
Ia kembali duduk, menatap pintu UGD dengan hati berdoa.
“Mas, maafin aku. Semua ini salahku. Tolong bertahan, aku nggak sanggup kalau kehilangan kamu.” bisik Khanza sambil menangis pelan.
Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dan memberi tahu bahwa Khanza boleh menemui Reza sebentar.
Khanza segera masuk dengan langkah gemetar masuk ke dalam.
Di dalam, ia melihat Reza terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat dengan oksigen menempel di hidungnya.
Matanya setengah terbuka, menatap Khanza samar.
“Za…” suara Reza pelan, hampir tak terdengar.
Khanza mendekat ke arah suaminya yang sedang memanggilnya.
"P-pergilah, A-aku ikhlas. M-maaf jika a-aku memaksamu untuk hidup denganku." ucap Reza yang kemudian tidak sadarkan lagi.
“Mas! Jangan ngomong begitu! Astaghfirullah, Mas!”
Khanza langsung memegang tangan Reza yang dingin, air matanya jatuh membasahi punggung tangan suaminya.
“Mas Reza! Jangan tinggalin aku, Mas. Aku nggak mau!” tangis Khanza pecah.
Dokter meminta perawat untuk mengantarkan Khanza ke luar sebentar.
"Tolong suami saya, Dok." ucap Khanza sambil menangis sesenggukan.
Dokter menatap wajah Khanza yang sedang memohon kepadanya.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin… tapi kondisi suami Ibu memburuk. Jantung beliau melemah drastis. Saat ini kami hanya bisa menunggu respon tubuhnya, kemungkinan terburuk bisa saja terjadi.”
Khanza menutup mulutnya, tubuhnya gemetar hebat.
“Tidak, Dok. Mas Reza kuat! Dia nggak mungkin ninggalin aku!” suaranya pecah, lalu tubuhnya oleng.
Perawat yang ada di dekatnya langsung berlari menangkap Khanza sebelum kepalanya membentur lantai.
“Ibu Khanza!"
Dokter meminta Perawat untuk memegangi tubuh Khanza.
“Bawa ke ruang perawatan, jangan biarkan jatuh!”
Sementara itu, ponsel Khanza yang tergeletak di kursi kembali berdering.
Dokter meraih ponsel itu dan mengangkat ponsel Khanza.
“Hallo, dengan Ibu siapa?”
“I-ini mamanya Khanza. Maaf, siapa ya? Kenapa telepon anak saya diangkat?” suara seorang wanita paruh baya terdengar panik dari seberang.
Dokter menarik napas dalam, lalu menjelaskan dengan hati-hati.
“Ibu, mohon tenang. Putri anda sekarang sedang pingsan."
“Astaghfirullah, Khanza! Saya segera ke sana, Dok. Tolong jaga anak saya, ya, Dok!”
“Iya, Bu. Kami akan jaga sebaik mungkin. Silakan segera datang ke rumah sakit.”
Dokter menatap ke arah perawat yang tengah mengatur infus untuk Khanza.
“Cepat stabilkan kondisinya. Jangan sampai dia ikut drop. Dia butuh tenaga untuk menghadapi ini semua.”
Di ruang ICU, suara mesin monitor jantung Reza berbunyi ritmis namun lemah.
Sementara di ruang perawatan, Khanza terbaring pucat dengan infus di tangannya.
Air matanya masih mengalir tipis dari sudut matanya meski ia tidak sadar.
Beberapa jam kemudian Mama khanza dan Dessy telah sampai di rumah sakit.
Mereka segera menuju ke ruang perawatan dan melihat Khanza yang masih belum sadarkan diri.
"Bagaimana keadaan putri saya, dok?" tanya Mama Khanza.
"Putri anda sedikit terkejut ketika mendengar suaminya drop." jawab dokter.
Mama Khanza kembali terkejut ketika mendengar perkataan dari dokter.
"Reza sakit apa, dok?"
"Tuan Reza sedang mengalami serangan jantung ringan dan sekarang masih ada di ruang ICU."
"Astaghfirullah, kenapa mereka tidak pernah bilang kalau ada masalah."
Dessy meminta Mama untuk tenang dan menunjukkan Khanza siuman.
Dokter keluar dari ruang perawatan dan kembali menuju ke ruang ICU.
Dua puluh menit kemudian, Khanza membuka matanya dan melihat mamanya bersama dengan Dessy ada di rumah sakit.
"M-mama...."
Khanza yang akan bangkit dari tempat tidur langsung ditahan oleh Mama dan Dessy.
"Jangan bangkit dulu, Za. Kamu masih lemas."
Khanza menggelengkan kepalanya dan mengatakan kalau ia ingin bertemu dengan Reza.
"Za, Reza masih di ruang ICU. Dan dokter meminta kamu untuk istirahat." ucap Dessy.
Mama membantu Khanza untuk kembali beristirahat di tempat tidur rumah sakit.
"Ma, semua ini salah Khanza. Khanza yang sudah buat Mas Reza seperti ini." ucap Khanza.
Khanza menceritakan semuanya kepada Mamanya.
"Astaghfirullah, Khanza. Kenapa kamu berbuat seperti itu, nak? Bagaimanapun Reza sekarang suami kamu. Dan ia berhak cemburu dengan Yanuar atau Devan."
Mama meminta Khanza untuk tidak melakukan hal itu lagi.
"Sekarang kamu hanya bisa mendoakan suami kamu, Za. Semoga Reza bisa keluar dari kritisnya." ucap Dessy.
Khanza menganggukkan kepalanya sambil memeluk tubuh Mamanya.
Sementara itu di ruang ICU, dokter masih menatap layar monitor.
"Alhamdulillah, pasien sudah melewati masa kritisnya." ucap dokter.
Dokter tersenyum tipis sambil melepas sarung tangannya. “Pantau terus kondisi pasien. Jangan sampai ada tekanan emosi tambahan. Dia butuh ketenangan penuh.”
Perawat mengangguk cepat, lalu mencatat perkembangan kondisi Reza di papan medis.
Sementara itu, di ruang perawatan Khanza, Mama dan Dessy masih setia menemani. Mama Khanza mengelus lembut rambut putrinya yang terus menangis.
“Za, dengerin Mama. Jangan salahin dirimu terus. Reza butuh kamu kuat, bukan terpuruk begini.”
Khanza menggigit bibirnya, air matanya tak kunjung berhenti.
“Tapi Ma, kalau Mas Reza sampai apa-apa, Khanza nggak akan pernah maafin diri sendiri.”
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Seorang perawat masuk dengan wajah lega.
“Alhamdulillah, kondisi Tuan Reza sudah stabil. Beliau berhasil melewati masa kritisnya. Untuk saat ini, hanya keluarga inti yang boleh menjenguk sebentar.”
Khanza langsung menoleh, matanya berbinar di balik tangisannya.
“M-mas Reza stabil?!”
“Betul, Bu. Tapi mohon jangan membuat beliau banyak bicara. Suami Anda butuh istirahat total.”
Khanza bangkit perlahan dengan bantuan Mama dan Dessy. Kakinya masih lemas, tapi tekadnya menguat.
“A-aku harus ketemu Mas Reza, Ma. Aku harus di sampingnya.”
Mama mengangguk, mendukung keputusan putrinya.
“Baiklah, Za. Tapi Mama ikut menemani.”
Tak lama kemudian, Khanza masuk ke ruang ICU.
Begitu melihat Reza terbaring dengan selang oksigen, tubuhnya seketika gemetar.
Ia menggenggam tangan suaminya dengan hati-hati.
“Alhamdulillah kamu selamat, Mas. Aku janji nggak akan bikin Mas sakit hati lagi.” ucap Khanza.
Reza memalingkan wajahnya dan meminta perawat untuk membawa Khanza keluar dari ruang ICU.
Khanza menggelengkan kepalanya dan meminta suaminya untuk memaafkannya.
"Mas, aku minta maaf. Mas Reza, aku mohon maafkan aku."
Perawat meminta Khanza dan Mamanya untuk keluar dari ruang ICU.