NovelToon NovelToon
Kehidupan Kedua Si Pelatih Taekwondo

Kehidupan Kedua Si Pelatih Taekwondo

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Berondong / Time Travel / Cinta pada Pandangan Pertama / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Amanda Ricarlo

Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.

Bagaimana Kelanjutannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bertemu 2 Pria yang Lesham Tidak kenal

Tubuh Lesham sedikit tersentak mundur saat tanpa sengaja bertabrakan dengan seorang pria di lorong sekolah. Pria itu kini berdiri tepat di hadapannya, menatapnya tajam dengan sorot mata yang menusuk, seolah menyimpan sesuatu yang tidak ingin diungkapkan begitu saja. Ada keheningan yang menggantung, namun terasa berat, seolah waktu menahan napasnya sendiri.

Langkah kaki pria itu perlahan mendekat. Refleks, Lesham mundur, menjaga jarak. Rasa tidak nyaman merambat dari tengkuk hingga ujung jari. Ada sesuatu dari cara pria itu menatapnya yang membuat tubuhnya menegang.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Lesham, alisnya berkerut, wajahnya penuh tanda tanya.

Tanpa menjawab, pria itu terus mendekat hingga wajah mereka hampir sejajar. Lesham menahan napas, merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia langsung mendorong bahu pria itu menjauh.

“Kau ini bisu, ya? Aku tanya, apa yang kau lakukan? Apa kau mengenalku?” ucap Lesham dengan nada tak sabar.

Pria itu mundur sedikit, lalu menegakkan tubuh sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Pandangannya tetap tertuju pada Lesham.

“Jadi, kau benar-benar tak mengenaliku,” gumamnya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.

Lesham menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang perlahan merangkak ke permukaan.

“Tidak, aku memang tidak mengenalimu,” katanya dengan suara yang mulai tegas. “Aku mengalami amnesia ringan. Bahkan namaku sendiri sempat tidak kuingat. Orang tuaku yang memberitahuku tentang diriku. Jadi kalau kau bertanya kenapa aku tak mengenalimu, ya karena itu. Jangan paksa aku mengingat sesuatu yang sudah hilang. Semua orang mengira aku bisa kembali seperti dulu... padahal aku sendiri masih belajar menerima semuanya.”

Lesham hendak melangkah pergi, tapi saat melewati pria itu, tiba-tiba tangannya dicengkeram kuat. Langkahnya langsung terhenti.

“Lepas,” ucapnya singkat, tatapannya tajam. Pria itu menahan pandangan sesaat sebelum akhirnya melepaskan genggamannya tanpa berkata apa-apa.

Tanpa membuang waktu, Lesham segera menuruni tangga. Namun belum sempat mencapai bawah, seorang pria lain muncul dari arah balkon dan langsung menyapa.

“Lesham? Kau baik-baik saja?”

Lesham tersenyum tipis. “Oh? Ah... iya. Aku baik-baik saja.”

Saat hendak melangkah turun, pria itu kembali bertanya, “Lesham, kau... kelihatannya tidak mengenaliku. Apa kau melupakanku?”

Lesham membuka mulutnya, ingin menjelaskan, namun suara dari balik pintu balkon menyela lebih dulu, pria yang tadi.

“Dia mengalami amnesia. Itu sebabnya dia tidak mengenali kita.”

Lesham hanya bisa tersenyum kikuk, tak tahu harus menjawab apa.

“Ya... aku mengalami amnesia, jadi... maafkan aku kalau tak mengenal kalian, maaf aku pergi dulu” katanya lalu buru-buru menuruni tangga.

Ia tak ingin berlama-lama berada di antara pria-pria asing yang mengklaim mengenalnya. Hari itu terlalu berat untuk diisi dengan keraguan dan kenangan yang tak bisa ia sentuh.

Langkahnya terburu-buru menuju toilet wanita. Ia ingin membersihkan diri, rambut dan seragamnya masih ternoda susu. Di dalam toilet, ia membasahi bagian bajunya dengan air dari keran, berusaha menghilangkan noda dan bau yang mengganggu.

Tiba-tiba, dari bilik di belakangnya, seorang gadis keluar. Usianya sebaya. Ia berdiri di samping Lesham dan mulai mencuci tangannya. Ia menoleh, menatap Lesham dengan dahi yang mengerut.

“Lesham?”

Lesham menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada bajunya. “Oh? Ya, aku Lesham.”

Gadis itu tersenyum tipis, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lain. “Kau sudah sembuh? Aku dengar kau sempat sakit beberapa hari. Sekarang kau terlihat jauh lebih sehat.”

Lesham memandang gadis itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tidak ada yang ia kenali.

“Aku sudah baikan. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.”

Gadis itu mendekat sedikit. “Siapa bilang aku khawatir?” katanya pelan, lembut, tapi nadanya tajam. “Aku hanya melihat kau sekarang. Dan... kau memang terlihat berbeda. Kau tak lagi menunduk seperti dulu. Sekarang, kau berani menatap balik.”

Lesham menahan napas sejenak. Kalimat gadis itu membuatnya waspada.

“Kau siapa? Apa kau benar-benar mengenalku?”

Gadis itu tersenyum tipis, lalu melipat tangan di depan dada.

“Aku Evelyn Sharma Latest. Kelas satu tingkat di atasku. Kita pernah cukup dekat... meski kau mungkin tidak mengingatnya. Tapi kurasa, kita memang ditakdirkan untuk bertemu lagi. Dulu kau lemah. Sekarang, kau berdiri tegak. Menarik sekali.”

Lesham terdiam. Nama itu Evelyn Sharma muncul kembali dalam ingatannya. Nama yang disebut dalam pesan peringatan yang ia temukan setelah sadar dari koma. Nama yang ia diminta hindari.

Namun, alih-alih takut, ia justru merasa tertantang.

“Begini,” ucap Lesham sambil mengulurkan tangan. “Kalau aku tak mengingatmu, mungkin kita bisa saling mengenal kembali, dari awal.”

Evelyn hanya memandangi tangannya, tidak menjabat. Ia tersenyum miring.

“Kita pasti akan bertemu lagi, Lesham. Lebih sering dari yang kau harapkan.”

Ia menepuk bahu Lesham perlahan, lalu melangkah keluar dari toilet, meninggalkan udara yang kini terasa dingin dan penuh tanda tanya.

Lesham terdiam di depan wastafel, menatap pantulan dirinya di cermin. Pertemuan dengan Evelyn tadi terasa lebih dari sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang mengintai, tersembunyi di balik senyum tenang itu.

Dan yang paling membingungkan, kenapa ia justru ingin tahu lebih banyak tentang Evelyn?

°°°°°

Bel pulang sekolah berdentang panjang, menggema di udara seperti suara yang enggan menghilang. Suasana yang semula tenang kini berubah riuh, gelombang siswa menyerbu keluar dari ruang kelas, memenuhi lorong-lorong dengan suara tawa, langkah terburu-buru, teriakan kecil antar teman, dan derit pintu yang dibuka paksa. Semua bercampur menjadi orkestra khas yang akrab di telinga anak-anak sekolah.

Lesham berdiri di tepi tangga utama, diam di tengah keramaian yang lalu-lalang di sekitarnya. Ia tidak merasa perlu ikut terburu-buru pulang. Hari ini terasa terlalu panjang, terlalu penuh dengan tatapan asing yang seolah mengenalnya, sementara pikirannya sendiri justru kosong dari nama dan kenangan yang seharusnya ia miliki.

Ia menuruni tangga perlahan, menyusuri koridor yang kini hampir kosong menuju halaman depan sekolah. Saat mendekati gerbang, suara seseorang memanggil namanya dari arah belakang.

"Lesham!" seru suara pria itu lantang.

Secara refleks, Lesham menoleh. Begitu melihat siapa yang memanggilnya, langkahnya terhenti sejenak. Wajah itu sangat ia kenali. seseorang yang entah bagaimana membuat hatinya terasa lebih hangat hari ini. Kai. Sahabat lama Dara. Kini berdiri beberapa meter darinya dengan senyum lebar yang khas, senyum yang tampak begitu familiar.

Lesham melangkah mendekatinya sambil tersenyum tipis. “Kenapa kau ke sini? Bukankah seharusnya kau bekerja?” tanyanya sambil memukul kecil lengan Kai, nada suaranya terdengar lebih ringan dari biasanya, ada rasa senang yang sulit disembunyikan.

Kai mengangkat bahu santai. “Kau lupa, ya? Hari Selasa aku memang libur kerja. Daripada bengong di rumah sendirian, kupikir lebih baik datang ke sini. Siapa tahu bisa ketemu kau.”

Lesham hanya tertawa kecil dan menggeleng pelan. “Sifat kekanak-kanakanmu masih belum berubah juga, ya.”

Kai menanggapi dengan tawa ringan. “Lalu, kau pulang naik apa hari ini?”

“Supirku akan menjemput. Harusnya sebentar lagi sampai.”

Ekspresi wajah Kai langsung berubah kecewa. “Yah, jadi kita harus berpisah secepat ini? Padahal aku niatnya mau traktir kau makan. Luangkan sedikit waktu untukku, ya?” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan tangan Lesham dengan gaya memohon yang menggemaskan.

Lesham mendesah kecil, pura-pura sebal. “Memangnya kau mau traktir apa?”

“Apa saja yang kau mau. Tinggal sebut saja, lalu kita langsung kesana untuk membelinya” Kai menatapnya penuh harap.

Namun sebelum Lesham sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara dingin dan datar dari belakang mereka. “Siapa dia?”

Lesham menoleh dan menemukan seorang pria berdiri beberapa langkah dari mereka. Wajahnya tampak tenang, tapi tatapannya tajam, menusuk seolah ingin menguliti siapa pun yang ada di hadapannya. Aura pria itu membuat suasana mendadak menegang.

“Dia temanku. Memangnya kenapa?” Lesham menjawab tanpa basa-basi, nada suaranya terdengar tegas.

Kai menoleh ke arah Lesham dan berbisik pelan, “Kau mengenalnya?”

Lesham menggeleng pelan sambil membisik, “Tidak, aku hanya sempat melihatnya di balkon sebelumnya.”

Namun pria itu tetap menatap Lesham lekat-lekat, lalu berkata dengan nada datar yang nyaris tanpa emosi, “Kau pulang denganku sekarang"

Lesham mengerutkan dahi, jelas-jelas kesal. “Apa? Kau memangnya siapa? Temanku? Kakakku? Pacarku? Bukan, kan? Jadi jangan seenaknya memerintahku begitu.”

“kalau aku mengatakan Aku adalah pacarmu kenapa?” sahut pria itu singkat. “Bahkan Kau tidak mengenaliku saat ini.”

Kai melotot, terkejut. “Pacar? Sejak kapan kau punya pacar?” tanyanya pada Lesham, suaranya penuh kebingungan.

Lesham menarik napas dalam, menahan amarah. “Berhenti bicara omong kosong, dan menjauhlah. Aku sedang tidak ingin berurusan dengan orang sepertimu.”

Tepat pada saat itu, mobil hitam mewah berhenti di depan gerbang sekolah. Lesham dan Kai menoleh bersamaan.

“Itu supirku,” gumam Lesham, nyaris lega.

Tanpa pikir panjang, Lesham menggamit tangan Kai dan menariknya agar segera pergi bersama. Namun baru beberapa langkah, tangan satunya ditahan oleh pria misterius tadi. Lesham menoleh tajam. “Apa yang kau lakukan? Lepaskan.”

Untuk beberapa detik, pria itu hanya menatapnya, seakan ada banyak hal yang ingin ia katakan namun tak bisa. Akhirnya, ia melepaskan tangan Lesham perlahan, membiarkannya pergi.

Kai dan Lesham berjalan cepat menuju mobil. “Kau benar-benar tidak kenal dia?” tanya Kai sambil melirik khawatir.

Lesham menggeleng mantap. “Tidak. Aku tidak tahu siapa dia.”

Dari kejauhan, pria itu masih berdiri memandangi punggung Lesham yang makin lama makin menjauh. Matanya kosong, tapi nafasnya tampak berat. Ia menghela napas panjang, seolah menelan perasaan yang tak bisa diucapkan. Menatap satu-satunya orang yang pernah membuatnya bertahan… kini berjalan menjauh, tanpa mengenalnya lagi.

\=\=>>

Begitu Lesham dan Kai masuk ke dalam mobil, Pak Arjo yang duduk di kursi kemudi melirik melalui kaca spion tengah. Tatapannya sempat berhenti cukup lama pada sosok pria yang kini duduk di sebelah Lesham, hingga ekspresi wajahnya berubah sedikit terkejut dan tampak kebingungan.

“Nona… Maaf kalau saya lancang, tapi… apakah pria ini pacar Nona?” tanyanya pelan, namun nada suaranya terdengar jelas penuh rasa penasaran yang tulus.

Lesham dan Kai saling menatap sekilas, seolah keduanya sama-sama bingung bagaimana harus merespons pertanyaan tersebut. Namun, tak lama kemudian, Lesham tersenyum kecil. Meski tampak agak kikuk lalu menjawab, “Oh, tidak… Dia sahabatku. Kami baru cukup dekat akhir-akhir ini dan memutuskan untuk saling bersahabat.”

Pak Arjo mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, pandangannya kembali fokus ke jalanan di depan. “Wah, sahabat ya? Ini pertama kalinya saya mendengar Nona punya teman dekat. Syukurlah… akhirnya Nona punya seseorang untuk berbagi cerita dan menghabiskan waktu. Saya yakin Nyonya akan sangat senang mengetahui hal ini. Selama ini, saya tahu betul betapa Nona terlihat kesepian.”

Lesham tertawa kecil, senyumnya tetap canggung namun hangat. “Ahaha… iya, Mama juga akan senang kalau tahu aku sudah punya teman. Setidaknya sekarang aku tidak sendirian lagi,” ucapnya pelan, sembari menoleh ke arah Kai yang duduk diam dan tampak agak tegang di sebelahnya, seolah belum terbiasa dengan suasana seperti ini.

"tenanglah, bukankah kau ingin mentraktirku makan?" Bisik Lesham dengan tatapan dingin.

Kai membalas tatapannya dengan senyum tipis, lalu memalingkan wajah ke luar jendela, membiarkan angin sore mengusik rambutnya yang berantakan. Seharusnya Kai yang menjemput Lesham dengan Motornya saat ini. Dan kini motornya berada ujung halaman Sekolah. Semoga saja Motornya tetap berada disana hingga besok pagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!