“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.28
Ivana menghembuskan napas pelan, berusaha menenangkan dirinya yang sudah terlampau emosi.
“Ivana.”
Suara itu—suara yang membuat tubuh Ivana membeku. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku jarinya memutih. Perlahan ia berbalik, menatap lelaki paruh baya yang berdiri tak jauh darinya.
Wajah itu… sayangnya, mirip dengannya. Dan setiap kali Ivana sadar akan kemiripan itu, rasa muaknya makin dalam.
“Mau apa kamu ke sini?” suaranya dingin, penuh kebencian yang ia pupuk bertahun-tahun.
“Nak, Papa—”
“Papa?” Ivana mendengus sinis. “Saya tidak punya Ayah!” bentaknya keras.
Sakti menunduk, wajahnya penuh penyesalan. “Ivana… maafkan Papa. Papa datang hanya ingin bicara. Tidak lebih.”
“Bicara?” Ivana menyeringai getir. “Puluhan tahun kamu menelantarkan aku dan Mama. Puluhan tahun kamu sibuk dengan perempuan lain. Sekarang kamu datang, sok menyesal, lalu berharap aku memaafkan begitu saja? Wow.”
Ia berbalik, berniat masuk ke dalam. Namun langkahnya tertahan ketika Sakti buru-buru meraih lengannya.
“Jangan sentuh aku!” pekik Ivana, melepaskan diri dengan kasar.
Sakti terdiam, matanya berkaca-kaca. “Ivana… kamu tahu, dulu Papa—”
“Berhenti!” potong Ivana. “Aku tidak peduli alasanmu! Waktu aku kecil, aku cuma butuh seorang Ayah yang pulang ke rumah. Yang bisa jagain aku. Yang bisa bikin Mama berhenti menangis di dapur tengah malam. Tapi apa yang aku dapat? Seorang laki-laki brengsek yang lebih memilih selingkuhannya!”
Sakti terdiam, tubuhnya kaku mendengar ucapan putrinya.
Ivana tertawa miris. “Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Aku tumbuh mirip dengan kamu. Setiap kali aku bercermin, wajahku mengingatkan pada laki-laki yang meninggalkan aku dan Mama.”
Hening menyelimuti. Angin sore berembus, membawa ketegangan di antara keduanya.
“Aku nggak butuh maafmu, dan aku nggak butuh kehadiranmu. Jadi sebelum aku benar-benar melaporkanmu ke polisi karena nekat datang ke sini—pergi. Sekarang juga.”
Mata Ivana berkilat tajam. Tidak ada celah sedikit pun untuk belas kasih.
Sakti menunduk, terisak pelan. Ia ingin bicara lebih banyak, tapi tatapan Ivana seperti pisau yang menutup semua pintu. Perlahan ia mundur, meninggalkan putrinya.
Begitu sosok itu menjauh, Ivana berdiri kaku di depan pintu. Senyum sinisnya perlahan pudar, berganti dengan gemetar halus di tangannya. Tapi ia menahan air matanya mati-matian.
Air mata adalah kelemahan. Dan Ivana sudah bersumpah—ia tidak akan pernah lagi terlihat lemah di depan siapapun.
Ivana menatap kosong kearah laptop yang menyala, kini dia sedang duduk di ruang kerjanya. Cafe milik Ivana sudah berjalan dan semakin ramai, dia bisa melihat pengunjung dari balik kaca yang yang hanya bisa dia lihat sendiri.
Ingatannya melayang saat dia berusia lima tahun, saat dimana dia masih membutuhkan sosok seorang ayah.
Sakti, Ayahnya hanya datang memarahi Amora mencari kesalahan Amora dan berakhir memukul Amora. Ivana kecil, yang melihat itu semua hanya bisa meringkuk di pojok ruang memeluk boneka kesayangannya.
Siang itu, karena tak tahan Ivana memutuskan untuk pergi ke taman dan dia bertemu Damian. Pria kecil yang sudah mencuri hatinya.
"Damian, bukannya kamu janji akan melindungi ku. Tapi, kenapa kamu malah mencintai Daisy." Lirih Ivana, mengusap air matanya.
"Tapi tidak apa-apa, aku akan merebut mu kembali." Kekeh Ivana, dia mengusap foto Damian.
Tak terasa siang pun tiba. Ivana memutuskan untuk pulang makan di rumah setelah Amora mengirim pesan bahwa ia sudah memasak makanan kesukaannya.
Baru saja hendak masuk ke mobil, langkahnya terhenti. Dua orang—seorang perempuan dan seorang laki-laki—berdiri di hadapannya. Wajah mereka begitu familiar, membuat Ivana refleks menatap lebih lama. Ada keraguan jelas di mata keduanya, seolah ingin bicara tapi takut.
"Kak Ivana..." suara lirih itu terdengar dari si gadis. Elena. Ya, Elena—anak dari Sakti dan Laras.
Ivana mengangkat alis, senyumnya tipis namun penuh sindiran.
"Kak? Siapa yang kau panggil kak? Apa aku terlihat seperti kakakmu, hah?" suaranya dingin menusuk.
Elena menelan ludah, pelan-pelan mengangguk. Ia sempat mengira Ivana akan bersikap ramah, tapi ternyata yang didapat justru sikap yang kejam.
"Kami anak dari Papa Sakti," sahut Fahri cepat, membuat Elena spontan melotot pada adiknya.
Ivana terdiam sejenak, lalu tersenyum sinis. Kedua tangannya terlipat di dada, tatapannya penuh penghinaan.
"Oh, jadi ini anak-anak dari pria brengsek itu," gumam Ivana dingin.
Fahri memberanikan diri selangkah maju. Suaranya bergetar tapi jujur.
"Kami... kami butuh bantuan, Kak. Mama lagi sakit, biaya rumah sakit mahal. Papa—"
"Papa?" Ivana langsung memotong dengan tawa pendek, penuh sarkasme.
"Lucu sekali. Papa kalian itu lelaki yang dulu tega membuang aku bersama ibuku. Dan sekarang anak-anaknya datang padaku... minta uang?" Ivana berdecih lirih.
Elena menunduk, wajahnya memerah menahan malu. Sementara Fahri masih berusaha menatap Ivana.
"Aku tahu Kak Ivana benci Papa. Tapi Mama tidak salah... kami juga tidak salah. Kami hanya ingin menolong Mama."
Ivana mendengus, menatap mereka seperti sampah.
"Mama mu, tidak salah? Serius?" Ivana tertawa lalu menggeleng pelan.
"Kalian pikir aku ini apa? Mesin uang? Atau tempat buangan dosa ayah kalian? Salah alamat. Kalau butuh uang, minta sama ayah kalian yang brengsek itu. Jangan pernah cari aku lagi."
Dengan langkah angkuh, Ivana masuk ke mobilnya, meninggalkan Elena dan Fahri yang terdiam putus asa.
"Aduh, gimana ini?" tanya Elena, matanya mengikuti mobil Ivana yang semakin jauh.
"Mama pasti marah," lanjutnya dengan suara pelan, penuh kecemasan.
"Sudahlah, Kak. Mau gimana lagi?" sahut Fahri, nada suaranya penuh kesal. "Ini semua gara-gara Mama. Kalau saja Mama bisa nahan diri dari gaya sok sosialitanya, mungkin kita nggak akan susah begini."
Fahri menyalakan motor dengan kasar, sementara Elena hanya bisa menghela napas panjang sebelum akhirnya naik di belakang adiknya.
Beberapa puluh menit kemudian, mereka sudah sampai di rumah. Di teras, Laras tampak mondar-mandir, wajahnya cemas menunggu kabar. Setelah tadi pagi Sakti gagal menemui Ivana, kini harapannya ada di tangan anak-anaknya. Siapa tahu Ivana lebih luluh kalau bertemu mereka.
"Gimana?" tanya Laras begitu melihat Elena turun dari motor dengan wajah lesu.
Elena langsung menjatuhkan tasnya ke kursi, matanya berkaca-kaca. "Kak Ivana usir kita. Dia nggak mau kasih apa yang Mama mau. Lagian, kenapa sih, Ma? Kenapa harus kita yang jadi korban? Ini salah Mama dan Papa. Kenapa aku sama Fahri yang harus nanggung semua?" serunya penuh emosi.
Laras tersentak, bibirnya bergetar. "Mama nggak bermaksud, Nak... Mama hanya—"
"Sudahlah! Aku capek." potong Elena ketus, lalu bergegas masuk ke dalam rumah, meninggalkan ibunya yang berdiri membeku.
Fahri menatap Laras sejenak, ekspresinya datar tapi tajam. "Kak Elena bener, Ma. Semua ini karena Mama sama Papa. Jangan harap Kak Ivana mau nurut begitu aja." Ucapnya dingin, lalu menyusul Elena ke dalam.
Laras menggertakkan giginya, tangan meremas kain bajunya sendiri.
"Sial... apa harus aku juga yang turun tangan menemui Ivana?" gumamnya lirih, kembali mondar-mandir dengan perasaan gelisah.
Bersambung ...