Kemampuan dan kelebihan yang membawa pada kesombongan.
Jangan pernah berpaling dan melupakan Sang Penguasa Subuh. Selalu rapalkam dalam hati 'Ilmu, Kebijaksanaa, dan Rendah Hati.' Jangan sampai tergoda oleh para pembisik, mereka pandai menggelincirkan keteguhan hati manusia.
Ketika dunia sudah mulai kehilangan keasliannya, banyak terjadi kejahatan, hal menyimpang, bahkan normalilasi terhadap hal yang tidak normal. Sebuah suku tersembunyi yang masih memegang erat sejarah, mengutus anak terpilih yang akan kembali membuka mata dunia pada siapa mereka sebenarnya.
Perjalanan Warta Nalani yang membawa sejarah asli dunia dimulai dengan usahanya harus keluar dari hutan seorang diri. Banyak hal baru yang ia temui, teman baru, makanan baru, dan juga kesedihan baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon godok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desa Rusa (7)
Desa rusa, salah satu desa yang berada di pedalaman hutan, sama seperti tempat tinggal Warta. Namun, dapat dikatakan desa ini lebih maju dari desa lain. Semua berawal sejak seseorang dari luar desa, Hidra, pria luar hutan yang merupakan mahasiswa peneliti dari kampus terkemuka, melakukan penelusuran ke dalam hutan. Narta, selalu melakukan penelitian sendirian. Memang sudah kebiasaan, selain karena lebih mudah meningkatkan fokus, ia juga enggan mencari musuh hanya karena perebutan hak proposal.
"Wahh, hutan ini banyak memiliki pohon jati!" rasa kagum yang tak terbendung membuat Hidra berlarian kesana kemari. Dengan kamera digital yang ia bawa, dari bagian tertinggi hingga akar pohon jati yang sesikit mencuat pun ia foto.
Wajahnya berseri-seri sampai rona merah menjalar dari telinga menuju pipi, bibir yang merekah lebar, sampai deretan gigi putih rapihnya terpampang. Hidra tidur diatas tumpukan daun jati yang berguguran. Diangkatnya kamera digital yang ia kalungi itu tinggi-tinggi, layar kecil menunjukan beberapa hasil foto yang ia tangkap. Hidra menggeser layar, foto-foto yang tanpak alami dan cukup langka bagi short seorang yang tinggal di tengah kepadatan kota membuatnya merasa sangat bersyukur.
Ketika rasa senang itu mulai turun kembali ke tahapan normal, Hidra mulai merasakan haus. Sayang, persedian air yang ia miliki sudah habis. Mau tidak mau, Hidra harus berkeliling di sekitaran hutan jati yang luas ini, berharap menemukan mata air.
Saat sedang mencari air masih dengan pikiran yang tidan hentinya terkagum pada hutan jati yang ia telusuri, Hidra mendengar suara gemericik air. Berasal dari balik semak-semak 10 meter di depan Hidra. Segera ia berjalan menuju arah semak. Bukan karena rasa haus yang tak tertahan, melainkan pikirannya yang membayangkan keindahan alam lainnya.
Ia berjalan dengan terburu tanpa memperdulikan bebatuan sekitar yang mulai ditumbuhi lumut. Sepatu yang ia pakai ini sangat mahal, sudah diuji dayatahannya dalam berbagai kondisi, bahkan antislip. Yakin Hidra. Tapi, siapa sangka. Saat dirinya hendak membuka semak yang menghalangi, seekor rusa tiba-tiba keluar tepat di hadapan wajah Hidra.
Napas Hidra tercekat, mendadak tubuhnya terdiam kaku. Kepalanya bergera terbata-bata, mencoba mencari pertolongan. Tapi, sejauh mata memandang hanya ada pohon jati dan guguran daunnya. Masih dengan terbata, seolah lehernya enggan diputar. Ia kembali menatap lurus, berhadapan langsung dengan si rusa.
Nasihat guru fakultasnya kembali terbesit di kepala, "Kalau kalian bertemu hewan di hutan, jangan panik. Acuh aja atau sok akrab karena kita tidak saling mengamcam."
Bermodalkan pesan sang guru, Hidra meneguk ludah kasar. Ia menarik menarik napas panjang dan dan
"HALO BROU, APA KAB-"
HHRRRSSS!
Seketika si rusa mendengus depan wajahnya membuat Hidra sontak terdiam, kaku, suaranya hilang dan
Bruk.
Kesadarannya pun hilang.
Wangi ketumbar bercampur dengan bawang bombay memasuki indra penciuman Hidra. Dirinya yang terbaring di lantai semen beralaskan tikar bambu mulai terbangun.
"Sudah sadar?" suara lembut seorang wanita menyapa masuk. Hidra beberapa kali mengedipkan mata, melirik ke arah wanitayang sedang menggantikan kain kompresan.
"Bidadari...?" rancu Hidra.
Ia berusaha bangun dari tidurnya, tangannya yang terasa lemas ia paksakan menjadi sanggahan tubuh, menghadap sang wanita.
"Hai, bidadari cantik. Kau tau, aku bisa sampai di surga mu ini karena menolong seekor rusa malang yang-"
Plak!
Sebuah sabetan kain Hidra rasakan mendarat tepat di belakang kepalanya.
"Kan, udah mas bilang. Nggak usah ditolongin, orang luar rasa sopan santunnya udah pada ilang!" protes si pelaku penyabetan kepala Hidra, Zai.
Wanita itu terkekeh melihat Hidra yang menggaruk kepalanya kencang. "Udah, mas. Kasihan itu, kalau geger otak gimana?"
"Salah dia. Adu teriak kok sama rusa." Zai ikut duduk di samping wanita yang merupakan adiknya, Nilani. Ia berhadap-hadapan dengan Hidra, saling lempar tatapan sinis.
Nilani hanya tersenyum, ia membawa baskom beserta kain kompresan kepala Hidra ke dapur. Setelahnya, ia kembali dengn sebuah nampan berisikan dua gelas teh, dua mangkuk bubur, dan dua buah bawang bombay bakar yang masih utuh.
"Ajak makan Mas tamunya. Aku mau lapor ke Paman Ahal dulu."
Nilani berpamitan untuk pergi menemui Ahal, yang saat itu ia belum menjadi sesepuh desa. Atau mungkin sampai saat ini, belum.
Hidra hanya menatap hidangan yang tersedia. Bawang bombay utuh membuatnya sedikir merinding, dan juga,
'Apa itu? Wanita itu menyediakan bubur, tapi tidak dengan sendoknya' protes Hidra dalam hari.
Zai berdecak, dari raut wajah Hidra, Zai tau pria didepannya ini pasti sedang mencemooh hidangan yang disediakan sang adik.
Dengan acuh dan tanpa ragu, Zai mengambar bawang bombay yang sudah dibakar itu. Satu gigitan besar hingga hanya tersisa satu setengah bawang bombay dalam genggaman, membuat Hidra merinding dan mual secara bersamaan.
Setengah potongan bawang itu kembali Zai taruh di atas nampan. Kini bergantian, mangkuk berisi bubur ia angkat, tiga tiupan ia hembus. Lalu, tanpa pernah mengenal rasa panas, ia menenggak bubur itu sampai setengah porsi.
Hidra membelalakan matanya. Ia selalu diajarkan untuk menunggu makanan atau minuman yang akan disantap menjadi hangat, agar tidak terkena kanker pada tenggorokannya. Tapi manusia di depannya ini.
Hidra menatap sinis Zai yang sedang memandang remeh ke arahnya.
"Dasar orang hutan," niatnya ingin Hidra katakan dalam hati. Tapi tanpa sadar, mulutnya lupa mengaktifkan fiture 'mute'.
"Orang...hutan?" tanya Zai datar. Pandangan yang awalnya menatap remeh itu kini semakin menajam mengintimidasi Hidra.
Dengan cepat bahkan melebihi kedipan mata, Zai berpindah ke belakang Hidra. Kakinya ia lingkarkan melilit perut orang asing yang baru saja dirinya selamatkan, menahan pergerakannya agar tidak kabur. Tangan kiri Zai menarik turun dagu Hidra, memaksa agar terbuka. Sedangkan tangan kanannya memegang bawang bombay yang masih utuh.
Hidra menggeleng dengan heboh melihat bawang bombay itu mendekat secara perlahan seolah sedang slowmo adegan dramatis dalam sebuah film.
"Setelah ini, kau akan menjadi orang hutan. Sama seperti ku," tawa jahat Zai menggema seisi rumah bersamaan dengan bawang bombay yang berhasil masuk ke dalam mulut Zai.
Hidra diam, ia tertunduk lemas tanpa ada pergerakan. Hal itu tentu membuat Zai sedikit panik. Ia berpindah ke hadapan Hidra, sedikit menggoncangkan bahu sang korban. Tidak ada juga perlawanan.
"Oi, berhasil selamat dari napas rusa. Jangan mati hanya karena bawang-"
"MANIS!" teriak Hidra secara tiba-tiba yang membuat Zai sedikit terjungkal kebelang.
Zai mengelus pinggangnya yang baru saja menghantam semen, "aw, adu-duh. Siapa yang manis, hah?! Aku masih waras!"
Hidra memakan sisa bawang bombay miliknya, lalu ia menatap Zai dengan mata yang berbinar-binar.
"Aku mau lagi, berikan punyamu!" 1cm sebelum tangan Hidra menyentuh bawang milik Zai, si pemilik dengan cepat mengambil jatahnya, segera ia makan hingga tandas.
"Tambah lagi!" pinta Hidra tanpa tau malu.
"Itu hanya makanan orang hutan," ucap datar Zai lalu menenggak bubur miliknya.
"Aku orang hutan!" teriak Hidra dengan semangat berapi-api, kedua tangannya terkepal didepan wajah.
"Hah? Kau apa?" nada malas yang Zai keluarkan jelas menandakan dirinya tidak ingin menanggapi Hidra, berharap sang adik cepat kembali untuk meladeni si aneh.
"AKU. ORANG. HUTAN!" Teriak Hidra lagi. Kali ini dengan lebih lantang dan tegas.
Zai, mendengar antusias Hidra yang tidak baik jika diabaikan, membuat seringai tipis menghiasi wajahnya.
"Kau itu apaa??!!" tanya Zai seperti orang yang sedang berorator.
"ORANG HUTAN!"
"SEKALI LAGIII! KAU INI APA??"
"AKU ORANG HUTAN"
Sedangkan di luar rumah, Nilani yang membawa Ahal untuk menemui Hidra terhenti di depan rumah. Ia menatap Ahal dengan senyum yang sangat ramah dengan tatapan mata datar.
"Sebentar ya, Paman."
Nilani izin pamit untuk masuk lebih dulu. Seketika, senyap. Tidak ada lagi suara teriakan menyatan 'ORANG HUTAN'. Nilani kembali keluar sambil mengibas-kibaskan tangan, senyum simpul terpahat apik di wajahnya.
"Maaf, paman. Sepertinya nanti malam aku antarkan saja orang itu ke rumah utama. Dia dan Mas Zai sedang tidur siang." tutur Nilani dengan lembut.