Noura mati dibunuh suaminya dan diberi kesempatan hidup kembali ke-3 tahun yang lalu. Dalam kehidupannya yang kedua, Noura bertekad untuk membalaskan dendam pada suaminya yang suka berselingkuh, kdrt, dan membunuhnya.
Dalam rencana balas dendamnya, bagaimana jika Noura menemukan sesuatu yang gila pada mertuanya sendiri?
"Aah.. Noura." Geraman pria itu menggema di kamarnya. Pria itu adalah Zayn, mertua Noura yang sering menyelesaikan kebutuhan diri sambil menyebut nama menantu wanitanya.
"Kenapa dia melakukan itu sambil menyebut namaku..?" Noura harus dihadapkan mertua gilanya yang sudah duda. "Anaknya gila.. ayahnya juga lebih gila, eh tapi.. besar juga ya kalau dilihat-lihat."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curiga
Noura duduk di lantai kamar dengan punggung bersandar pada pintu yang masih tertutup. Isakannya sudah mulai mereda, tapi hatinya masih terasa berat.
Di luar, suara Zayn terdengar lirih, tapi tegas. “Noura, buka pintunya.”
Noura menutup matanya erat, mengabaikan suara itu. Ia tidak ingin berbicara, tidak ingin mendengar penjelasan apa pun. Tapi Zayn tidak menyerah.
“Noura, kamu menangis?”
Noura menggigit bibirnya, menahan suara isakan yang masih tersisa.
“Maaf kalau aku membuatmu salah paham,” lanjut Zayn lagi, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
“Saat aku melihat figura itu… dan aku membayangkan kamu yang berdiri di sana bersamaku.”
Nafas Noura tertahan. Matanya membesar, dadanya bergemuruh tak menentu. Seolah dunia seketika berhenti berputar.
“Aku selalu memimpikan hal itu. Kamu dan aku… kita bersama.”
Suara itu, kejujuran dalam nada bicaranya, membuat tubuhnya gemetar. Ia tidak ingin mempercayainya, tetapi hati kecilnya berbisik bahwa itu nyata.
“Aku selalu ingin bersamamu, Noura.”
Kesunyian menyelimuti ruangan. Hanya nafas Noura yang tersengal-sengal, mencoba memahami kata-kata itu.
Zayn tidak mengetuk lagi. Tidak memaksanya keluar. Hanya menunggu.
Perlahan, tangan Noura terangkat, jari-jarinya yang gemetar meraih kenop pintu. Dengan hati-hati, ia memutarnya, membiarkan pintu terbuka sedikit.
Zayn berdiri di sana, tatapannya langsung tertuju padanya. Mata Noura masih sembab, wajahnya merah akibat tangis yang terlalu lama.
Noura mencoba menenangkan diri, tetapi kehadiran pria itu justru membuatnya semakin rapuh.
“Daddy…” Suara Noura terdengar serak. “Daddy tidak perlu merasa bersalah.”
Zayn mengernyit, seperti tidak menyukai kata-kata itu.
“Dia juga pernah ada di hati Daddy.” Noura tersenyum kecil, meskipun hatinya terasa hancur. “Aku harusnya tidak berhak menangis, aku hanyalah orang baru disini.”
Tatapan Zayn berubah gelap. Dalam sekejap, ia melangkah maju, menyandarkan satu tangannya ke pintu, mengurung Noura di antara dirinya dan kusen pintu.
“Kamu bukan sekadar orang baru, Noura.” Suaranya terdengar dalam dan tegas, tidak memberi ruang untuk bantahan.
Mata mereka bertemu, dan Noura bisa merasakan betapa seriusnya pria itu.
“Bagaimana jika aku bilang…” Zayn berhenti sejenak, menatapnya seolah memastikan sesuatu. “Aku sudah lama menyimpan perasaan ini padamu?”
Noura menelan ludah, merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dadanya.
“Apakah kamu akan percaya, Noura?”
Noura tidak tau bagaimana harus menjawabnya. Segalanya terasa begitu mendadak dan mengejutkan.
Zayn menatapnya lama sebelum melanjutkan, “Aku tidak pernah mencintai mantan istriku.”
Pernyataan itu membuat Noura terkejut. Matanya membulat, mulutnya sedikit terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar.
“Apa?”
Zayn tetap menatapnya dalam, memastikan kata-katanya sampai ke hati wanita itu. “Darrel… dia bukan anak kandungku.”
Dunia Noura seakan kembali berputar, tapi kali ini dengan kecepatan yang tidak ia pahami.
“Apa maksudmu, Daddy?”
Zayn menegakkan tubuhnya, sorot matanya lebih dalam dan tajam.
“Dia anak yang dibawa mantan istriku. Dia hamil dengan pria lain sebelum kami dijodohkan.”
Noura membelalak, otaknya berusaha memahami informasi itu.
“Jadi… selama ini…”
Zayn mengangguk. “Ya. Aku tidak pernah memiliki perasaan pada mantan istriku. Pernikahan itu hanyalah formalitas.”
Noura merasa kepalanya semakin berat. Segala asumsi yang selama ini ia buat tentang Zayn runtuh begitu saja.
Pria itu kembali melangkah mendekat, kali ini lebih pelan, lebih hati-hati. Tangannya terulur, menyentuh pipi Noura dengan kelembutan yang tidak pernah ia bayangkan bisa dilakukan oleh pria seperti Zayn.
“Dan selama ini…” suaranya merendah, penuh kehangatan yang membuat Noura semakin bingung. “Aku hanya memikirkanmu.”
Tangannya mengelus pipi Noura, menyeka sisa air mata yang belum mengering.
Sentuhan itu membuat jantung Noura berdetak lebih cepat, pikirannya kacau, emosinya bergejolak.
“Daddy…” Suara Noura melemah, hampir seperti bisikan.
"Terimakasih telah jujur." Dalam lubuk hatinya, ini seperti kejutan.
Noura masih bingung. Ia tidak tau bagaimana harus bereaksi. Apakah ia masih bisa mencintai lagi?
Noura sendiri tak tahu pasti. Kehidupan sebelumnya dengan Darrel benar-benar buruk dan Noura ragu jika memulai cinta baru.
Noura masih belum yakin pada perasaannya tapi yang jelas, ia merasa lebih tenang dan lega.
Zayn mendekat. Kali ini, Noura tidak menolak seperti biasanya. Wanita itu diam, hanya tatapan matanya yang berbicara.
Sesuatu di antara mereka terasa lebih intens, lebih mendalam dari sebelumnya.
"Aku harap suatu saat nanti kamu mengingatku," bisik Zayn di telinganya.
Noura tidak menjawab. Tubuhnya melemas dalam dekapannya, dan seiring dengan itu, pikirannya perlahan tenggelam dalam kehangatan yang Zayn berikan.
Zayn tidak berhenti di situ. Ia mengangkat Noura dengan mudah, membawanya ke dalam kamarnya.
Nafas mereka semakin memburu, dan Noura tau, kali ini ia tidak bisa melarikan diri.
"Kamu selalu cantik," Zayn berbisik sambil menatapnya lekat. "Dan kadang sekeras apapun aku menahan diri, aku selalu kelepasan."
Noura hanya bisa menatapnya balik, terjebak dalam tatapan intens pria itu.
Zayn membelai wajah Noura, matanya menatap lurus ke mata wanita itu. Bagaimana jarinya menyapu rambut yang halus lalu perlahan menangkup pipi.
'Ini sangat hangat..' Berada di dekat Zayn, terasa ringan. Sekejap, Noura bisa melupakan semua beban yang ada di pundaknya.
Mungkin karna dia pria yang kuat, tidak pernah tumbang, dan tampan..
'Ah.. aku mau menciumnya..' Pikir Noura mendadak.
Cklek!
Dari sunyinya malam, tiba-tiba semuanya berubah. Pintu bagian bawah terbuka dengan jelas.
"Sayangku, Noura!" Panggil seseorang dari bawah, sudah jelas bahwa orang yang masuk rumah adalah Darrel.
Noura dan Zayn yang baru saja tenggelam dalam kehangatan satu sama lain, kini membeku dalam kepanikan.
Nafas mereka masih tersengal, tetapi bukan karena hasrat—melainkan rasa takut yang tiba-tiba menyeruak di antara mereka.
'Kenapa dia pulang sih?!' Batin Noura kacau. Dadanya naik turun, matanya membulat penuh kepanikan.
Zayn juga tak kalah panik. Tubuhnya yang semula mendominasi ruangan kini terasa terancam, otaknya berputar cepat mencari solusi.
"Noura?" Suara berat itu terdengar dari luar. Langkah kaki mendekat, menghantam kesunyian malam.
Noura menoleh ke Zayn dengan tatapan cemas, sementara pria itu menggertakkan giginya. Ini buruk. Sangat buruk.
"Daddy, cepat sembunyi!" Bisik Noura dengan suara nyaris tak terdengar.
"Di mana?!" Zayn balas berbisik dengan nada sama paniknya.
Suara langkah semakin dekat.
"Di lemari! Sembunyi di dalam lemari!" desak Noura, mendorong Zayn tanpa pikir panjang.
Pria itu ingin protes—lemari terlalu sempit, terlalu berisiko—tapi ini bukan saatnya berdebat.
Dengan cepat, ia melesat masuk dan menutup pintu lemari dari dalam, menahan nafas seiring dengan suara pintu kamar yang mulai terbuka.
BRAK!
Noura tersentak. Darrel berdiri di ambang pintu. Matanya tajam, menyapu seluruh ruangan dengan kecurigaan yang jelas tergambar di wajahnya.
"Kenapa kamu mengunci pintu, sayang?" Tanya Darrel, suaranya rendah namun menusuk.
Noura menelan ludah. Tenggorokannya kering. Bagaimana ini?!
Di dalam lemari, Zayn menahan nafas. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak begitu keras, seolah seluruh dunia bisa mendengarnya.
Darrel melangkah masuk dan ketegangan mulai memenuhi udara.
Noura akhirnya menarik nafas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah mendekati Darrel.
"Hai, sayang," sapanya, suaranya terdengar sedikit bergetar.
Darrel menyipitkan mata, menatapnya dengan ekspresi curiga. "Kenapa lama sekali menjawab? Aku memanggilmu dari tadi."
"Ah, aku sedang... beres-beres." Noura tersenyum kecil, berharap ekspresinya terlihat alami.
Darrel tidak langsung menjawab. Ia hanya meletakkan tasnya sembarangan di meja, lalu berjalan mendekat. "Kemarilah, biar suamimu ini dapat ciuman dulu."
Noura menegang. Matanya melirik sekilas ke lemari di sudut kamar, di mana Zayn bersembunyi.
Saat Darrel mendekat dan hendak mengecupnya, Noura segera mendorong dadanya pelan. "Ah... kamu mandi dulu, ya? Nanti aku temani setelah itu."
Darrel mengernyit, jelas tidak puas dengan jawaban itu. "Kenapa pelit sekali? Aku kan ingin kecupan dari istriku.."
"Aku capek, Darrel," ucapnya cepat.
Namun, Darrel justru semakin curiga. Tatapannya beralih ke lemari yang berada di sudut kamar. "Kamu aneh sekali hari ini..."
Jantung Noura mencelos. Ketika Darrel mulai berjalan mendekati lemari, tubuhnya segera bergerak menghalangi.
"Sayang, biar aku yang cari bajumu, ya?" Ujarnya buru-buru, tangannya menyentuh lengan pria itu, mencoba mengalihkan perhatian.
Darrel menatapnya tajam. "Kamu serius? Tumben banget."
"Nggak apa-apa, aku yang urus," Noura bersikeras, mencoba terdengar santai.
Darrel menghela napas. Akhirnya, ia menyerah. "Baiklah. Aku akan mandi di bawah dulu."
"Ya.. nanti aku kasih bajunya."
Akhirnya Darrel berbalik, mengambil handuknya yang tergantung, lalu berjalan ke luar kamar.
Begitu suara pintu kamar tertutup, Noura hampir jatuh lemas. Tubuhnya masih menegang saat lemari di belakangnya perlahan terbuka.
Noura melirik ke arah kunci pintu yang rusak lagi, "Lagi-lagi pintunya rusak."
Dalam hitungan detik, Zayn keluar dari lemari dan langsung memeluk Noura dari belakang.
"Nyaris saja kita ketahuan." Ucap Noura dengan nafas yang sedikit sesak.
Noura menelan ludah. Tangan Zayn begitu kuat di pinggangnya, menahannya dalam dekapan tanpa memberi celah untuk bergerak.
Noura mencoba mendorong dada pria itu, tapi bukannya melepas, Zayn justru mempererat pegangannya.
"Daddy, kau harus pergi sebelum—"
"Ssstt..." Zayn meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, lalu menelusuri lekukan rahangnya dengan ujung jarinya.
"Jangan bicara soal dia, bukan itu yang kuinginkan sekarang."
Lalu, tanpa peringatan, Zayn menunduk dan mengecup lehernya—pelan, tetapi panas.
Noura tersentak, tubuhnya otomatis menegang, tapi Zayn hanya tersenyum di antara kulitnya yang mulai memanas.
"Aku suka baumu..." Gumamnya serak, sebelum menarik nafas dalam, seakan sedang menghafal aroma tubuh wanita itu.
"Daddy, jangan sekarang..."
Bukannya berhenti, tangannya menyelusup ke perut Noura, menekan tubuhnya lebih dekat hingga tak ada lagi jarak di antara mereka.
Lalu, tiba-tiba, Zayn menarik kepala Noura kesamping dan langsung mencium Noura dengan dalam. Hal itu terjadi dengan kasar seakan Zayn menunjukkan kepemilikannya.
Noura mencoba menghindar, tapi Zayn tak memberinya kesempatan. L1- dahnya menyelinap masuk, mengeksplor setiap sudut mulutnya dengan kesabaran yang menggoda.
Nafas Noura tersengal. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya—sesuatu yang panas, yang membuat tubuhnya bergetar di bawah dominasi pria ini.
Satu tangannya merayap naik, membingkai wajahnya.
"D- daddy..."
Zayn menggeram pelan, lalu menggigit kecil bibir bawahnya sebelum kembali melakukan itu lebih dalam, lebih menuntut.
Noura tidak bisa berpikir jernih. Bahu Zayn terasa kuat di genggamannya, nafasnya terasa panas di kulitnya, dan sensasi dari ciuman itu seakan meluruhkan kewarasannya.
Saat akhirnya Zayn melepaskan diri, ia menatap Noura lekat-lekat.
"Lain kali, aku pastikan tidak ada yang mengganggu." Bisiknya dengan nada rendah yang membuat bulu kuduk Noura meremang.
Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, Zayn melangkah pergi, meninggalkan Noura dengan nafas tersengal dan jantung yang berdetak tak karuan.
"Selamat malam Noura." Ucap Zayn sebelum benar-benar menghilang.
...****************...
Noura masih berdiri di tempatnya, tubuhnya terasa lemas, dadanya masih naik-turun cepat.
Bibirnya masih sedikit terbuka, sisa dari hal panas yang baru saja terjadi. Beberapa menit kemudian, Noura akhirnya sadar.
"Oh iya, pakaian Darrel.." Noura segera mencari beberapa kaus santai untuk pria itu.
Noura turun dengan tergesa dan menunggu di depan pintu kamar mandi. Beberapa saat berlalu dan suara gemericik air dari kamar mandi berhenti.
Detik berikutnya, pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Darrel yang hanya mengenakan handuk melilit di pinggangnya, rambutnya masih basah, meneteskan air ke bahunya yang kekar.
Sesempurna apapun pria ini, dulu Noura menganggapnya tampan tapi sekarang.. 'Diliat-liat lebih ganteng bapaknya' Batinnya lagi.
"Ini bajunya, sayang." Noura menyerahkan baju itu pasa Darrel.
Mata Darrel langsung mengarah ke Noura, yang berdiri kaku di dekat lemari dengan ekspresi aneh.
"Kamu abis ngapain?" Tanyanya, mengernyit curiga.
Noura menelan ludah, "Aku... cuma lagi kepanasan," jawabnya gugup, menghindari tatapan Darrel.
Pria itu mempersempit matanya, seakan mencoba membaca ekspresi wajahnya. Lalu, tiba-tiba, ia melangkah mendekat.
"Apa kamu yakin?" Suaranya lebih rendah, penuh kecurigaan. "Kenapa wajahmu merah?"
Jantung Noura mencelos, jangan sampai dia mencium aroma Zayn...
Tapi sebelum Noura bisa berpikir lebih jauh, Darrel berhenti di depannya—dan ekspresinya langsung berubah.
Mata pria itu tertuju pada sesuatu di lehernya, sebuah bekas merah yang tipis terlihat.
Seketika, suasana berubah dingin. "Noura..." Suara Darrel lebih dalam, nyaris berbisik. "Apa ini?" Darrel segera menunjuk bekas merah itu.
Noura langsung membeku. Jangan bilang ini bekas merah yang ditinggalkan Zayn barusan?
Sial.
Darrel menatapnya lekat-lekat, lalu tatapannya perlahan berubah. Dari curiga, menjadi sesuatu yang lebih gelap.
Marah.
"Kamu abis ngapain?!" Darrel mendorong Noura, dalam emosinya Noura tidak bisa melawan tenaga pria yang lebih besar darinya.
"Aku nggak ngapa-ngapain Darrel. Kamu kenapa kasar sekali?!" Noura balas membentak dan hal itu membuat Darrel makin murka.
"Berani ya kamu sekarang?" Darrel menatap Noura tajam kemudian menarik pergelangan tangan wanita itu.
"Ack!"
"Aku tanya kamu abis ngapain?!!" Bentak Darrel lagi. Lalu Darrel mengendus sekitaran Noura dan menyeringai. "Kenapa kamu bau parfum cowok? Kamu selingkuh?"
Sudah tamat Noura sekarang, yang harus ia lakukan hanyalah bertahan.
"Kenapa kamu sewot banget?" Noura menaikan nadanya, berusaha melawan balik.
"Ya sewot lah kamu kan istriku."
Noura tekekeh, "Kenapa kalau aku bau parfum cowok? Kamu emang punya bukti aku selingkuh, Darrel? Hei.."
Noura menatap tajam pria dihadapannya. Ini bahkan belum apa-apa, balas dendamnya belumlah selesai.
"Kamu aja nginep dirumah Mia, itu selingkuh kan namanya? Jelas-jelas loh buktinya di depan mataku, kalian berdua nginep berdua." Sergah Noura lagi dan hal itu membuat Darrel terdiam.
"A-aku kan udah bilang kalau mabuk, aku nggak ngapa-ngapain.." Darrel mendadak panik.
"Oh ya? Kalau kamu nuduh aku kaya gitu, aku juga berhak nuduh kamu." Lalu Noura menginjak kaki Darrel dengan keras.
"ARRGHH!"
'Noh.. rasain, seengaknya teriakanmu akan buat satu orang lagi keluar..' Batin Noura menuju ruang tengah, menunggu penjaganya.
"Selamat tidur diluar lagi, Darrel."