Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halaman Delapan
***
Pagi itu, suasana kantor terasa lebih tenang dari biasanya. Serena sibuk mengetik laporan bulanan di mejanya, berusaha fokus meski pikirannya sedikit melayang ke kejadian semalam. Hafiz yang tiba-tiba muncul, lalu mengantarnya pulang dengan ketulusan yang tak biasa.
Saat jam istirahat hampir selesai, Hafiz menghampiri mejanya. Ia berdiri sebentar, menunggu Serena menyadari kehadirannya.
"Serena, boleh bicara sebentar?"
Serena menoleh, sedikit terkejut tapi tetap mengangguk. Mereka berjalan ke ruang pantry yang sedang kosong.
"Aku tahu ini mungkin mendadak," Hafiz memulai. "Tapi aku mau tanya, kalau misalnya... kamu dapat tawaran pindah kerja ke tempat yang mungkin lebih stabil dan lingkungan kerjanya lebih baik, kamu mau?"
Serena mengernyit. "Maksudnya?"
"Ayahku punya perusahaan sendiri. Aku akan mulai kerja di sana dalam waktu dekat. Dan aku berpikir, kamu mungkin bisa ikut. Tapi ini cuma tawaran. Kamu nggak harus jawab sekarang."
Serena terdiam. Ia tidak menyangka Hafiz akan menawarkan hal sebesar ini. Dalam hatinya, ia merasa dihargai. Tapi sekaligus ragu—apakah ini karena profesionalisme? Atau ada hal lain di balik perhatian Hafiz?
"Terima kasih, Mas Hafiz. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkannya."
"Tentu. Aku tunggu jawabanmu."
Mereka kembali ke meja masing-masing. Hari itu berjalan biasa, namun ada satu hal yang tidak luput dari perhatian Serena. Dirga. Laki-laki itu tidak mendekatinya sama sekali hari ini. Bahkan tidak menatapnya seperti biasanya. Seolah ada sesuatu yang membuatnya mundur.
Serena menghela napas. Entah hari ini lebih tenang, atau justru menjadi awal dari badai yang lain.
.
Malam harinya, Serena duduk di dekat jendela kontrakannya. Angin malam meniupkan udara dingin ke sela-sela tirai tipis. Ia kembali mengingat tawaran Hafiz.
Tempat kerja baru. Suasana baru. Tapi juga ketidakpastian baru.
Di kantor sekarang, Serena nyaris tidak memiliki teman perempuan. Banyak yang memandangnya sinis atau bahkan iri. Ia takut jika berpindah, akan mengalami hal yang sama. Apakah di perusahaan Hafiz akan ada perempuan lain yang bisa menjadi teman? Atau malah ia kembali menjadi orang asing yang dijauhi?
Namun di sisi lain, Hafiz tampak tulus. Dan Serena tahu, tawaran itu bukan hanya tentang pekerjaan. Itu tentang rasa percaya. Tentang memberi jalan keluar.
Serena menatap langit malam yang berkelap-kelip. Hatinya masih ragu. Tapi ada secercah harapan yang perlahan tumbuh—mungkin ini bisa jadi awal hidup yang benar-benar baru.
“Apa aku terima? Kalau aku terima tawaran Mas Hafiz. Pasti akan nggak akan bertemu sama Mas Dirga lagi.” Gumamnya.
Tok tok tok
Serena menatap pintu Kontrakan nya, siapa malam-malam begitu bertamu? Pikir nya.
Serena melangkah menuju pintu, sebelum membuka pintu nya. Ia lebih dulu melihat dari jendela dengan menyibak sedikit gorden.
Serena merasa lega ternyata yang mengetuk pintu Kontrakan nya itu Delia.
Ckelk
“Akhirnya dibuka juga.”
“Aku lihat dulu siapa yang datang, habisnya kenapa nggak manggil aja sih?”
“Hehehe, lagi malas aja. Ini aku ada sedikit oleh-oleh dari Ibu, kebetulan Ibu habis pulang dari Malang.” Delina memberikan oleh-oleh nya kepada Serena.
Serena mengambil nya, “Terima kasih ya.”
“Sama-sama, kalau gitu selamat beristirahat.”
Delina masih punya orang tuanya, hanya saja orang tuanya tinggal di Bekasi. Dulu waktu masih sekolah orang tuanya tinggal di Jakarta Selatan, tapi waktu itu Rumahnya terbakar dan orang tuanya mendapatkan tinggal baru di daerah Bekasi.
.
Pagi hari sudah tiba kembali, Serena membuka mata dengan perasaan berbeda. Ia telah memikirkan segala kemungkinan semalaman. Hatinya telah sampai pada satu keputusan
Ia akan menerima tawaran Hafiz.
Saat menatap wajahnya sendiri di cermin kamar mandi, Serena berbisik pelan pada dirinya, "Kamu bisa. Ini waktunya berubah."
Namun, saat ia mengenakan blus kerjanya dan merapikan tas, keraguan kembali muncul. Kontrak kerjanya di kantor sekarang masih tersisa lima bulan lagi. Bukan hal mudah untuk keluar begitu saja, apalagi jika pihak HR tidak bersedia melepas lebih awal.
Di perjalanan menuju kantor, Serena membuka ponselnya dan mulai menulis pesan untuk Hafiz:
“Mas Hafiz, aku pikir aku mau menerima tawaranmu. Tapi ada satu kendala. Kontrak kerjaku di sini masih lima bulan lagi. Aku belum tahu apakah aku bisa keluar sebelum itu.”
Ia belum menekan kirim. Jari-jarinya menggantung di atas layar, pikirannya masih berkecamuk. Bagaimana jika Hafiz kecewa? Atau lebih buruk, menganggapnya tidak serius?
Serena menatap keluar jendela kendaraan yang membawanya ke kantor. Langit pagi mulai cerah, tapi hatinya masih mendung.
Ia tahu, setiap langkah menuju perubahan akan selalu disertai ujian. Tapi yang ia tidak tahu adalah, seberapa besar pengaruh langkah ini untuk hidupnya ke depan.
Setibanya di kantor, Serena duduk di bangkunya dengan hati berdebar. Setelah menimbang cukup lama, ia akhirnya menekan tombol kirim pada pesan yang tadi pagi ia ketik,
Setelah beberapa Menit kemudian ada balasan dari Hafiz.
“Serena. Soal kontrak, jangan khawatir.
Aku bisa bantu bicara langsung ke bagian legal atau HR-mu kalau dibutuhkan. Tapi kalau kamu merasa lebih nyaman urus sendiri, aku tunggu keputusanmu. Aku percaya kamu bisa.”
Serena tersenyum kecil. Hafiz memang selalu membuatnya merasa dihargai tanpa merasa ditekan.
Terlihat hari ini Hafiz tidak masuk kerja, mau bertanya tapi nggak berani. Serena bertanya-tanya apa Hafiz sudah pindah ke perusahaan Papanya?.
Hari itu berjalan cukup cepat. Tapi sebelum pulang, Serena memberanikan diri mengirim pesan ke kepala HR—Bu Lisa, meminta waktu untuk bertemu secara pribadi keesokan harinya.
.
Malamnya, Serena mengobrol dengan Delina di kontrakan. Mereka duduk sambil menikmati roti bakar dan teh hangat.
"Kalau aku jadi kamu, aku ambil kesempatan itu, Ren," kata Delina mantap. "Kamu udah terlalu lama di tempat yang nggak ngasih ruang buat kamu berkembang. Mas Hafiz itu orang baik, dan kamu juga tahu dia nggak cuma sekadar rekan kerja."
Serena mengangguk pelan. "Aku takut, Del. Takut kalau aku cuma dianggap karena perasaannya. Bukan karena kemampuanku."
Delina tersenyum. "Tapi kamu tahu kamu mampu. Dan kalau dia percaya sama kamu, kenapa kamu nggak coba percaya juga?"
Serena menarik napas panjang. Esok hari bisa jadi menjadi langkah besar. Tapi malam itu, ia memilih untuk percaya—pada dirinya sendiri, dan sedikit... pada Hafiz.
.
Pagi berikutnya, Serena datang lebih awal. Ia mempersiapkan diri dengan baik, menyusun kata-kata dalam kepalanya, dan membawa semua dokumen terkait kontraknya.
Saat jam menunjuk pukul sepuluh, ia berdiri di depan ruangan Bu Lisa, mengetuk pelan.
"Masuk."
Bu Lisa, wanita paruh baya yang tegas namun adil, mempersilakan Serena duduk.
"Ada apa, Serena?"
Serena menjelaskan dengan tenang bahwa ia mendapat tawaran pekerjaan di perusahaan lain, dan merasa ini adalah kesempatan baik baginya untuk berkembang. Ia juga menyampaikan bahwa kontraknya masih berlaku lima bulan, tapi ia ingin membicarakan kemungkinan pemutusan kontrak lebih awal secara baik-baik.
Bu Lisa mengangguk pelan. "Saya apresiasi kamu datang langsung dan bicara baik-baik. Saya akan diskusikan ini dengan manajemen. Kalau kamu bisa serahkan surat resmi pengunduran diri dan permintaan pengakhiran kontrak lebih awal, kita lihat apa bisa diatur."
Serena merasa lega. Ini belum final, tapi setidaknya jalan itu mulai terbuka.
Di luar ruangan, ia menatap ke langit. Hari itu cerah. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Serena merasa langkahnya menuju masa depan tidak lagi dibayangi oleh luka semalam.