Sebagai pembaca novel akut, Aksa tahu semua tentang alur cerita, kecuali alur ceritanya sendiri. Hidupnya yang biasa hancur saat sebuah buku ungu usang yang ia beli mengungkap rahasia paling berbahaya di dunia (para dewa yang dipuja semua orang adalah palsu).
Pengetahuan itu datang dengan harga darah. Sebuah pembantaian mengerikan menjadi peringatan pertama, dan kini Aksa diburu tanpa henti oleh organisasi rahasia yang menginginkan buku,atau nyawanya. Ia terpaksa masuk ke dalam konspirasi yang jauh lebih besar dari cerita mana pun yang pernah ia baca.
Terjebak dalam plot yang tidak ia pilih, Aksa harus menggunakan wawasannya sebagai pembaca untuk bertahan hidup. Ketika dunia yang ia kenal ternyata fiksi, siapa yang bisa ia percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Equinox_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Klub Misteri
Sinar pagi mentari menyilaukan. Cahayanya masuk, menusuk menembus jendela kamar seseorang. Di kamar itu, terdapat beberapa baju yang tergeletak di lantai, buku yang berantakan seolah tak dirapikan setelah aktivitas semalaman.
Perlahan, lelaki berambut hitam itu membuka matanya karena terkena sinar matahari yang hangat ini.
”Ugh... jam berapa ini?” ucapnya dalam kondisi linglung bangun dari tidur.
Detak jam dinding menandakan pukul tujuh pagi.
Perlahan, Aksa bangkit dari kasurnya, memegangi kepalanya yang masih pusing karena bangun tidur. Ia meminum seteguk air putih dari gelas di meja sebelah kasurnya.
'Sudah saatnya ke akademi. Satu tahun lagi aku akan lulus,' pikirnya dengan lesu.
Tok... tok...
Suara ketukan terdengar dari luar pintu kamar.
”Kak... Kak Aksa... apa sudah bangun?” Suara gadis kecil terdengar dari celah pintu.
Aksa membuka pintu kayunya yang berderit, melihat Hannah yang masih memegang boneka tidurnya dengan wajah mengantuk.
”Oke, Hannah. Kakak akan mandi dan memakai seragam terlebih dahulu. Kamu bisa duluan,” ucap Aksa diiringi senyum tulus.
Aksa mengambil handuk dari lemarinya, berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Bentuk tubuhnya agak modis: otot perut yang mulai terbentuk, dilengkapi kumpulan otot di antara kedua lengannya yang tampak begitu menonjol, seakan tubuhnya atletis. Lanjut, ia memakai seragam akademi dan mengambil sarapannya di ruang keluarga.
“Ah, Aksa, tadi malam ada seseorang yang mencarimu saat kamu tertidur,” ujar sang ibu sembari membersihkan dapurnya yang berantakan.
“Hmmm... siapa, Bu?” tanyanya dengan heran.
“Entahlah, tapi orang itu memakai pakaian agak lusuh dan terlihat sudah sangat tua,” jawab ibunya sambil memperagakan gaya kakek tua itu.
'Nggak mungkin kakek tua sialan itu, 'kan?' pikirnya.
Aksa bergegas meminum susu dan membawa roti di mulutnya. Ia berpamitan, menyalami Hannah dan ibunya.
”Bu, aku pergi.”
“Iya, hati-hati,” jawab ibunya sambil melambaikan tangan bersamaan dengan Hannah.
.
.
Untuk menuju akademi, ia diharuskan melewati beberapa distrik. Rumah Aksa sendiri berada di Distrik 4, yang merupakan perbatasan antara kesenjangan kemiskinan dan kekayaan. Akademi berada di Distrik 2, sementara Distrik 1 diisi oleh para pejabat dan Istana Kekaisaran Shepnia.
Gerbang tinggi menjulang di depannya. Terlihat dua penjaga berseragam hitam berdiri tegak mengawasi tempat itu. Banyak murid masuk melewati gerbang tersebut, tak terkecuali Aksa. Hingga ia sampai di dalam kelas yang berisi 40 siswa.
Kelas itu memiliki kursi yang bertingkat ke atas, dengan fokus utama di depan adalah papan tulis hijau dan meja guru.
Aksa, yang telah berada di pojok dekat pintu keluar, terlihat mengamati semua murid yang sedang asyik berbincang.
'Huft, orang biasa sepertiku ini tidak memiliki kisah seperti di novel-novel,' pikirnya, membawa dirinya seolah karakter sampingan dalam sebuah cerita.
Dalam keluhannya, seseorang menepuk pundaknya.
”Hei, Aksa! Kenapa tadi kita tidak berangkat bareng saja ke sini?” sapa seseorang berambut pirang dengan wajah tampan.
'Eh, aku melupakan seseorang ternyata,' pikirnya, sembari membalas, ”Ah, maaf, aku terburu-buru. Mungkin kita pulangnya bisa bareng atau nanti kita pergi saat istirahat bersamaan?”
Orang yang menyapa Aksa itu ialah Brian, sohibnya sedari kecil, seolah tak pernah terpisahkan seperti saudara. Ia cukup menjadi idola bagi kaum perempuan, perawakannya yang sedikit lebih tinggi dari Aksa, alisnya yang lentik, dan dilengkapi rambut pirangnya yang membuat daya tariknya semakin menjadi.
Ting!
Suara bel berbunyi. Semua murid mulai merapikan meja dan mengambil posisi duduk untuk memulai kelas. Tak lama kemudian, seorang guru berambut pirang dengan tubuh yang modis serta kacamata, yang cocok untuk menjadi bahan pembicaraan para siswa lelaki, masuk. Guru itu bernama Ms. Liana.
“Baik, anak-anak, mari kita mulai kelas ini.”
Beberapa jam berikutnya telah berlalu. Semua murid memperhatikan penjelasan Ms. Liana dengan kondisi yang berbeda, tak terkecuali Aksa yang otomatis menguap seolah bosan dengan kelas itu.
“Brian...,” bisik Aksa. ”Pssstt... Brian.”
Mendengar bisikan Aksa, Brian menoleh dengan gestur bertanya. ”Hm?”
“Kelas Ms. Liana membosankan seperti biasa. Jika bukan karena fisiknya, mungkin banyak orang yang tertidur,” ucap Aksa.
Ia menunjuk dengan dagunya ke pintu keluar, seolah mengajak Brian, sohibnya, untuk pergi di tengah pembelajaran.
Brian mengangguk setuju dan tersenyum lebar. Mereka berdua perlahan membungkuk dan berjongkok, melangkah dengan hati-hati di tengah keheningan suara penjelasan Ms. Liana.
Langkahnya sunyi. Aksa mulai membuka pintu itu dengan hati-hati, diikuti oleh Brian di belakangnya. Aksa berhasil keluar kelas dengan aman, hingga Brian tak sengaja menutup pintu kelas dengan agak keras.
Brak!
Suara pintu tertutup memecah keheningan kelas.
”Suara apa itu?” tanya Ms. Liana dengan tegas. ”Hah... di belakang, dua kursi telah kosong! Brian dan Aksa ke mana?” Melihat dua kursi belakang yang telah kosong, Ms. Liana keheranan.
Semua murid mengabaikan perilaku dua orang itu, seolah mereka sudah paham kebiasaan mereka saat sedang di kelas.
Suara tawa terdengar di lorong kelas yang sepi. Dua orang pria asyik berbincang karena mereka berhasil keluar dari tempat yang memenjarakan mereka.
”Hahaha... seperti biasa, mari kita menuju ruangan klub,” ajak Brian.
Tangan Aksa merangkul leher Brian diiringi tawa. ”Ruangan klub? Itu lebih pantas dinamakan gubuk, menurutku,” jawab Aksa.
Dalam perbincangan mereka, mereka telah tiba tepat di depan sebuah ruangan yang tak terawat. Plang bertuliskan 'Klub Misteri' sudah miring, ditambah dengan pintu kayu yang sudah lapuk.
Nyiiit...
Suara pintu terdengar saat Aksa membukanya.
Di ruangan klub itu, terdapat banyak barang berserakan. Artefak gagal yang berdebu, sofa yang sudah bolong, ditambah dengan aroma sumpek karena minimnya udara.
“Huft, baiklah, mari kita bersantai hingga jam pulang berbunyi,” ucap Aksa sembari mencoba mencari posisi untuk bersantai di sofa bolong tersebut.
Brian, yang duduk di depan meja yang dipenuhi artefak gagal berdebu, mulai mengoprek artefak tersebut. Ia sendiri sangat menyukai kegiatan membuat artefak unik. Walaupun hasilnya banyak yang gagal, tetapi masih ada yang berhasil, walau fungsinya tidak terlalu bagus, seperti penggosok gigi otomatis.
Waktu berjalan dengan cepat, seakan sengaja mempermainkan mereka ketika mereka asyik bersantai.
Di tengah percepatan waktu itu, Aksa mulai memikirkan tentang buku ungu dari kakek tua.
”Brian... aku menemukan buku aneh di pasar.”
“Hmmm... buku aneh?” tanya Brian.
“Iya, buku aneh. Kata penjualnya, aku nggak bisa baca itu kalau nggak sendirian,” jawab Aksa sambil perlahan berdiri mendekati Brian di mejanya.
Brian menoleh ke belakang. ”Huh, paling buku novel yang biasa kau beli, bukan?” Dengan wajah meledek, ia melanjutkan, ”Kau, 'kan, paling suka merasa seperti karakter sampingan. Kau sering berharap bahwa dunia ini adalah dunia novel, dengan karakter utamanya orang lain dan kau hanya figuran,” lanjutnya.
Aksa yang tak terima dengan pernyataan temannya, memukul kepala Brian. “Sialan! Memang salah apa baca buku novel? Lagian, ini benaran aneh, penjualnya juga,” jawab Aksa dengan nada kesal.
“Ugh, sakit! Biasa saja, dong! Memang seaneh apa, sih, sampai memukul temanmu sendiri?” tanya Brian yang kesakitan sembari memegangi kepalanya.
“Ah, maaf, kelepasan. Aku benar-benar kesal terhadap kakek tua sialan itu,” ujar Aksa sambil mengerinyitkan alisnya. ”Penampilannya seperti gembel. Waktu aku ingin membeli barangnya, ia tertidur dengan mata terbuka, lho! Dan ketika aku ingin memegang sebuah buku jelek berwarna ungu, ia memukulku dengan sangat cepat, seolah dia ahli dalam bela diri,” lanjutnya.
Brian meletakkan artefaknya dan berdiri sambil berpikir. ”Tunggu, memukulmu? Seorang kakek-kakek?”
“Iya, kecepatannya seperti bukan kecepatan kakek-kakek.”
Mendengar ucapan Aksa, Brian berpose dengan artefak tongkat gagalnya seolah ahli bela diri. ”Seperti ahli bela diri misterius saja?” Sebuah pose dengan gaya aneh tergambar dalam pose Brian.
“Hentikan itu. Jika ahli bela diri melihatnya, kau bisa mati karena mengoloknya,” jawab Aksa yang memasang ekspresi menjijikkan.
Brian meletakkan artefaknya. “Memang apa yang aneh? Bukannya kau ditipu?” tanya Brian.
“Aku mikirnya begitu, tapi tadi pagi ibuku memberitahuku bahwa kakek tua itu datang ke rumahku saat semalam aku tertidur,” ujarnya.
“Bagaimana bisa? Dari mana kakek itu tahu rumahmu?”
“Entahlah, tapi ada hal yang tak biasa dari kakek itu. Aku rasa aku salah membeli barang. Besok sepulang dari akademi, antar aku ke tempat kakek itu,” ajak Aksa dengan memasang wajah serius.
Brian mengangguk setuju.
Ting... ting... ting....
Suara tiga ketukan bel akademi menandakan aktivitas belajar siswa telah selesai. Semua orang mulai meninggalkan ruangan kelasnya masing-masing. Berlainan dengan Aksa dan Brian, mereka keluar dari ruangan klub yang seperti gubuk itu dan pulang ke rumahnya masing-masing.