Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepasang Sepatu di Depan Pintu
Malam itu, sebelum pulang ke rumah ia mampir ke tokoh pakaian, Vanesa sengaja berganti pakaian. Ia membeli gaun terbaik, merapikan rambut, dan menyapu lipstik merah ke bibirnya—seperti yang disukai Damian. Di balik matanya yang jernih, tersimpan harapan yang bahkan tak ingin ia akui. Harapan bahwa Damian mau menerimanya lagi sebagai istri dan membatalkan niatnya ingin bercerai.
"Aku berharap dia sudah pulang," bisiknya sambil menatap pantulan dirinya di ceemin.
Ia melangkah pulang dengan langkah hati-hati. Mobil Damian terparkir di depan rumah. Jantungnya berdegup cepat. Dengan gerakan refleks, Vanesa merapikan riasannya, memperbaiki kerah gaun, dan menghela napas dalam-dalam.
Namun langkahnya terhenti saat suara tawa riang terdengar dari ruang tamu. Suara Ibu mertuanya. Juga suara adik iparnya. Mungkin, pikir Vanesa, ada tamu penting. Mungkin seseorang datang membawa hadiah.
Tapi semua anggapannya runtuh ketika matanya menangkap sepasang sepatu hak tinggi di depan pintu. Sepatu yang sangat ia kenal. Langkahnya gemetar saat membuka pintu, dan tubuhnya langsung membeku.
Di ruang tamu, Iren—sepupunya sendiri—duduk santai, bersandar manja di bahu Damian.
‘Apa yang mereka lakukan?’ bisik Vanesa dalam hati, mencoba menenangkan gejolak aneh yang mulai menyengat dadanya.
Tawa mereka terhenti begitu melihat Vanesa berdiri di ambang pintu.
“Iren! Kapan datang?” Vanesa berusaha tersenyum, menyingkirkan rasa curiga yang mulai mengusik. Tapi bukan Iren yang menjawab.
Melainkan suara dingin dan tajam milik Ibu mertuanya. “Ngapain lagi kamu datang ke rumah ini? Bukannya Damian sudah mengusirmu?”
“Ibu, jangan bicara seperti itu,” sahut Vanesa berusaha tenang. “Mas Damian suamiku. Aku masih berhak pulang ke rumah ini.”
“Itu dulu!” sergah wanita itu. “Sekarang, tidak lagi. Aku sudah punya menantu baru untuk menggantikan kamu!”
“Apa maksud Ibu?” napas Vanesa tercekat.
Damian menunduk, tidak berani menatap matanya. Dan Iren... hanya tersenyum angkuh.
“Maaf, Nes,” ucap Iren datar. “Aku mencintai suamimu.”
Dunia seakan runtuh di atas kepala Vanesa. Teman tempat ia berkeluh kesah selama ini—wanita yang ia percaya—ternyata menusuknya dari belakang.
“Kalian berdua?” suara Vanesa bergetar. “Sejak kapan?”
Air mata mulai membasahi wajahnya, mengguyur riasan yang ia siapkan dengan hati penuh harap. Maskara mengalir di pipinya, namun ia tidak peduli. Ia hanya tahu hatinya hancur berkeping-keping.
“Iren sudah hamil,” Ibu mertua menambahkan, seolah menusuk lebih dalam.
Vanesa tertawa getir. “Jadi kalian berzina di belakangku?”
“Kami saling mencintai,” jawab Iren enteng.
“Omong kosong soal cinta, Iren! Kamu nggak pernah bisa mencintai siapa pun selain dirimu sendiri. Hidupmu cuma penuh iri dan kepalsuan. Kamu cuma tahu merusak apa yang bukan milikmu!”
Iren tersenyum mengejek. “Dulu iya. Sekarang aku mencintai Damian. Dia pria hebat. Nggak pantas hidup bareng wanita dekil sepertimu. Bahkan nggak pantas punya ayah mertua pemabuk kayak papimu!”
Seketika darah Vanesa mendidih. Ia maju dan menampar Iren keras.
“Jangan bawa-bawa keluargaku! Siapa dulu yang merengek minta bantuan ayahku? Kamu dan keluargamu! Sekarang begitu ayahku jatuh, kalian melupakan segalanya?”
Iren meringis, memeluk Damian. “Sayang... dia menamparku!”
Tanpa pikir panjang, Damian mendorong Vanesa hingga terjatuh. “Wanita sialan! Kalau kandungan Iren kenapa-kenapa, aku bunuh kamu!”
Ibu mertuanya ikut menyerang, menarik rambut Vanesa. “Kalau cucuku celaka, aku juga akan membunuhmu!”
Vanesa bangkit dengan napas terengah. Ia menepis tangan tua itu. “Silakan! Kalau memang berani!”
Mata Vanesa menatap tajam ke arah Iren, menyimpan rahasia yang belum mereka ketahui. Wajahnya dipenuhi luka dan amarah. Tapi tubuhnya berdiri tegak.
“Anak hasil hubungan zina itu... kalian banggakan? Seharusnya Ibu malu membiarkan anak Ibu menghamili wanita lain saat masih berstatus suamiku! Kalian tak tahu malu!”
Teriakan Vanesa menggema hingga ke luar rumah, menarik perhatian tetangga.
Damian menatapnya penuh benci. “Aku menceraikanmu Vanesa Danita. Kita akan bertemu di pengadilan!”
Ia menyodorkan surat cerai.
“Aku tidak akan menandatanganinya,” tegas Vanesa.
Ibu mertuanya memaksanya. “Tandatangani sekarang juga!”
“Diam! Tutup mulutmu!” teriak wanita itu sambil menyeret Vanesa masuk ke kamar dan menguncinya dari luar.
“Aku tidak akan membiarkan kalian menikmati hidup kalian dengan tenang!” jerit Vanesa dari dalam kamar.
Ketegangan melingkupi rumah itu.
“Kenapa Ibu nggak bilang kalau dia bakal pulang?” Damian mendesis, panik.
“Sayang, lakukan sesuatu. Aku nggak mau dipermalukan,” rengek Iren sambil mengusap perutnya yang masih rata.
“Kita harus paksa dia tanda tangan surat cerai,” ujar Damian dengan dingin.
“Kalau keluarga aku tahu... mereka pasti marah dan nggak akan setuju aku menikah sama kamu,” rengek Iren, manja.
Ibu Damian panik. Ia tidak mau kehilangan calon menantu kaya. Sudah lama ia mengidamkan kehidupan mewah—sesuatu yang tidak pernah bisa diberikan Vanesa, gadis miskin yang katanya hanya menjadi beban.
'Aku harus lakukan sesuatu. Aku tidak akan kehilangan menantu kaya ini,' batinnya.
Segera, ia menelepon saudaranya yang dikenal sebagai preman pasar. Ia memerintahkan mereka datang malam itu juga untuk memaksa Vanesa menandatangani surat cerai—kalau perlu, menculiknya.
Namun, tak mereka duga, Vanesa mendengar semuanya.
Dengan cepat, ia mengemasi barang-barang penting, membuka jendela kamar, dan kabur dari rumah itu menuju rumah ayahnya. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar, tapi tekadnya bulat.
Vanesa berdiri di balik tirai jendela, menggenggam koper, menahan napas.
“Kalian ingin perang?” bisiknya. “Baik. Tapi kalian belum tahu siapa Vanesa Danita yang sebenarnya...”
Bersambung.
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini