NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hangat nya sebuah Awal

Setelah keramaian di kantor sedikit mereda, Pak Wiratma berdiri kembali, kali ini dengan gelas kopi di tangan. Suaranya tetap berwibawa, tapi lebih hangat.

“Teman-teman, hari ini bukan hanya hari besar untuk Rendi, tapi juga untuk kita semua. Perusahaan ini dibangun bersama, dan tumbuh karena kerja keras kalian semua. Jadi malam ini, saya yang akan menjamu kalian. Kita rayakan di Restoran Loka Rasa, jam tujuh malam. Semua sudah diatur—dan ya, tentu saja, dibiayai oleh kantor.”

Sorak sorai langsung terdengar, disambut tepuk tangan yang riuh. Beberapa karyawan bahkan bersiul, tak sabar membayangkan makanan hangat dan suasana santai setelah hari yang padat.

Rendi tersenyum tipis di antara keramaian. Ia menghampiri Pak Wiratma, membungkuk sedikit dan berbisik, “Terima kasih, Pak. Saya sebenarnya ingin traktir, tapi…”

Pak Wiratma menepuk bahunya pelan. “Kamu akan punya banyak waktu untuk itu, Rend. Biarkan malam ini, saya yang urus. Anggap saja hadiah kecil dari seorang Ayah... untuk anak yang berhasil berdiri sendiri.”

Kata-kata itu membuat dada Rendi terasa sesak—bukan oleh beban, tapi oleh rasa syukur yang tak sempat diucap. Ia menatap wajah ayahnya, dan dalam sekejap, semua yang pernah mereka lewati terasa layak: konflik, perbedaan pendapat, dan malam-malam lembur yang sunyi.

Menjelang sore, saat kantor mulai sepi, Rendi berdiri di depan jendela ruangannya. Tangannya menggenggam ponsel. Setelah beberapa detik ragu, ia menekan tombol panggil pada nama yang sudah sangat familiar: Alisya.

“Halo?” suara di seberang terdengar lembut dan penuh kehangatan.

Rendi menarik napas. “Sayang, aku belum sempat cerita dari tadi. Tapi… hari ini aku resmi diangkat jadi Direktur.”

Terdengar keheningan sebentar, lalu suara tawa kecil dari Alisya. “Aku sudah tebak. Tadi pagi Rasya bilang mimpinya Ayah duduk di kursi besar pakai jas. Mimpi anak kita memang kadang aneh, ya.”

Rendi ikut tertawa pelan. “Dia lebih peka dari Ayahnya, kayaknya.”

“Selamat ya, Mas . Aku tahu kamu pasti bisa. Tapi jangan lupa istirahat malam ini.”

“Ayah ngajak makan-makan bareng tim, dia yang traktir. Aku pulang agak malam, ya. Nanti aku bungkusin sesuatu buat kamu dan Rasya.”

“ Gak usah sayang , Yang penting kamu pulang dengan senyum, bukan lelah,” jawab Alisya pelan.

Seketika, suara itu jadi pelipur lelah bagi Rendi. Ia memejamkan mata sejenak. “Terima kasih, sayang , Kamu selalu jadi rumah, bahkan dari jauh.”

Mereka saling diam sejenak, tapi diam yang hangat. Yang tidak butuh kata-kata.

Setelah telepon ditutup, Rendi menoleh ke meja kerjanya. Di sana, sebuah berkas baru menanti. Dan tak jauh darinya, Bunga sedang menyiapkan dokumen tambahan, sesekali mencatat sambil mencuri pandang ke arahnya.

Malam ini, pesta akan dimulai. Tapi bagi Rendi, pesta sesungguhnya baru akan dimulai besok—hari pertama memimpin bukan hanya perusahaan… tapi juga kepercayaan orang-orang yang mempercayakan masa depannya padanya.

...****************...

Malam pun tiba. Restoran Loka Rasa yang terletak di sudut Senopati telah dipesan khusus malam itu. Sebuah ruangan semi-terbuka disulap jadi tempat makan bersama yang hangat dan santai. Meja panjang dihiasi lilin kecil dan bunga segar, dengan pemandangan lampu kota Jakarta yang berkelip dari kejauhan.

Pak Wiratma tidak hadir malam itu, tapi semua sudah tertata rapi berkat tim administrasi yang sigap. Ia hanya menitipkan pesan singkat kepada Rendi lewat manajer HR:

“Ini malam mereka. Biarkan mereka saling mengenal. Pemimpin yang baik, dimulai dari menjadi teman.”

Sebelum makan dimulai, salah satu karyawan senior, Pak Bagus, berdiri dan mengetuk gelasnya pelan. “Baik, teman-teman. Sebelum kita serbu makanan ini, mari kita tundukkan kepala sebentar. Bersyukur atas hari ini.”

Semua pun hening. Beberapa menutup mata, sebagian tersenyum tipis. Doa singkat meluncur dari mulut Pak Bagus, penuh harap dan syukur atas perjalanan yang sudah dilalui bersama.

Begitu doa selesai, suasana langsung cair. Tawa mulai mengisi ruang, piring-piring mulai bergeser, dan aroma makanan membuat semua perut berbicara.

Bunga duduk di ujung meja, agak kaku, sampai akhirnya Ibu Lina, perempuan paruh baya dari bagian keuangan, menyikutnya pelan.

“Bunga, kamu tau nggak… tadi pagi waktu diumumin kamu sekretaris direktur, semua langsung bisik-bisik. Katanya, ini kayak di drama Korea,” ujarnya sambil tertawa.

“Wah iya!” sahut Fadil dari bagian operasional, “Abis cantik sih. Siapa tau Pak Rendi nanti suka...” godanya disambut tawa bersahut-sahutan.

Bunga tersenyum, tidak tersinggung. Ia justru menegakkan bahu, lalu menjawab dengan santai, “Kalau kayak drama Korea, berarti nanti ending-nya ada yang kecelakaan terus amnesia, dong.”

Tawa meledak lagi, kali ini lebih keras.

“Waduh, semoga enggak ya. Yang ada, kita semua amnesia kalau ditanya laporan minggu lalu,” celetuk salah satu staf, membuat gelas hampir jatuh karena terlalu semangat tertawa.

Rendi yang duduk agak di tengah meja hanya tersenyum tipis. Ia memperhatikan Bunga dengan sekilas pandang, lalu kembali menyesap air putihnya. Tapi tatapan itu tak luput dari Bunga, yang pura-pura sibuk membolak-balik tisu di depannya sambil menahan senyum kecil.

Perlahan, percakapan mengalir antar meja. Beberapa karyawan mulai mengenalkan diri pada Bunga, yang menyambut mereka dengan sopan tapi santai. Ketegangan pagi tadi seolah mencair dalam tawa dan obrolan ringan.

Dan di antara gurauan, piring-piring yang makin kosong, serta malam yang makin hangat, Bunga merasa... diterima.

Malam itu bukan hanya selebrasi atas jabatan baru, tapi juga tentang awal. Awal bagi tim baru, awal bagi Rendi sebagai pemimpin, dan awal bagi Bunga untuk menemukan tempatnya—bukan sekadar di kantor, tapi di antara orang-orang yang perlahan mulai ia kenali… dan mungkin, mulai ia sayangi.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Beberapa karyawan mulai berdiri, mengemasi tas mereka sambil bersiap pulang. Tawa masih tersisa, tapi kini lebih pelan, seperti api yang mulai meredup tapi belum padam.

Di dekat pintu keluar restoran, Bunga sedang berpamitan dengan Ibu Lina dan beberapa rekan perempuan. Tak jauh dari mereka, Rendi sedang mengobrol dengan Fadil dan Pak Bagus.

Rendi melirik ke arah Bunga, lalu menghampirinya setelah menyelesaikan percakapannya. Senyumnya tenang, namun ada kesan pemimpin yang mulai tumbuh dari dalam dirinya.

“Bunga,” sapanya, “Terima kasih sudah datang malam ini. Semoga nggak kapok ya, dibercandain karyawan kita.”

Bunga terkekeh pelan. “Nggak, Pak. Justru bikin saya merasa lebih diterima. Tadi sempat takut nggak bisa nyatu, tapi ternyata seru juga.”

Fadil ikut menyela sambil tersenyum, “Lusa pasti udah ikut rebutan kopi pagi-pagi di pantry, tenang aja.”

“Tapi serius, ya,” sambung Ibu Lina, kali ini suaranya lebih lembut, “Kita semua di sini udah kayak keluarga. Kalau ada apa-apa, jangan segan cerita. Kita semua belajar bareng.”

Bunga mengangguk mantap. “Siap, Bu. Saya juga mau bantu sebisa saya. Biar kantor ini makin kompak.”

Rendi menoleh ke semua yang masih berdiri di dekat mereka, lalu berkata, “Mulai besok, kita bukan cuma kerja bareng, tapi jalan bareng. Kalau ada ide, saran, bahkan kritik—langsung sampaikan. Saya ingin perusahaan ini tumbuh bareng-bareng sama orang-orang di dalamnya.”

Semua yang mendengar angguk perlahan, sebagian tersenyum. Besok, segalanya akan kembali pada meja-meja kerja, dokumen, dan laporan. Tapi malam ini... mereka pulang dengan hati yang sedikit lebih hangat.

1
Yati Syahira
sdh panjang bab tdk terungkap perselingkuhan suaminya aneeh bikin males baca
ARSLAMET: biar makin penasaran kak , hehehe staytune trus ya
total 1 replies
D͜͡ ๓KURNI CACAH
wanita sebaik dan secantik sabar alisha kok bisa si di sakiti Sama laku laku kampret Kya si Rendi
D͜͡ ๓KURNI CACAH
ngk rela bgt alisha di Madu
D͜͡ ๓KURNI CACAH
kampret Rendi sama bunga kok bisa nikah ...dasar laki laki apa pun ala San nya tetap tak di benarkan
Rubyna
kok gak ada kejelasan tiba tiba menikah karna apa, dan bunga seharus nya menolak tau kan kalau Rendi susah beristri
ARSLAMET: dukungan nya kaka , selalu berharap yang terbaik untuk tulisan ku dan semua hal hehe
Rubyna: semangat ya, noveltoon gak kayak dulu, asal kontrak sudah dapat cuan sekarang susah
total 4 replies
❤ Nadia Sari ❤
ketikannya kok center semua?
ARSLAMET: @ terimakasih sebelumnya atas sarannya ..
❤ Nadia Sari ❤: bagus yg awal aku tadi bacanya kayak lagu
total 3 replies
pembaca
lanjut kan tuk menuju sukses
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!