NovelToon NovelToon
Terjebak Dalam Cinta Hitam

Terjebak Dalam Cinta Hitam

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Obsesi / Trauma masa lalu
Popularitas:965
Nilai: 5
Nama Author: Mila julia

Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .

Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20. Malam Pertama Tanpa Sentuhan

Angin malam menyelinap dari balkon, mengibaskan tirai renda putih dan menaburkan hawa dingin ke kamar berlangit‑langit tinggi. Lampu gantung kristal diredupkan, memecah cahaya jadi serpih keemasan di dinding krem. Segalanya tampak terlalu mewah untuk hati yang masih gemetar—tetapi di sinilah aku, Aurora Putri Dirgantara, berdiri di ambang ranjang pengantin yang lebar bagai danau tenang, mengenakan gaun sutra putih tipis dengan rambut panjang terurai, masih dicium aroma mawar dari resepsi.

Terdengar ketukan ringan disertai suara rendah yang selalu terdengar seperti puisi Shakespeare yang nyangkut di pintu dapur.

“Boleh aku masuk? Atau perlu surat izin bertanda tangan notaris?”

Aku menyahut tanpa menoleh, “Kamar ini milikmu, Pak CEO. Aku cuma kontrakan bulanan.”

Pintu bergeser. Tristan melangkah masuk sambil membawa dua gelas. Satu berisi susu hangat, satu lagi cairan kebiruan.

Aku mengangkat alis. “Minuman apa itu? Antifreeze?”

Ia menahan tawa. “Teh bunga kaktus. Menurut buku herbal, bagus untuk menenangkan otot tegang.”

“Bagus,” gumamku. “Kalau ternyata racun, setidaknya kita berdua mati lebih tenang.”

Tristan menaruh gelas di meja samping, lalu menatap ranjang yang terlalu rapi. “Jadi… inilah tempat singgasana malam pertama.”

Aku pura‑pura terkejut. “Oh, kupikir tempat interogasi CIA. Lihat seprei seputih itu—cukup untuk memantulkan dosa siapa pun.”

Ia menertawakan sarkasme itu, melepaskan jasnya, lalu berjalan ke sofa di sudut. “Baiklah, aku tidur di sofa. Lebih keras dari reputasiku, tapi jauh lebih aman.”

“Takut padaku?”

“Takut dibilang mesum nasional,” sahutnya sambil merebahkan punggung. “Lagipula, sofa ini sudah ku peringatkan untuk tak memelukku tengah malam.”

Aku tersenyum tipis, duduk di pinggir ranjang, menyentuh seprei satin dengan ujung jemari. Sunyi masuk di antara jantung kami.

“Aku agak lega kau tidak bersikeras tentang… hal‑hal klise malam pengantin,” kataku.

“Konon, kesan pertama itu penting,” balasnya. “Jika besok kau mau lari lagi, setidaknya bukan karena ku buat trauma.”

Aku menatapnya. “Kau mempunyai luka sendiri, ya?”

Ia meremas bantal sofa, menatap langit‑langit. “Ibu meninggal sebelum aku minta maaf. Sejak itu, aku belajar mencintai tanpa mempercayai. Hasilnya? Seorang pria yang menahan semua orang terlalu erat hingga mereka sesak.”

“Kau takut sendirian,” ujarku pelan.

“Kau juga,” sahutnya. “Bedanya, kau berlari. Aku memasung.”

Aku menunduk. “Mungkin kita sama‑sama salah cara.”

Hening memanjang, lalu ia bangkit, berjalan ke rak buku kecil, menyentuh punggung novel. “Jika mulai sekarang kita belajar cara lain? Kau boleh lari, tapi beri tahu arah. Aku boleh menahan, tapi dengan pintu tak terkunci.”

Aku berdiri, melangkah pelan ke arahnya. Jarak tinggal dua sen­ti—jarak yang kami sepakati sejak perpustakaan. Cahaya lampu membuat iris obsidiannya berkilau lembut.

“Tristan…”

“Ya?”

Aku ragu sejenak, namun lidah lebih jujur daripada kepala. “Malam ini, maukah kau… tidur di sini? Bukan untuk menyentuhku. Hanya… peluk. Supaya aku ingat rasanya aman.”

Ia terdiam, seolah takut bernapas terlalu keras. “Kau yakin?”

“Aku tidak minta banyak. Hanya lenganmu sebagai selimut. Besok, mungkin aku kembali meragukanmu. Tapi malam ini, biarkan otakku istirahat.”

Ia menunduk setengah senyum. “Permintaan paling indah yang pernah kuterima.”

Tristan mematikan lampu utama; cahaya kuning lampu meja menyisakan siluet lembut. Ia menggeser selimut, berbaring di sisi ranjang, menjaga jarak. Aku mengikuti, merebahkan kepala di bantal. Hati deg‑deg, tapi bukan karena takut.

“Boleh kupegang tanganmu?” tanyanya.

Aku menjawab dengan menautkan jemari ke jemarinya. Hangat. Tenang. Lalu perlahan‑lahan ku rapatkan tubuh, menyandarkan pelipis di dadanya. Detak jantung itu berat, mantap, seolah berkata: kau tidak sendiri.

“Terima kasih…,” bisikku.

“Untuk apa?” Suaranya setipis kertas.

“Untuk menjadi lampu malam di rumah yang belum kuanggap rumah.”

Aku merasakan bibirnya menempel singkat di ubun‑ubun, sehalus napas.

Tidak ada ciuman lebih lanjut, tak ada tangan kelana. Hanya lengannya melingkar lembut di bahuku—pelukan yang tidak menuntut.

“Kalau kau sesak, dorong saja,” gumamnya.

Aku tertawa pelan. “Kalau aku sesak, berarti aku sudah mati ketawa.”

Kami terdiam lagi. Dari balkon, angin masih bermain dengan tirai. Dengung AC samar menjadi kidung pengantar tidur.

“Tristan…,” panggilku setengah mengantuk.

“Hmm?”

“Aku belum mengatakan ini sebelumnya. Tapi terima kasih tidak menyerah menunggu.”

Ia mengeratkan pelukan sedikit saja—cukup memberi tahu bahwa kata‑kataku menembus jantungnya.

Malam makin dalam. Kelopak mataku berat. Di dadanya, aku mendengar degup yang akhirnya selaras dengan degup ku sendiri—dua ketukan berbeda yang belajar membentuk irama baru. Dan di tengah irama itu, dinding marmer, lampu kristal, seluruh simbol kemewahan pun terasa jauh; hanya ada hangat nadi, menyatukan kami dalam gelap yang tak lagi menakutkan.

Begitulah malam pertama kami berlalu: tanpa desahan senggama, tanpa pergulatan panas, tapi penuh kelegaan—seperti hujan ringan setelah musim kemarau panjang. Dan aku tertidur dengan satu kalimat di benak:

Barangkali, cinta tidak lahir dari paksaan, melainkan dari keberanian dua orang untuk diam dalam pelukan yang sama, saat dunia menunggu mereka saling melukai.

.

.

.

Bersambung

1
Kutipan Halu
wkwk menyala ngk tuhhh 😋😋
fjshn
ngapain takut rora? kan Tristan kan baikkk
fjshn
tapi sama sama perintah dongg wkwk tapi lebih mendalami banget
fjshn
sejauh ini baguss banget kak, and then Aurora sama lea gadis yang hebat aku sukaaa semangat buat kakak author
Kutipan Halu: semangat jugaa yaa buat kamuu, mari teru perjuangkan kebahagian hobi kehaluan ini 😂😂
total 1 replies
fjshn
datang ke rumah aku aja sini biar aku punya kakak jugaa
Kutipan Halu: autornya ajaaa ngk sih yg di bawa pulang wkwk😋😋
total 1 replies
fjshn
bjir keren banget dia bisa tauu
fjshn
woww bisa gitu yaa
fjshn
wadihh keren keren pencuri handal
fjshn
hah? sayang? masa mereka pacaran?
fjshn
alam pun merestui perjanjian kalian keren kerennn
fjshn
aduh leaa kasih tapi dia mandiriii
Kutipan Halu: diaaa punya susi kecantikan dan sikap manis tersendirii yaa kann 😂😇
total 1 replies
fjshn
keren nih Aurora, auranya juga menyalaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!