Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 8
Jeremy melempar sumpit dengan marah, lalu menatap Jessi dengan geram, "Aku sedang makan, kenapa kamu menendang aku!"
Mendengar kata-kata itu, Yunita langsung memandang Jessi dengan tatapan tajam, berteriak, "Jessi, kenapa kamu menendang anakku?!"
Saat itu, Jessi tidak bisa menahan diri lagi. Dia menarik napas dalam-dalam, menatap Yunita dan Jeremy dengan tegas.
"Pertama, Jeremy adalah suamiku, dan hal-hal yang terjadi antara suami istri adalah urusan kami. Tolong, ibu, jangan ikut campur. Kedua, di rumah ini, aku yang mengaturnya. Pendapatku lebih dihargai daripada Jeremy, jadi kalau aku bilang aku tidak akan menerima uang Irish, maka itu adalah keputusan yang sudah pasti, ibu dan Jeremy tidak bisa mengubah itu!"
"Jessi, apa maksudmu!" Yunita tidak bisa menahan amarahnya. "Aku ibu mertuamu! di mana sopan santunmu padaku hah! dan Jeremy itu suamimu, kamu harus menurut padanya!"
Jessi memandang Yunita dengan penuh ketenangan.
"Kita harus saling menghormati, ibu mertua. Kamu telah memperlakukan temanku seperti itu, jadi rasanya aku punya alasan untuk bersikap seperti ini!"
"Jessi, cukup." Irish merasa suasana semakin tegang dan canggung. Dia berusaha meraih tangan Jessi, berusaha menenangkannya.
"Irish, biarkan saja." Jessi melepaskan tangan Irish, menatapnya dengan penuh keyakinan, sebelum kembali berhadapan dengan ibu mertuanya.
"Irish, uang itu, aku tidak akan menerimanya, apapun yang terjadi, dan aku tidak akan membiarkan siapapun menindasmu di rumah ini!."
Dan, itu membuat Yunita meledak lagi. Rasa tidak terima atas sikap menantunya yang kurang ajar itu membuatnya semakin marah. "Kamu tidak menghormati aku! Jeremy, tidak bisakah kamu berbicara sesuatu?!" Yunita berteriak kepada anaknya.
"Ibu, bisa kalian berhenti? ingin menikmati makan saja jadi susah!." ujarnya lalu memilih untuk kembali ke kamar, meninggalkan keributan yang terjadi di meja makan.
Yunita terdiam, terkejut melihat sikap Jeremy yang tidak peduli. Dia melanjutkan makannya dengan marah, sementara Jessi menatapnya dengan penuh keprihatinan dan rasa bersalah.
Jessi melanjutkan makan dan menyajikan sayuran untuk Vivi dan Nathan.
"Ayo makan lebih banyak sayuran, supaya kalian tumbuh sehat," katanya dengan lembut.
Vivi dan Nathan makan dengan diam, wajah mereka tampak lesu, apalagi sejak kedatangan Yunita, suasana rumah menjadi semakin tidak menyenangkan. Vivi, yang ingin tinggal bersama ibunya, semakin merindukan kebersamaan dengan Irish.
Irish melihat Vivi yang diam dan langsung tahu apa yang sedang dipikirkan anak itu. Hatinya semakin terdorong untuk bekerja keras dan mencari cara agar bisa membawa Vivi dan Nathan pergi dari tempat itu secepatnya.
Setelah makan, Irish bersiap pergi. Yunita tetap di kamar, Jeremy kembali tidak peduli. Hanya Jessi yang dengan lembut mengantar Irish bersama anak-anak ke bawah.
"Selamat tinggal, mami," Vivi melambaikan tangannya. Wajahnya tampak tertekan, berusaha menahan air mata.
"Vivi, mama akan segera datang untuk menjemput kalian," Irish berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa berat. Dia memeluk Vivi dan Nathan dengan erat, merasakan betapa dalam rindu anak itu kepada ibunya.
"Irish jangan terlalu khawatir, aku akan merawat mereka dengan baik," Jessi menepuk pundak Irish, meyakinkannya.
Irish hanya mengangguk, matanya penuh kesedihan, dan melangkah pergi, menyadari bahwa dirinya harus lebih keras berusaha.
Saat sampai di apartemen kecilnya, Irish membuka pintu dengan tangan gemetar. Dia baru saja hendak masuk ketika pemilik rumah muncul. Wanita itu, dengan pengeriting rambut dan piyama merah muda, memandang Irish dengan tajam.
"Irish, kamu sudah kembali?"
"Ya," jawab Irish, tahu bahwa pemilik rumah datang untuk menagih uang sewa. Irish mengigit bibirnya, dia merasa kesulitan.
"Bu, bisakah berikan waktu lagi untukku?"
"Baik, tidak masalah," jawab pemilik rumah dengan senyum lega.
"Tapi, silakan kamu pergi dari sini, karena masih banyak yang ingin menyewa tempat ini dan membayar ku tepat waktu!"
Irish merasa tertekan, namun akhirnya ia menyerah dan meminta nomor rekening pemilik rumah, lalu segera mentransfer uang sewanya. Begitu transaksi selesai, wanita itu pergi dengan puas.
Irish masuk ke apartemennya yang kecil, duduk di sofa tanpa menyalakan lampu. Ruangan itu gelap, hanya cahaya dari luar yang menerangi sedikit. Tiba-tiba, cairan asin mengalir di sudut matanya. Dia menyentuh bibirnya, terkejut menyadari bahwa dia sedang menangis.
Bersambung........