NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1

Langkah Sekar Pratiwi keluar dari bandara seperti bayangan. Pelan, senyap, dan tanpa arah. Troli berisi koper besar mengiringi di belakangnya, berderak lembut di lantai ubin yang mengilap. Udara Jakarta malam itu lembap dan pekat, seolah mengingatkannya bahwa ini bukan tempat yang pernah ia rindukan.

Langit mendung. Bandara ramai. Tapi di dadanya hanya ada kesunyian.

Dia tak tahu harus merasa apa. Tak ada sambutan. Tak ada rumah. Tak ada pelukan ibu yang menunggu di depan pintu seperti dalam film-film keluarga. Yang ada hanya... ruang hampa.

Sudah lima tahun sejak malam terakhir itu. Sejak napas berat laki-laki tua itu kembali merayap ke lehernya. Sejak ibunya menutup pintu kamar dan membiarkan semuanya terjadi. Sejak tubuhnya terasa bukan miliknya lagi. Sejak dunia berhenti menjadi tempat yang aman.

Philadelphia pernah jadi ruang napas, meski sendiri. Setidaknya di sana, tak ada yang menyentuh. Tak ada yang tahu. Ia bisa menjadi siapa pun—atau tidak jadi siapa-siapa. Tapi itu pun berakhir saat izin tinggalnya habis. Dunia seolah berkata: “Sudah cukup bersembunyi. Kembali dan hadapi semuanya.”

Ia menatap taksi yang terparkir di pinggir trotoar, lalu membuka pintu belakang dan masuk.

“Selamat malam, Mbak. Mau ke mana?”

Pertanyaan sopir itu sederhana. Tapi Sekar terdiam.

Ke mana?

Pertanyaan itu menggema dalam benaknya.

Ia tak punya rumah. Tak punya keluarga. Tak ada siapa pun yang menunggunya. Yang ia punya hanya sebuah kunci apartemen kecil yang katanya disediakan rumah sakit tempatnya bekerja. Ia belum pernah ke sana. Hanya tahu alamatnya tertulis di email HRD yang bahkan belum ia buka ulang sejak mendarat.

Tangannya gemetar sedikit saat membuka ponsel, membuka email bertajuk: “Penempatan Akomodasi & Fasilitas” dari bagian HRD.

Di bawah daftar barang yang sudah disiapkan, tertulis: “Kunci apartemen Anda sudah diletakkan di dalam laci resepsionis Tower C, atas nama Sekar Pratiwi. Silakan ambil dengan menunjukkan paspor atau kartu identitas.”

Ia menghela napas pelan.

“Mas... ke Andana Tower. Saya ambil kuncinya di resepsionis,” ucapnya akhirnya.

“Oh, iya Mbak. Siap.”

Mobil melaju, menyusuri tol bandara yang licin. Sekar menatap keluar jendela. Jakarta tetap sama: bising, penuh lampu, penuh orang.

Dan tetap bukan rumah.

***

Satu minggu berlalu sejak malam pertama itu. Apartemen kecilnya sunyi, tapi aman. Rapi, dingin, tak ada suara lain kecuali detak jam. Dan itu cukup untuk Sekar.

Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia datang ke rumah sakit lebih awal dari siapa pun. Jas putihnya bersih, rambutnya disanggul rapi, wajahnya tetap datar. Waktu masih menunjukkan pukul 06.40 ketika ia membuka pintu kaca bertuliskan:

“Kepala Instalasi Farmasi – Sekar Pratiwi, PharmD.”

Nama dan gelarnya kini terpajang jelas. Ia memang baru tiba dari Amerika seminggu lalu, tapi CV-nya berbicara lebih banyak daripada usia atau penampilan. Ia lulusan Doctor of Pharmacy dari Massachusetts College of Pharmacy and Health Sciences, dan sempat bekerja di Thomas Jefferson University Hospital, Philadelphia—rumah sakit akademik ternama dengan sistem farmasi klinis yang ketat.

Selama lebih dari tiga tahun di sana, ia mengurusi logistik obat Emergensi, peracikan formulasi IV, hingga pelatihan farmasi untuk pasien onkologi. Semua itu dikerjakan dengan presisi, disiplin, dan tanpa cela.

Tak heran kalau rumah sakit ini langsung merekrutnya bahkan sebelum ia benar-benar menginjakkan kaki kembali di Jakarta.

Tapi bagi Sekar, semua itu hanya statistik. Ia tak peduli dengan jabatan atau pujian. Ia hanya butuh satu hal: tempat untuk tenggelam dalam kerja, agar pikirannya tidak sempat mengingat apa-apa.

Pagi itu, ia duduk di ruangannya, menatap layar komputer yang menampilkan dashboard sistem distribusi obat. Ada notifikasi masuk dari Unit Anak dan ruang ICU. Sekar menyesap kopi hitam yang sudah mulai dingin di meja. Ia sudah memeriksa dua batch logistik pagi ini, menyetujui empat permintaan khusus, dan mengecek stok morfin untuk pasien paliatif.

Pintu diketuk pelan. Seorang staf farmasi, Rina—apoteker muda yang baru enam bulan bekerja—muncul dengan wajah canggung.

“Permisi, Bu Sekar,” ucapnya hati-hati.

Sekar tidak menoleh. “Ada apa?”

Rina melangkah pelan masuk. “Dari ruang rawat anak, Bu. Tadi malam ada pencatatan yang salah di lembaran logistik. Saya sudah revisi dan input ulang, tapi tetap harus validasi dari Ibu.”

Sekar mengetik cepat, membuka file yang dimaksud.

“ICU juga minta approval untuk amikasin IV pagi ini. Saya sudah screening resepnya.”

Sekar membaca sekilas, lalu mengangguk kecil.

“Cetak berkasnya dan letakkan di tray validasi. Saya akan cek manual setelah jam delapan. Untuk sekarang, update sistemnya dulu.”

“Baik, Bu.”

Rina berdiri diam beberapa detik. Seperti mau bicara lebih, tapi takut. Sekar mendongak.

“Ada lagi?”

“Eh, nggak, Bu. Iya. Terima kasih.” Rina langsung pergi.

Sekar menghela napas pelan. Interaksi seperti ini—singkat, tegang, kaku—sudah menjadi rutinitas sejak hari pertama.

Begitu ia keluar ruangannya untuk mengecek stok di lemari pendingin, beberapa staf yang sedang sarapan di ruang istirahat staf khusus farmasi pun langsung menoleh. Suara obrolan pelan itu tak lebih dari bisikan, tapi cukup jelas untuk ditangkap telinganya.

“Seriusan nggak pernah senyum ya dia?”

“Baru seminggu kerja udah kayak big boss songong aja dia. Belagu banget gue lihat-lihat.”

“Cantik sih. Tapi serem banget. Siapa yang tahan sama orang begitu?”

Sekar berdiri di depan mesin pendingin, membuka rak bawah, memeriksa label. Diam. Tapi di balik tatapannya yang fokus, pikirannya berisik.

Namun—tidak! Sekar tidak menangis. Tak menunjukkan ekspresi yang cukup berarti. Meski dadanya sesak, wajahnya tetap tenang. Lalu, dia membalikkan badan ke arah orang-orang iu hingga membuat mereka terkejut karena di gap tiba-tiba.

Salah satu di antaranya tersenyum—pura-pura baik. Pura-pura tak terjadi apa-apa. Seolah Sekar tak mendengar semuanya.

“Selamat pagi, Bu Sekar.”

Klise.Sekar menyahut dalam hati. Sebuah sapaan formalitas yang tak berarti apa-apa.

Ia justru melangkah ke arah mereka. Tiap langkahnya selaras dengan bunyi detik jam di dinding. Suasana sarapan penuh gosip itu berubah tegang. Tak ada yang bicara—bahkan tak ada yang berani mengangkat wajah untuk memandangnya.

Hening menguasai suasana.

Sampai akhirnya, di tengah sunyi melanda, Sekar bersuara;

“Pastikan pekerjaan kalian lebih rapi dari cara kalian bergosip,” ucapnya tenang. Dingin. Tajam.

Tak menunggu respons, Sekar melanjutkan langkah. Suasana mendadak beku. Wajah-wajah yang tadi sempat menyeringai kini membeku seperti baru ditepuk angin musim dingin.

Sementara di sisi lain, tepatnya di ujung lorong, sebelum belokan menuju ruang poli anak, seorang pria keluar dari salah satu ruangan. Tinggi, bersih, jas dokter putih menggantung di bahu, dan ID card rumah sakit melingkar di lehernya.

Bersamaan dengan itu Sekar keluar dari ruangannya dengan maksud ingin mencari sarapan pagi sebelum lanjut bekerja. Ah, meladeni manusia-manusia menyebalkan itu memang menguras tenaga.

Keduanya berjalan dari arah berlawanan—sampai akhirnya berpapasan.

Seketika, Sekar menoleh.

Pria itu juga menoleh.

Hanya sepersekian detik. Tidak ada kata. Tidak ada senyum. Hanya pandangan yang bersilangan, diam-diam mengendap dalam kepala masing-masing.

Langkah Sekar sempat melambat. Tapi tidak berhenti.

Satu, dua detik kemudian, ia kembali berjalan seperti biasa. Datar. Tegas. Tapi ada sesuatu dalam detak jantungnya yang berubah tempo.

“Dia siapa?”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!