Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEHAMILAN YANG TIDAK DI HARAPKAN
Walaupun tengah mengandung di usia kehamilan yang masih sangat muda, Livia tetap menjalankan semua tugasnya seperti biasa. Ia memasak, membersihkan rumah, hingga memastikan semua kebutuhan Mateo terpenuhi tanpa cela. Tak ada yang berubah dalam perlakuan Mateo padanya, bahkan kehamilannya tak dianggap istimewa sedikit pun.
Tubuhnya sering kali terlihat lemas. Sesekali ia harus berhenti sejenak, menahan pusing dan mual yang tiba-tiba datang. Tapi tak pernah sekalipun Livia mengeluh, apalagi meminta belas kasih. Ia tahu, berharap belas kasih dari pria seperti Mateo sama saja dengan menanti hujan di tengah musim kemarau.
Di balik senyum tipis yang terkadang ia berikan saat menyuguhkan makanan ke meja makan, tersimpan lelah yang mendalam. Tapi bagi Livia, selagi ia masih bisa berdiri dan bergerak, maka ia akan tetap melayani. Karena satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah bertahan. Bertahan demi kehidupan kecil yang kini tumbuh di dalam dirinya.
“Livia! Mana dasiku, bodoh?!”
Suara bentakan Mateo menggema di seluruh rumah, membuat Livia yang sedang menyiram tanaman di halaman belakang langsung tersentak. Dengan cepat ia meletakkan selang dan berlari masuk ke dalam rumah.
“Dasi Anda sudah saya letakkan di lemari, Tuan,” ucap Livia sambil terengah, berdiri di ambang pintu kamar Mateo.
Mateo menoleh dengan sorot mata tajam dan langkah kasar menghampirinya. “Cepat cari! Aku sudah telat!”
Tanpa banyak bicara, Livia langsung menuju lemari dan mulai membuka laci satu per satu. Tangan gemetarnya mencoba tetap tenang meski jantungnya berdetak kencang karena takut dimarahi lagi. Di usia kehamilannya yang masih muda, tubuhnya mulai mudah lelah, tapi ia tahu Mateo tidak akan peduli.
Setelah beberapa saat, Livia menemukan dasi berwarna biru gelap yang biasanya dipakai Mateo untuk rapat penting. Ia mengulurkan dasi itu pelan-pelan.
“Ini, Tuan,” katanya lirih.
Mateo hanya merebut dasi itu tanpa sepatah kata terima kasih, lalu berdiri di depan cermin untuk memakainya. Sementara itu, Livia tetap berdiri di belakangnya, diam menahan napas, menahan lelah, dan menahan air mata.
"Kenapa kau masih di sini? Sana keluar!" hardik Mateo dengan nada tajam, tak sudi melihat Livia berlama-lama di kamarnya.
Livia hanya mengangguk pelan, menahan rasa sakit di dadanya. Tanpa sepatah kata, ia melangkah keluar dan menutup pintu kamar perlahan. Ia kembali ke halaman belakang dan melanjutkan menyiram tanaman, mencoba mengalihkan pikirannya meski tubuhnya terasa letih.
Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki Mateo terdengar mendekat dari belakang. Livia menoleh sejenak, lalu menunduk kembali saat pria itu berdiri di dekatnya.
"Malam ini rekan bisnisku akan datang ke rumah," ucap Mateo datar namun penuh tekanan. "Lakukan peranmu dengan baik. Jangan sampai ada yang curiga atau mulai bertanya-tanya tentang pernikahan kita."
Livia mengangguk tanpa membalas sepatah kata pun. Hatinya terasa makin sesak, tapi wajahnya tetap berusaha tenang. Ia tahu, kesalahan sekecil apa pun bisa berujung pada kemarahan besar dari Mateo.
Setelah berkata demikian, Mateo langsung pergi menuju mobilnya, tak peduli pada Livia yang berdiri diam di tengah halaman, menggenggam selang dengan tangan gemetar.
Di tempat lain, di sebuah ruangan bergaya klasik dengan jendela besar yang menghadap taman belakang, Don Marsel duduk santai di kursi kulit cokelat gelap sembari menyeruput kopi hangat. Di seberangnya, sang istri Ariana memegang cangkir teh dengan ekspresi tak senang.
"Sayang, kau harus tahu... berita kehamilan gadis bodoh itu benar-benar membuatku muak. Aku tidak sudi ada anak dari perempuan seperti dia di keluarga kita," ucap Ariana dingin, matanya menyipit penuh rasa tidak suka.
Don hanya menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke atas meja kecil di sampingnya.
"Bagaimanapun juga, dia mengandung darah Velasco. Itu anak dari Mateo, putra kita... dan mungkin saja, kelak menjadi salah satu pewaris keluarga ini," ucap Don dengan suara tenang, mencoba bersikap bijak meski ada keraguan terselip dalam nada bicaranya.
Ariana mendengus kesal. "Aku tidak peduli darah siapa yang mengalir di tubuhnya. Yang kutahu, dia bukan wanita yang pantas berada di dalam keluarga ini, apalagi melahirkan keturunan kita."
Don hanya menatap istrinya sebentar, tak ingin memperpanjang perdebatan yang sudah sering terjadi. Ia tahu betul bagaimana keras dan dinginnya hati Ariana terhadap Livia.
Apa yang tidak diketahui oleh Mateo dan bahkan Livia sendiri adalah bahwa Nano, pria sederhana yang bekerja sebagai penjaga di rumah itu, bukan sekadar pelayan biasa. Ia adalah mata-mata Don Marsel. Diam-diam, Don menyuruh Nano untuk mengamati bagaimana Mateo memperlakukan istrinya, serta melaporkan perkembangan yang terjadi di dalam rumah besar itu, termasuk berita kehamilan Livia.
Livia berdiri diam di depan cermin besar di sudut kamarnya, menatap bayangan dirinya yang terpantul di balik kaca. Gaun hitam sederhana membalut tubuhnya yang mulai menunjukkan perubahan kecil karena kehamilan muda. Warna gelap itu memantulkan kesedihan yang tak pernah benar-benar hilang dari matanya.
Ia menyentuh pelan ujung gaunnya, lalu tersenyum tipis, nyaris tak terlihat.
"Dia sungguh berbakat... memilih warna gaun yang cocok dengan suasana hatiku," gumamnya lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri atau mungkin pada bayangannya yang tampak lebih kuat dari kenyataannya.
Malam ini ia harus berpura-pura lagi. Pura-pura bahagia, pura-pura dicintai, pura-pura menjadi istri sempurna dari CEO yang tak pernah menganggapnya lebih dari sekadar beban.
Livia berdiri di samping Mateo, tepat di depan pintu utama rumah megah itu. Mereka bersiap menyambut tamu, rekan bisnis Mateo yang akan datang malam ini. Mateo mengenakan kemeja biru langit yang membuat wajahnya terlihat lebih ramah, meski senyumnya hanyalah topeng untuk menyembunyikan kekejaman di balik sikap dinginnya.
Mobil hitam berhenti perlahan di pelataran. Sesaat sebelum pintu terbuka dan tamu keluar dari mobil, Mateo mendekatkan wajahnya ke arah Livia, membisikkan kata-kata yang membuat tubuh Livia menegang.
"Tersenyumlah... lebih tulus," bisiknya pelan, namun tajam seperti pisau. "Jika kau berani berbuat macam-macam... aku tak akan segan menghabisi wanita tua yang terbaring di rumah sakit itu."
Livia menahan napas. Tubuhnya bergetar halus, namun ia tetap berdiri tegak dan tersenyum seperti yang diperintahkan, senyum palsu yang terpaksa ia ukir demi keselamatan satu-satunya orang yang ia cintai.
Dan saat tamu itu keluar dari mobil, menyapa mereka dengan antusias, dunia seolah menyaksikan pasangan sempurna. Padahal di baliknya, Livia tengah tenggelam dalam neraka yang tak terlihat oleh siapa pun.
Suasana ruang makan dipenuhi aroma makanan mewah dan cahaya lampu gantung yang hangat. Livia duduk dengan tenang di samping istri dari rekan bisnis Mateo. Mereka berbincang ringan, membahas resep masakan dan desain interior rumah, topik aman yang membuat Livia bisa sedikit bernapas lega.
"Livia, kamu terlihat sangat kalem. Mateo beruntung memiliki istri yang anggun seperti kamu," ucap wanita itu ramah, sembari menyeruput wine-nya.
Livia tersenyum tipis, berusaha sebaik mungkin menyembunyikan guncangan batinnya. "Terima kasih, saya hanya berusaha menjadi istri yang baik," jawabnya pelan.
Di seberang meja, Mateo tampak berbincang serius dengan rekan bisnisnya. Sesekali, gelak tawa terdengar dari pria-pria itu. Namun di tengah pembicaraan, pandangan Mateo kerap melirik tajam ke arah Livia, seolah mengingatkannya bahwa semua ini hanyalah sandiwara, dan satu kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal.
Livia bisa merasakan tekanan itu. Senyum di wajahnya tidak pernah benar-benar menyentuh matanya. Ia seperti boneka porselen terlihat sempurna dari luar, namun retak di dalam.
Dan di meja makan yang tampak penuh kemewahan itu, satu-satunya hal yang benar-benar mahal adalah kebebasan yang tak dimiliki Livia.
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/