NovelToon NovelToon
Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Terlarang / Keluarga / Romansa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rindu Firdaus

Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.

Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.

Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketika Tangan Mulai Menjelajah

Langit sore perlahan meremang ketika Arga melajukan motornya menuju pinggiran kota. Hatinya masih berdebar setelah pertemuan diam-diam dengan Kalista di sudut kampus dua hari lalu. Tatapan mata Kalista, senyumnya yang malu-malu, dan genggaman hangatnya di lorong sepi itu... semua masih membekas di benaknya.

Ia masih belum bisa memaafkan dirinya. Atau mungkin, ia justru menikmati rasa bersalah itu.

Arga berhenti di depan sebuah rumah kontrakan mungil berwarna hijau pudar. Dindingnya sedikit retak, dan pagar besinya berdecit ketika dibuka. Tidak mewah. Bahkan terlalu sederhana untuk gadis secantik Kalista. Tapi justru itulah yang membuatnya makin penasaran.

“Kenapa dia tinggal di tempat seperti ini?” gumamnya.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka pelan. Kalista muncul dengan kaus longgar dan celana pendek. Rambutnya digerai tanpa riasan. Wajah polos yang justru membuat jantung Arga berdetak lebih cepat.

“Masuk, Arga,” ucapnya pelan, matanya sesaat menatap ke kiri dan kanan, memastikan tak ada yang memperhatikan.

Arga melangkah masuk. Bau sabun dan parfum lembut menyeruak dari tubuh Kalista. Di dalam, rumah kontrakan itu hanya terdiri dari satu kamar, dapur kecil, dan ruang tamu sempit dengan sofa tua.

“Kenapa kamu tinggal di sini?” akhirnya Arga bertanya.

Kalista menunduk, mengambil dua gelas air dingin dari kulkas. “Lebih baik begini,” jawabnya singkat.

“Padahal kamu bisa tinggal di apartemen. Paman Arman pasti sanggup”

“Aku bukan siapa-siapa untuk dia, Ga...” ucap Kalista pelan, menatap lurus ke arah gelas di tangannya. “Kontrakan ini... cuma tempat numpang hidup. Disewa atas nama orang lain. Bayarnya juga transfer otomatis. Aku nggak pernah tahu dari mana uangnya, tapi aku tahu siapa yang mengaturnya.”

Arga terdiam. Kata-kata Kalista seperti tamparan. Ia ingin memeluknya, ingin berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ia tahu, semuanya sudah terlalu rumit.

Kalista duduk di sofa, menyilangkan kaki. Tatapannya sayu, tapi ada sesuatu di balik matanya, keinginan untuk dimengerti.

“Aku capek, Ga. Jadi boneka diam yang cuma dipanggil saat dia mau. Di luar, aku nggak boleh kelihatan dekat dengan siapa pun. Apalagi kamu.”

Arga menelan ludah. Hatinya mulai panas. Ia duduk di samping Kalista, menyentuh jemarinya perlahan. Jemari itu dingin.

“Kalau kamu mau, aku bisa bantu kamu keluar dari semua ini,” bisiknya.

Kalista menoleh. Matanya sembab. Tapi bibirnya perlahan tersenyum. “Kamu yakin bisa melawan pamannya sendiri?”

Arga menatap dalam ke matanya. Ia tak menjawab, hanya menggenggam tangan Kalista lebih erat, seolah tak mau melepaskan.

Dan di tengah keheningan ruang sempit itu, tangan Arga mulai bergerak perlahan, menyentuh lengan Kalista yang terbuka. Tak ada penolakan. Kalista hanya menutup mata, membiarkan jemari Arga menjelajah lebih jauh.

Namun semuanya terasa lambat. Terhenti di udara. Karena ada perasaan yang jauh lebih kuat daripada nafsu... keraguan.

Kalista menarik napas dalam, tubuhnya sedikit bergidik saat jari-jari Arga menyentuh kulit lengannya yang halus. Sebuah kehangatan aneh menyebar dari titik itu, merambat perlahan menuju dadanya.

“Ga…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.

Arga berhenti. Ia memandangi wajah Kalista yang tampak bimbang. Antara ingin dan takut. Antara rindu dan trauma.

“Aku nggak mau kamu mikir aku kayak… dia,” ucap Arga, nadanya berat.

Kalista membuka mata. Ada luka lama yang bersembunyi di sana, tersembunyi di balik iris cokelatnya yang lembut.

“Kamu beda,” katanya. “Tapi aku juga takut kamu jadi berubah.”

Arga menunduk, menyandarkan keningnya di pundak Kalista. Mereka terdiam lama. Hanya suara kipas tua di langit-langit yang berputar pelan.

“Aku nggak akan berubah,” bisik Arga. “Aku cuma pengen kamu tahu… aku ada di sini.”

Kalista membiarkan tangan Arga kembali menyentuhnya. Kali ini lebih dalam. Menyusuri lekuk pundaknya, turun ke punggung, lalu ke pinggangnya. Ia gemetar, tapi tidak menjauh.

Perlahan, ia berbalik menghadap Arga. Wajah mereka hanya berjarak beberapa jari. Nafas mereka beradu, menciptakan irama tak terucap yang hanya bisa dimengerti oleh dua hati yang sedang menahan diri.

“Arga…”

“Hm?”

“Aku kangen.”

Itu satu-satunya kalimat yang terucap sebelum bibir mereka bersentuhan. Lembut, pelan, penuh rindu yang selama ini mereka tahan. Kalista membalas ciuman itu dengan mata terpejam. Tangannya mengusap wajah Arga, mencari kehangatan yang selama ini tak pernah ia temukan di pelukan pamannya.

Tak ada lagi kata. Hanya desahan lirih dan tarikan napas yang semakin berat. Arga perlahan menyentuh wajah Kalista, lalu turun ke lehernya, mencium dengan penuh hormat. Ia seperti sedang menyembah sosok rapuh yang ingin ia lindungi sepenuhnya.

Namun ketika tangannya mulai bergerak ke arah bawah, Kalista memegang pergelangannya.

“Pelan…” bisiknya. “Aku belum siap untuk terlalu jauh.”

Arga berhenti. Ia menatap Kalista lama, lalu mengangguk. “Kita nggak harus buru-buru.”

Kalista tersenyum. Senyum yang penuh rasa syukur dan kelegaan. Ia bersandar di dada Arga, membiarkan detak jantung cowok itu mengisi ruang sunyi di hatinya.

Mereka duduk berdua dalam diam. Tapi kali ini bukan diam yang penuh kecanggungan, melainkan ketenangan yang mereka ciptakan sendiri.

“Kalau kamu mau, mulai besok aku bisa bantu kamu cari tempat tinggal baru,” kata Arga pelan. “Tempat yang lebih aman. Jauh dari bayang-bayang dia.”

Kalista memejamkan mata. “Aku takut… pamanku tahu.”

“Biar aku yang hadapi.”

“Tapi...”

“Kamu bukan miliknya,” potong Arga. “Dan kamu bukan perempuan lemah.”

Kalista akhirnya tersenyum lagi. Kali ini lebih tulus, lebih dalam. Ia menggenggam tangan Arga erat, seolah tak ingin kehilangan kekuatan yang baru saja ia temukan.

Malam mulai turun perlahan di luar sana. Lampu neon tua di kontrakan itu menyala kuning redup, menciptakan suasana remang yang justru membuat hati mereka lebih terbuka.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Kalista merasa… aman.

Pagi itu, matahari menyelinap masuk lewat celah gorden tipis di kamar kontrakan Kalista. Cahaya lembut menyapu wajahnya yang masih lelap dalam pelukan Arga. Selimut tipis menutupi tubuh mereka yang masih lengkap berpakaian, membuktikan bahwa malam tadi bukan tentang hasrat, melainkan tentang rasa.

Arga membuka mata lebih dulu. Ia menatap gadis yang kini tertidur di dadanya dengan damai. Rambut Kalista jatuh menutupi sebagian wajahnya, dan napasnya terdengar teratur. Ada ketenangan dalam setiap embusan napas itu, seperti beban yang perlahan mulai terangkat.

Beberapa menit ia hanya diam, membelai lembut rambut Kalista sambil merenung. Ia tahu, ini bukan kisah cinta biasa. Mereka sedang meniti jalan yang tak mudah, diwarnai bayang kelam dari masa lalu, dan ancaman yang mungkin masih mengintai dari pamannya Kalista.

Kalista menggeliat pelan, lalu membuka mata. Tatapannya bertemu dengan milik Arga, dan seulas senyum mengembang di wajahnya.

“Pagi,” bisik Kalista.

“Pagi,” balas Arga sambil mengecup keningnya.

Kalista bangkit duduk, menarik rambutnya ke belakang. “Aku mimpi aneh tadi malam.”

“Hmm? Mimpi apa?” Arga ikut duduk, memeluk lututnya.

“Mimpi kita pindah ke rumah kecil, punya taman depan, dan kamu pelihara dua kucing.”

Arga tertawa kecil. “Kamu suka kucing?”

“Banget. Tapi pamanku dulu nggak suka. Katanya kucing itu najis.”

Arga mendesah. Ia bisa mendengar luka terselip di kalimat itu.

“Kal, aku serius soal kemarin. Kita cari tempat tinggal baru, ya?”

Kalista diam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Tapi aku mau kerja. Aku nggak mau kamu yang tanggung semua.”

“Tenang, kita jalanin bareng. Aku bantu kamu cari kerja juga. Banyak kok tempat yang butuh tenaga administrasi atau content writer, kamu kan suka nulis?”

Kalista tampak kaget. “Kamu tahu aku suka nulis?”

Arga mengangguk. “Aku baca coretanmu di buku yang kamu tinggalin di kelas waktu itu.”

Kalista tertawa pelan, sedikit malu. “Itu cuma curhatan nggak jelas.”

“Buatku itu dalam. Kamu tulis pakai hati.”

Mereka tertawa bersama, dan suasana pagi itu terasa hangat meski udara di dalam kamar masih dingin.

Namun kehangatan itu tak berlangsung lama. Sebuah getaran dari ponsel Kalista menginterupsi. Ia meraih ponselnya dan melihat satu pesan masuk.

Paman: "Kamu di mana? Kenapa semalam nggak pulang?"

Wajah Kalista langsung pucat. Tangannya gemetar.

“Ada apa?” tanya Arga, yang langsung merasakan perubahan sikap Kalista.

“Dia... pamanku nyariin aku.”

Arga meraih ponsel itu, membacanya cepat. “Blokir dia sekarang juga.”

“Aku takut, Ga…”

“Kamu nggak sendirian sekarang. Kalau dia macam-macam, kita lapor polisi.”

“Tapi dia licin. Dia punya kenalan polisi juga.”

Arga menggenggam tangannya erat. “Kalau gitu kita cari bantuan dari LSM atau pengacara. Aku nggak akan biarin kamu sendirian lawan dia.”

Kalista menatap mata Arga. Ada harapan di sana. Untuk pertama kalinya, ia merasa punya tempat untuk berlindung. Bukan sekadar lelaki yang ingin tubuhnya, tapi seseorang yang benar-benar peduli.

Beberapa saat kemudian, mereka berdua bersiap. Kalista membereskan beberapa pakaian dan dokumen penting ke dalam ransel. Ia memutuskan untuk tidak kembali ke rumah kontrakan itu lagi. Terlalu banyak kenangan kelam yang tertinggal.

“Kontrakan ini terlalu sempit buat masa depan kita,” ujar Arga saat mereka keluar dan mengunci pintu. “Yuk, mulai hidup baru.”

Kalista mengangguk. “Tapi sebelum itu, aku mau satu hal.”

“Apa?”

Kalista meraih tangan Arga, menatapnya dengan serius. “Kalau suatu hari aku terlalu takut, atau nyaris menyerah… ingetin aku kalau aku layak bahagia, ya?”

Arga mencium punggung tangannya lembut. “Aku janji.”

Mereka berjalan menjauh dari kontrakan itu. Langkah mereka masih ragu, tapi hati mereka mantap. Babak baru akan segera dimulai. Masa lalu mungkin belum selesai, tapi mereka siap untuk menulis ulang takdir mereka bersama.

1
Usmi Usmi
pusing baca nya SDH kabur tapi kumpul lg
Rindu Firdaus: Halo kak, makasih ya udah mampir dan baca karyaku /Smile/ oh iya kk nya pusing ya? sama kak aku juga pusing kenapa ya bisa kumpul lagi, biar ga pusing... yuk baca sampai habis /Chuckle/
total 1 replies
Usmi Usmi
seharusnya td Arga jujur aja
Usmi Usmi
kayak nya cinta jajaran genjang ya Thor 😂
Rindu Firdaus
Buat yang suka drama panas dan cinta terlarang, ini wajib dibaca. Ceritanya greget dari awal sampai akhir!
iza
Sudah nunggu dari kemarin-kemarin, ayo dong thor.
Kiritsugu Emiya
Habis baca cerita ini, aku merasa jadi karakter di dalamnya. Luar biasa, thor!
Dadi Bismarck
Jangan nggak baca, sayang banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!