NovelToon NovelToon
Untuk Aldo Dari Tania

Untuk Aldo Dari Tania

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:500
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah A

Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.

Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?

Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.

Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perpustakaan

"Mau belajar di sini atau di perpustakaan?"

Tania mengedipkan mata dua kali untuk memberi kepastian. Anak-anak sudah menatapnya dengan sorot mata prihatin.

"Di perpustakaan aja, Pak," ujar Tania.

Pak Wayan mengangguk mempersilakan. "Silakan, Tania," ujar guru itu.

Tania beranjak berdiri dengan membawa buku-bukunya keluar kelas. Seperti gerakan robot otomatis seperti itulah tatapan sepenjuru kelas memperhatikan Tania yang berjalan keluar kelas. Mereka tidak habis pikir dengan kehidupan Tania yang terbilang cukup baik itu. Siapa yang bisa tahan dengan sikap Tania? Gadis itu akan selalu membuat orang menghela napas dan menggelengkan kepala dengan melirihkan namanya.

"Jangan perhatikan Tania jika nilai kalian tidak ingin saya kasih C," ujar Pak Wayan membuat seisi kelas dengan sigap memperhatikan kembali guru itu.

...******...

Tania berjalan lunglai di perpustakaan. Dia masuk ke dalam ruangan sepi itu. Tania menghela napas saat memperhatikan rentetan buku terpajang di rak. Entah kenapa setiap kali melihat hal itu membuat Tania selalu mendesah berat.

Tetapi terlalu lama mendesah pun tidak baik. Dia akhirnya masuk lalu duduk di meja di antara dua rak buku. Alih-alih mulai belajar dengan membuka buku itu, Tania justru menatapnya dengan bertopang dagu.

Gadis itu mendesah panjang. "Nasib, nasib. Jadi orang nggak guna gini amat," ujar Tania.

Mendengar suara lirihan dan desahan panjang nan berat membuat seseorang itu mengerutkan kening. Dia berjalan mendekat pada sumber suara dan menemukan gadis yang sangat ingin dia hindari itu ternyata sedang duduk di sana sambil membolak-balikkan tiap halaman buku.

"Lho, Tania?" tunjuk Aldo.

Tania menoleh malas lalu kembali mendesah berat. "Bukan, bidadari yang turun dari khayangan," ujarnya.

Aldo mengabaikan hal itu lalu menarik kursi di depan Tania dengan meletakkan beberapa buku di sampingnya yang membuat mata Tania berpusat pada buku itu.

"Gue nggak percaya kalau lo bidadari. Tapi kalau lo iblis gue percaya," ujar Aldo.

"Gue nggak mau ribut, please deh," mohon Tania.

Aldo memperhatikan Tania. Dia yakin kalau gadis itu dihukum keluar kelas karena mengantuk saat jam pelajaran. "Katanya lo nggak ngantuk, kok kantung mata lo hitam?" tanya Aldo.

"Enggak usah sok peduli, muak gue sama perhatiannya cowok. Emang sama aja, semua cowok itu kasih perhatian tanpa mau tanggung jawab soal perasaan," ujar Tania.

"Lo cemburu ya karena kak Kevin berduaan terus sama kak Tari?" tebak Aldo langsung pada poinnya.

Tania menguap lebar. "Gue akui lo cukup cermat," ujar Tania.

Aldo tersenyum manis. "Terima kasih atas pujiannya."

"Hm, mending lo balik sana kalau di sini cuman mau lihatin muka gue yang cantik jelita ini. Gue mau belajar," ujar Tania.

Aldo mengangguk-angguk paham. Ada yang tidak beres dan menjanggal dari Tania menurutnya. Kenapa bisa dia berpikir kalau Tania akan membantunya? Padahal sudah jelas Tania mengusirnya pergi. Dan, kenapa dia bisa dengan mudahnya menarik kursi di depan Tania? Aldo bukan tipikal cowok welcome terhadap cewek.

"Oke," ujar Aldo bangkit berdiri.

Ada yang disesali Tania saat dia melihat Aldo dengan mudahnya bangkit berdiri. Wajahnya berubah menjadi memelas. "Aldo," lirih Tania.

Aldo menoleh. "Apa?"

"Lo bisa bantuin gue belajar?" tanya Tania menunjukkan puppy eyes.

Entah gerangan apa yang membuat Aldo selalu mengacak rambutnya dan berekspresi seolah salah tingkah saat melihat Tania dengan puppy eyes-nya.

"Gue juga mau belajar," ujar Aldo.

"Di sini aja belajarnya sama gue," ujar Tania.

"Ogah, minta bantuan aja sana sama kak Kevin," ujar Aldo.

"Enggak, gue maunya lo. Bukan yang lain," ujar Tania.

"Bodo," sarkas Aldo lalu segera melangkah pergi membuat Tania memperhatikan punggung tegapnya.

"Aldo, ih nyebelin," ujar Tania layaknya anak kecil yang tidak diberikan uang jajan.

...******...

Mila itu janda beranak satu. Dia bercerai dengan suaminya lima tahun lalu. Hal itu terjadi karena sang suami terlalu sibuk kerja hingga tidak memperhatikan dia dan Tania. Alhasil, Tania begitu kekurangan kasih sayang seorang ayah. Bahkan saat dia sakit ayahnya tidak pernah menanyakan bagaimana kabarnya, ataupun saat di meja makan ayahnya tidak pernah menanyakan sesuatu hal padanya ataupun pada ibunya, entah itu tentang kegiatan hari ini atau kegiatan menyenangkan yang akan datang. Ayah Tania terlalu sibuk memikirkan bisnisnya daripada keluarganya. Katanya bisnis itu nomor satu dan keluarga nomor dua.

Dan karena sering ditinggal sang suami membuat Mila kasihan pada Tania lantaran anaknya itu kekurangan kasih sayang ayah. Alhasil, Mila memutuskan bercerai dengan suaminya dan memilih menjadi single parent untuk Tania. Dan semenjak bercerai dengan suaminya, Mila tidak mendengar kabar apa pun soal suaminya yang sekarang ada di mana dan bagaimana. Mila pikir suaminya sudah meninggal dimakan bisnis daripada dimakan usia.

Satu-satunya yang ditinggalkan suaminya adalah: satu restoran dan satu kafe yang di atas namakan dirinya. Alhasil, Mila mengambil alih kedua bisnis itu.

Mila masuk ke dalam kafe miliknya dan langsung disambut hangat oleh semua karyawannya.

Seseorang menghampiri Mila dengan tergopoh-gopoh. "Bu, ibu," ujarnya.

"Ada apa, Tuti?" tanya Mila.

"Tadi saya lihat mantan suami Ibu lho, Bu. Namanya siapa, Bu? Aduh, Tuti lupa," ujar Tuti mengingat-ingat.

Sontak pergerakan tangan Mila yang hendak membuka kenop pintu ruangannya itu terhenti seketika. Seolah bumi berhenti berputar dan jam berhenti berdetik, itulah yang dirasakan Mila saat mendengar kabar itu.

Mila menoleh pada Tuti. "Mantan suami saya?" tanya Mila memastikan.

Tuti mengangguk.

"Di mana?" tanya Mila.

"Di jalan, waktu saya mau ke sini," jelas Tuti.

Sebisa mungkin Mila berpikir positif. "Mungkin orang lain yang mirip," ujar Mila.

"Tapi, Bu, dia itu persis banget sama mantan suami Ibu. Orangnya kayak Tania, 'kan, Bu? Punya alis tebal," jelas Tuti.

Mila menghela napas panjang. "Banyak yang punya alis tebal, Tuti," ujar Mila tersenyum simpul.

"Tapi, Bu, itu benar-benar mirip sama Ta—"

"Gaji kamu mau saya potong?" ancam Mila halus.

Tuti menghentikan kalimatnya. Dia tersenyum lebar. "Enggak, Bu, saya ke depan dulu. Permisi," ujarnya lantas pergi dengan terbirit-birit.

Mila menghela napas panjang dan menggelengkan kepala melihat tingkah karyawannya yang satu itu. Dia membuka kenop pintu ruangannya dan segera masuk ke dalam. Mila duduk di kursi kerjanya seraya bertopang dagu.

Ada sesuatu yang sedang dia pikirkan, padahal dia tidak ingin memikirkan hal itu. Sorot mata Mila terlihat tajam dan sarkas menatap ke depan, seolah dia akan melawan musuh besar. Mila berpikir apakah yang diucapkan Tuti benar atau tidak.

...******...

"Awas ya, setelah ini langsung ke auditorium. Jangan dulu pulang karena ada kampanye," ujar Pak Wayan sebelum dia pergi meninggalkan kelas.

"Iya, Pak!" jawab seisi kelas.

Kalau siswa-siswi lainnya segera bergegas membereskan buku lalu berjalan menuju auditorium, maka lain halnya dengan Tania yang baru muncul dari pintu kelas setelah sebelumnya dia berpapasan dengan Pak Wayan dan memberikan tugasnya. Tania mengernyit bingung melihat teman-temannya yang berseru kecewa seraya merapikan buku. Tania mendekat pada mejanya.

"Gimana belajar di perpustakaan?" Itu adalah sambutan hangat dari seorang Amanda ketika dia menarik tasnya.

"Enak, gue bisa ngadem di sana," ujar Tania.

Amanda berdecih.

"Ini pada mau ke mana, sih?" tanya Tania heran.

Nabilla menepuk jidatnya. "Ya ampun, lo lupa ya kalau habis ini ada kampanye di auditorium," ujar Nabilla.

Tania duduk di atas meja tepat di depan Amanda. "Males gue," ujarnya.

"Kenapa? Ada kak Kevin, lho," ujar Nabilla.

"Terus? Kalau ada dia gue harus bilang 'halo kak Kevin, gue ada di sini nih', iya, gitu?" tanya Tania seraya berekspresi riang membuat Amanda dan Nabilla tertawa.

"Iya, lo 'kan biasanya gitu," ujar Amanda.

"Iya, itu 'kan kalau—"

"Nggak ada kak Tari?" tanya Amanda memotong ucapan Tania. Dia yakin sebelumnya kalau Tania pasti akan mengatakan hal itu.

Tania tercekat. Terlalu mudah bagi orang lain untuk menebak jalan pikirannya. Seolah-olah takdirnya telah tertulis jelas di kening membuat siapa pun bisa membacanya.

"Alah, nggak usah lo pikirin. Ayo, ke sana." Nabilla menarik lengan Tania untuk segera pergi.

Amanda bangkit menyusul. Tetapi sebelum dia benar-benar meninggalkan ruangan kelas yang sepi, dia mengecek ponselnya saat dirasa bergetar.

Ada satu pesan masuk di sana.

Nanti malam mau gue ajak makan, nggak?

Membacanya sukses membuat Amanda menarik senyum lebar dan bersorak ria di dalam kelas yang sepi. Dia begitu bahagia mendapat penawaran seperti itu. Dengan segera dia langsung membalasnya.

Oke.

...******...

Benar apa kata Tari, ini akan lebih merepotkan dari apa pun. Siswa-siswi yang masuk ke auditorium tidak bisa dikontrol. Aldo dan lainnya begitu kewalahan menangani ini. Apalagi Bima yang berkali-kali berdecak sebal karena sepatu ketsnya diinjak-injak oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Jean bersama Tari memandu melalui mikrofon, Aldo takut Jean akan ditubruk banyak orang jika ikut turun dengannya. Jadi dia memilih Jean bersama Tari.

"Ebuset ... Bebek aja bisa diatur, masa iya lo semua enggak bisa," komentar Bima. "Kalau kayak gini mending gue ngurusin Bebek kakek gue," lanjutnya.

"Bacot lo, orang udah selesai juga," ujar Nico.

Tania menggelengkan kepala melihat keramaian di depannya. Dia, Amanda, dan Nabilla berada di tengah-tengah ruangan. Padahal Tania menginginkan duduk di dekat pintu agar dia bisa langsung keluar dengan cepat. Tetapi sayangnya, Amanda memaksanya untuk maju ke tengah.

"Udah gue bilang, di dekat pintu aja," ujar Tania saat dia melihat Amanda mengibas-ngibaskan tangannya karena kepanasan.

"Tahu tuh, dibilangin juga. Pengen aja lihat—"

Amanda segera membungkam mulut Nabilla sebelum gadis di sebelahnya itu mengatakan nama seseorang. Amanda melotot tajam membuat Nabilla cengengesan.

Tania mengernyit bingung. "Lihat apa?" tanyanya.

Amanda kelabakan. Jangan sampai Tania berniat untuk mencari sesuatu yang dia rahasiakan selama ini. Karena Tania jika sudah menyangkut membongkar rahasia dia benar-benar niat.

Amanda dengan cepat menggeleng. "Enggak. Enggak ada apa-apa," ujar Amanda.

Tania mengintimidasi Amanda melalui tatapannya membuat gadis itu refleks salah tingkah dengan menjauhkan kepala Tania.

"Iiihh, biasa aja sih natapnya," kesal Amanda.

"Iya habisnya lo—"

"Sssstttt, kak Kevin mau ngomong," potong Nabilla membuat Tania berdecak sebal.

Amanda bernapas lega. Setidaknya dia masih berada di zona aman. Dia harus mengucapkan banyak terima kasih pada Kevin yang tahu-tahu berbicara.

"Baik, selamat siang semuanya!" sapa Kevin seraya melambaikan tangannya ke segala arah.

"Siang!" jawab seisi auditorium.

"Gimana nih kabarnya? Baik semua?"

"Baik!"

"Oke, kalau gitu kita langsung saja ya kampanye kita kali ini."

"Iya!"

Kevin berdeham. Dia berjalan menuju 3 kandidat di mana kandidat kedua adalah Aldo dan Nico. Sedari tadi Nico terus menggenggam tangan Aldo karena dia merasa gugup setengah mati. Apalagi saat Kevin berjalan ke depan mereka.

"Oke, di depan kita ini ada calon kandidat ketua dan wakil ketua OSIS," ujar Kevin. "Siapa saja kandidatnya, Kak Tari?"

Mendengar hal itu membuat tangan Tania terkepal sempurna.

Tari berjalan maju. "Nah, kita perkenalan dulu ya. Karena pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang. Untuk itu, dari kandidat nomor satu silahkan berdiri dan perkenalan," ujar Tari.

Kandidat nomor satu mulai berdiri dari duduknya.

Nico mendekatkan mulutnya ke telinga Aldo. "Gue mau pipis," bidiknya.

"Jangan aneh-aneh deh," ujar Aldo.

"Selamat siang semuanya!" sapa kandidat nomor satu.

"Siang!"

"Kami dari kandidat nomor satu ingin memperkenalkan diri. Pertama dari saya yang mencalonkan diri sebagai ketua OSIS. Nama saya Adrian," ujar Adrian dengan membungkukkan setengah badannya.

"Dan saya Naomi sebagai calon wakil ketua OSIS kandidat nomor satu," ujar Naomi.

"Sapa dong kandidat satunya," ujar Tari.

Kalau siswa-siswi lain mulai menyapa dengan berkata, "Hai!"

Maka lain halnya dengan Tania yang menunjukkan ekspresi tidak suka. Dia berdecih. "Sok akrab," ketusnya.

Amanda melirik Tania. Tetapi tidak berniat berkomentar.

"Selanjutnya kandidat nomor dua," ujar Kevin.

Aldo dan Nico bersiap berdiri dari tempat duduknya. Nico sudah berkeringat dingin sebelum peperangan dimulai. Dia menarik seragam Aldo membuat sisi seragamnya keluar begitu saja.

"Hai, selamat siang! Perkenalkan nama saya Aldo sebagai calon ketua OSIS dari kandidat nomor dua," ujar Aldo terlihat kaku.

Kalau anak-anak perempuan mulai menyapanya dengan genit. Maka lain halnya dengan Bima yang sudah terkekeh geli dan langsung mendapat tabokan dari Jean di sampingnya.

"Dan saya—saya Nicolas. Wakilnya dia," ujar Nico seraya cengengesan membuat siswa-siswi lain ikut cengengesan karena tingkahnya yang gugup.

Maka sekarang Bima tidak sendirian cengengesan. Karena nyaris se-auditorium cengengesan karena Nico. Aldo berdecak sebal sedangkan Nico mulai bernapas lega.

"Sudah, sudah. Maklum saja dia gugup," ujar Tari tersenyum manis.

Tania lagi-lagi berdecih. "Nyebelin," gerutunya.

Amanda menoleh. "Kenapa sih, Tan?" tanyanya, tetapi tidak digubris Tania.

"Oke, oke. Kita lanjut ke kandidat nomor tiga," ujar Kevin.

"Selamat siang semuanya! Perkenalkan saya Diandra calon ketua OSIS dari kandidat nomor tiga," ujar Diandra.

"Dan saya Tyas sebagai calon wakil ketua OSIS dari kandidat nomor tiga," ujar Tyas.

"Wah! Ini perempuan semua nih, tepuk tangan dong!"

Prok! Prok! Prok!

Sontak seisi ruangan mengikuti perintah Tari untuk bertepuk tangan.

Tania berdecih.

"Nah, kita langsung saja yuk Kak Tari mulai ke acara inti," ujar Kevin.

"Yuk, kalian semua pasti udah nggak sabar 'kan ya," ujar Tari.

Melihat percakapan antara Kevin dan Tari membuat Tania muak. Dia segera bangkit berdiri tanpa memedulikan tatapan Amanda dan Nabilla yang kebingungan. Bahkan, Kevin sama sekali tidak melihatnya pergi ke luar ruangan.

Melihat seseorang keluar membuat Jean segera menyenggol lengan Bima. "Bim, itu siapa yang keluar?" tanya Jean.

"Mana gue tahu," ujar Bima acuh. Dia lebih memilih fokus mendengarkan visi misi kandidat satu dan beberapa siswa yang melontarkan pertanyaan.

"Ih, lo kejar sana," desak Jean.

"Lo aja," ujar Bima masih fokus.

Jean mendesah berat. Memaksa hingga ribuan kali pun tidak akan berhasil karena Bima sudah sangat kuat dengan pendiriannya.

Jean akhirnya memilih keluar ruangan saat giliran Aldo membacakan visi misi. Hal yang membuat Aldo sedikit kebingungan.

...******...

Tania melangkah dengan kesal. Dia mengentakkan kakinya ke lantai dan menendang kerikil di depannya. Dia melihat sekeliling. Lapangan terlihat sepi karena anak-anak yang ekskul sedang berada di auditorium. Tania memilih duduk di atas tribun. Entah kenapa dia jadi merasa kesal.

"Nyebelin," gerutu Tania seraya mengentak-entakkan kakinya.

"Kenapa keluar ruangan?"

Tania pikir itu adalah suara Kevin. Tetapi setelah dia mendongak, justru seorang perempuan berwajah sedikit pucat yang dia lihat. Tania yakin kalau gadis ini salah satu anggota OSIS yang mengejar-ngejar dirinya.

"Lo ... anak OSIS?" tebak Tania.

Jean mengangguk dan duduk di samping Tania. "Iya. Kenapa lo keluar ruangan?" tanya Jean lagi.

"Panas, jadi gue keluar," ujar Tania seraya menyipitkan matanya karena mentari tepat di atas kepalanya.

"Oh, kenapa duduknya nggak di dekat pintu?" tanya Jean.

Tania tidak bisa berbohong. Bahkan, kebohongan kecil yang dia lakukan akan dia bongkar sendirinya. Tania terlalu ekstrover dalam menjalani kehidupannya.

Tania berdecak sebal. "Tahu ah, gue nggak mau jelasin kenapa gue keluar ruangan," ujar Tania kesal.

Jean mengangguk paham. Dia mulai mengintimidasi Tania. "Lo cewek yang waktu istirahat gue tabrak, 'kan?" tanyanya.

Tania mendongak. Ikut meneliti wajah Jean. "Lo cewek yang sering sama Aldo, 'kan?" ujar Tania.

Jean mengangguk. "Iya. Gue Jean." Jean menyodorkan tangannya.

Tania membalas uluran tangan itu. "Tania."

"Kita udah kenalan, dan sekarang lo bisa cerita ke gue kenapa bisa keluar ruangan. Gue janji bakal jaga rahasia lo."

Benar, 'kan? Terlalu mudah bagi seseorang untuk menebak jalan pikir dan jalan takdir Tania. Bahkan untuk orang yang baru dikenal sekali pun, seolah-olah semua tentang dirinya tertulis dengan jelas di jidatnya.

Tania mendesah berat. "Semudah itu lo baca apa yang gue rasakan?" tanya Tania.

"Yap. Orang kayak lo sangat mudah ditebak," ujar Jean. "Jadi, apa alasannya?" desak Jean.

Tania menghela napas panjang. Baiklah, mau tidak mau dia harus bercerita jika tidak ingin beban ini dipikul sendiri. Biar Jean ikut merasakan bebannya. "Gue nggak tahu kenapa kesel lihat kak Tari berduaan sama kak Kevin."

"Lo suka ya sama kak Kevin?"

Sontak kepala Tania berubah layaknya leher burung hantu yang berputar seratus delapan puluh derajat pada Jean. "Semudah itu lagi lo nebak apa yang gue rasakan?" tanya Tania.

Jean mengangguk.

Tania menghela napas pasrah. Dia sangat frustrasi. "Gue enggak tahu suka sama dia atau enggak. Cuman ya gue kesel aja kalau ada cewek lain yang deket sama dia," ujar Tania.

"Oke, gue paham apa maksud lo. Dan gue bisa rasakan itu," ujar Jean.

Tania menatap iris mata Jean.

"Ayo, masuk ke ruangan lagi," ajak Jean seraya bangkit berdiri.

"Enggak ah, males," ujar Tania.

"Kalau ke kantin mau enggak?"

Tawaran itu justru membuat mata Tania berbinar cerah layaknya mentari yang ada di atas kepalanya. Dia langsung berdiri dan bersejajar dengan Jean.

"Lo mau ajak gue ke kantin?"

"Iya. Anggap saja ini sebagai permintaan maaf karena gue udah nabrak lo waktu istirahat," ujar Jean.

Tania berjingkrak senang. "Oke, ayo ke kantin!"

Mungkin ini adalah alasan kenapa Kevin dan Aldo berada di dekat Tania, gadis itu begitu terbuka membuat siapa pun betah dengannya. Seolah Tania menunjukkan kalau dia tidak akan berbohong soal apa pun. Seharusnya Jean tidak berpikiran buruk saat tadi pagi. Nyatanya, Tania tidak seseram yang Bima dan Nico ceritakan.

...******...

Di kantin inilah Jean dan Tania memilih bersinggah. Keadaan kantin yang sepi membuat Jean dan Tania bisa merasakan angin yang menyibak rambut mereka. Sebetulnya Jean sedikit takut kalau ada orang lain yang memergoki mereka berdua di sini. Jean mengaduk es teh manisnya sedangkan Tania menyuap batagornya.

"Jadi lo sama Aldo cuma temenan?" tanya Tania.

Jean mengangguk. "Iya."

"Gue pikir lo berdua pacaran," ujar Tania.

Jean terkekeh. "Emang banyak yang bilang kalau kita itu kelihatan kayak orang pacaran. Padahal enggak, gue sama dia temen dari kecil. Sama kayak lo dan kak Kevin," ujar Jean.

"Kalau gitu lo punya perasaan nggak sama Aldo?" tanya Tania sedikit mencondongkan kepalanya. "Soalnya 'kan sama kayak gue tuh, gue 'kan ada rasa sedikit lah sama kak Kevin. Kalau lo ada perasaan nggak sama Aldo?" tanya Tania semakin mendesak dengan menaik-turunkan alisnya.

Jean bungkam seribu bahasa. Dia harus menjawab apa pertanyaan Tania itu. Dia sendiri bahkan tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Yang dia tahu selama ini hanyalah Aldo yang selalu ada dan peduli padanya. Jean tidak bisa mendeskripsikan cinta secara jelas.

"Ah, apaan sih? Udah yuk, ke auditorium lagi," ujar Jean bersiap bangkit berdiri.

"Lo gengsi ya bilangnya?" ujar Tania menggoda.

Jean berdecak sebal. "Enggak. Ayo, keburu ada yang lihat," ujar Jean.

Tania dengan cepat memasukkan suapan terakhirnya ke dalam mulut. "Iya deh, iya. Tapi kalau gue tanya kayak gini lagi, lo harus jawab," ujar Tania.

Alih-alih dia mendengar suara Jean, justru suara derap langkah kaki yang kian menjauh. Saat dia mendongak, dia melihat Jean berjalan lebih dulu keluar kantin membuat mulutnya setengah terbuka dan matanya membola.

"Eh, Jean! Tungguin gue!"

...******...

Malam ini Tania memutuskan untuk main ke rumah Amanda. Dia sudah meminta izin kepada Mila dan wanita paruh baya itu mengizinkannya. Satu pasta spaghetti Tania habiskan sendiri setelah sebelumnya dia berbelanja bersama Nabila. Amanda yang melihat keadaan kamarnya hanya bisa menghela napas panjang seraya menggelengkan kepala. Dia seperti menjadi budak di dalam istananya sendiri.

"Lo berdua bisa nggak sih masukin makanannya ke dalam plastik?" omel Amanda. "Enggak harus lo berdua keluarin semua kalau emang enggak mau dimakan," lanjut Amanda.

Tania berjingkrak duduk. "Gue mau cerita sama kalian," ujar Tania menatap Amanda dan Nabilla bergantian.

"Gue nggak mau denger cerita unfaedah lo," ujar Amanda seraya memungut kemasan makanan yang masih baru.

"Gue mau dengar kok, ayo cerita," ujar Nabila bergeser dari sofa ke atas ranjang dan duduk di samping Tania.

Tania dan Nabilla sama-sama mengabaikan Amanda yang sedang menggerutu kesal seraya mengambil kemasan makanan.

"Lo tahu Jean, nggak?" tanya Tania.

Nabilla mengernyit bingung. "Jean yang sering berduaan sama Aldo itu?" tanya Nabilla.

Tania mengangguk. "Iya, dia—"

"Yang ngejar lo waktu lo keluar dari auditorium?" tanya Amanda setelah selesai melakukan pekerjaannya.

Tania menjentikkan jarinya. "Yap."

"Lagian lo kenapa sih keluar auditorium hanya karena lihat kak Kevin dan kak Tari sama-sama mandu acara?" tanya Amanda.

"Lo juga sama, Man. Pas lo lihat dia kelompokkan sama yang lain aja ngambeknya sampe seminggu," ujar Nabilla.

Sontak Amanda segera melotot tajam pada Nabilla untuk tidak membongkar rahasia. Tania mengernyit bingung. Dia melirik Amanda dan Nabilla bergantian.

"Jangan ngada-ngada deh," ujar Amanda.

"Sebetulnya apa yang lo rahasiakan sih sampai gue nggak boleh tahu? Katanya di antara kita nggak boleh ada rahasia," ujar Tania.

"Enggak penting. Lanjut aja cerita lo sama Nabilla soal Jean," ujar Amanda.

"Enggak, sebelum lo bilang sama gue apa yang lo sembunyikan? Lo suka sama seseorang, ya? Siapa?" tanya Tania beruntun.

Ini adalah alasan kenapa Amanda lebih memilih menyembunyikannya sendiri. Kalau saja saat latihan cheers Nabilla tidak mengecek ponselnya, maka sekarang dia masih benar-benar berada di zona aman.

"Udah ah, pulang aja sana lo berdua. Gue mau pergi," ujar Amanda.

Nabilla melirik jam dinding. Baru pukul 20.00 malam. "Iya udah deh, gue juga mau pulang. Mau beli makan buat nyokap," ujar Nabilla bersiap berdiri.

"Lho, kok pada mau pergi? 'Kan baru jam delapan," ujar Tania.

"Mending sekarang lo telepon kak Kevin buat jemput lo," ujar Nabilla. "Gue duluan, ya. Bye!" Nabilla melambaikan tangannya dan bergegas menghilang dari balik pintu.

"Eh, Nabilla! Gue belum mulai ceritanya!" teriak Tania.

"Berisik lo, sana pulang," ujar Amanda. Dia sedang bersiap merias diri di depan cermin, hal yang membuat Tania mengintimidasinya.

"Lo mau ke mana sih, Man?" tanya Tania.

"Ke mana pun itu gue nggak akan ajak lo," ujar Amanda.

"Sialan!"

Padahal 'kan niat Tania itu ingin berbagi cerita kepada dua temannya tentang Jean yang menurutnya baik. Tetapi sayangnya, niat itu harus musnah seketika. Tania berdecak sebal. Dia harus pulang sendirian tanpa menebeng dengan Nabilla ataupun dia tidak bisa ikut pergi dengan Amanda.

...******...

Tania berjalan sendirian. Dia tidak memesan ojek online karena dia pikir jarak antara rumahnya dan Amanda tidaklah begitu jauh. Tetapi bagaimanapun itu ini malam hari. Ada rasa waswas di hati Tania saat dia berjalan sendirian di ruang kegelapan.

Tania menendang setiap kerikil yang menghalangi jalannya. Dia berdoa dan berharap seseorang datang untuk mengantarkannya pulang. Siapa pun itu asal bisa dimintai pertolongan.

Saat seseorang melihat punggung Tania saat itulah dia segera menarik gas lebih dalam dan bisa berhenti tepat di samping Tania.

"Tania?"

Tania menoleh terkejut melihat kedatangan Kevin yang tiba-tiba. Alih-alih merespons sapaan itu, Tania justru mengamati Kevin dari bawah hingga atas. Pria itu mengenakan celana abu tetapi atasannya mengenakan kaus hitam polos.

"Lo habis dari mana?" tanya Kevin.

"Kak Kevin sendiri baru pulang dari sekolah?" tanya Tania.

"Gue udah pulang dari tadi. Dan niatnya mau ngajak lo pulang bareng, tapi kata Nico lo pulang sama Amanda," ujar Kevin.

Ah, Tania! Seharusnya tadi jangan terburu-buru pulang ke rumah. Jika saja saat pulang dan keluar dari auditorium dia melirik Kevin yang melambaikan tangan padanya, dia tidak akan berakhir pulang bersama Amanda.

"Oh, terus Kakak habis dari mana?" tanya Tania.

"Habis beli makanan buat mama. Lo sendiri?" tanya Kevin.

"Gue habis pulang dari rumah Amanda," jawab Tania.

"Lo udah minta izin 'kan sama nyokap lo," ujar Kevin.

Tania mendengus kesal. "Kalau gue belum minta izin gue nggak akan mungkin ganti baju," ujar Tania.

Kevin tersenyum simpul. "Iya udah, pulang bareng gue yuk," ujarnya.

Tania melengos pergi. "Enggak, gue pulang sendiri aja," ketus Tania.

Kevin memelankan laju motornya agar sejajar dengan Tania. Dia sebetulnya agak bingung. Kenapa Tania dengan cepat menolak ajakannya. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

"Lho, kenapa? Gratis kok," ujar Kevin.

"Gue mau sendiri, Kakak jangan ganggu gue," ketus Tania.

"Lo marah sama gue? Kenapa?" tanya Kevin.

Tania menghentikan langkahnya dan kontan menoleh pada Kevin. "Semudah itu Kakak baca apa yang gue rasain?" tanya Tania.

"Iya," jawab Kevin.

Tania mendengus kesal. Dia sedang menyiapkan jawaban yang pas karena dia yakin setelah ini Kevin akan menanyakan kenapa bisa dia marah.

"Gue minta maaf," lirih Kevin.

Tania mengernyit bingung. "Untuk?"

"Lo marah 'kan sama gue? Jadi gue minta maaf," ujar Kevin.

Tania terpaku di tempatnya. Entah kenapa dia merasakan diistimewakan oleh Kevin. Sepeka itu kah rangsangan Kevin terhadapnya. Padahal sebelumnya dia pikir Kevin akan menginterogasinya.

"Gue minta maaf Tania, gue salah," ujar Kevin. Kali ini nadanya benar-benar tulus hingga tersentuh di hati Tania.

"Kakak tahu penyebab gue marah?" tanya Tania.

Kevin menggeleng. "Enggak, lo tahu gue orangnya kurang peka. Jadi gue minta maaf sekiranya gue enggak peka sama apa yang terjadi sama lo," jelas Kevin.

Tania melupakan fakta itu. Dia lupa kalau sebenarnya Kevin adalah orang yang kurang peka terhadap apa pun. Katanya semua itu harus dijelaskan secara detail. Untuk apa memberi kode jika kita bisa menjelaskan.

"Oh, gue maafin gue kok," ujar Tania.

Kevin tersenyum manis. "Pulang bareng gue mau, 'kan?" tanya Kevin.

Tania mengangguk manis. Dia lantas berjalan naik ke atas boncengan motor Kevin. Menerima helm dari pria itu dan segera memakainya. Mendengar permintaan maaf Kevin yang sangat tulus membuat hatinya begitu lega, seolah batu yang mengganjal itu telah hilang sendirinya.

Kevin segera melajukan motornya. Entah dia menyesali kekurangannya atau tidak, yang jelas dia akan melakukan yang terbaik jika seandainya dia kurang peka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!