Seson 2 Dewa Petir Kehancuran......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anonim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sosok Lei Nan
Lei Nan berdiri diam, tubuhnya tegak di antara bayangan pepohonan besar yang menjulang seperti raksasa tua. Angin dingin berhembus, menyibak rambut hitamnya yang sedikit berantakan, sementara kilatan petir samar masih berkilau di matanya. Tombak petir di tangannya berdengung pelan, seolah bergetar bersama detak jantungnya yang mulai berirama lebih cepat. Udara di sekitarnya terasa berat, seperti medan listrik yang menekan segala sesuatu di sekitarnya.
Saat tiba-tiba Manusia Serigala berlari dengan cepat kearah Lei Nan namun Lei Nan yang melihatnya hanya tersenyum, dengan hanya lambaian tangan terdengar suara tulang pecah.
Kerak...
Manusia serigala yang tadi maju pertama kali kini berjongkok di tanah, darah hitam menetes dari lubang besar di kepalanya. Matanya yang dulunya penuh kesombongan kini kosong, seperti cangkang kosong yang telah kehilangan jiwa. Tubuhnya masih mengejang, refleks terakhir sebelum akhirnya ambruk ke tanah dengan suara berdebum yang berat, memecah keheningan hutan.
Empat manusia hewan yang tersisa menatap tubuh rekannya yang tergeletak tak bernyawa dengan mata melebar, ketakutan merayap cepat di wajah mereka. Ekspresi mereka yang sebelumnya penuh nafsu dan kesombongan kini berubah menjadi kengerian murni. Mereka bahkan mundur beberapa langkah, kaki mereka gemetar, telinga mereka menegang, seolah berusaha menangkap setiap pergerakan Lei Nan.
Seorang pria bertelinga kelinci, yang paling pendek di antara mereka, menelan ludah keras-keras. Ekor kecilnya bergetar ketakutan, bulu-bulu di punggungnya berdiri seperti bulu landak yang merasa terancam. Matanya melirik rekannya yang tergeletak tanpa kepala, darah yang mengalir dari tubuh itu membentuk genangan kecil di tanah, mengeluarkan uap tipis yang berbau logam.
Namun, sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, tubuh Lei Nan menghilang begitu saja, seperti bayangan yang tertelan kegelapan. Mata petirnya berkilat lagi, dan angin berdesing keras, menusuk telinga mereka seperti jeritan hantu.
Lalu, sekejap kemudian, terdengar suara berat dari atas—seperti petir yang menyambar pohon tua. Salah satu manusia hewan, pria bertelinga rubah yang berdiri paling depan, hanya sempat merasakan desiran angin dingin di tengkuknya sebelum sesuatu yang keras dan panas menghantam lehernya.
BRUUAKK!!
Kepalanya meledak seperti buah semangka yang dihantam palu baja. Darah dan serpihan tulang beterbangan, mengenai wajah rekannya yang lain. Beberapa potongan daging bahkan menempel di dedaunan di sekitarnya, meninggalkan noda merah yang mengerikan. Tubuhnya yang masih tegap berdiri seolah kehilangan keseimbangan, lalu jatuh dengan suara berderak, menambah genangan darah di tanah.
Yang tersisa kini hanya tiga. Wajah mereka pucat, mata mereka terbelalak, bibir mereka bergetar seperti daun kering di musim gugur. Salah satu dari mereka, seorang wanita bertelinga kucing dengan ekor panjang yang bergerak liar, mencoba berlari mundur, namun kakinya terasa seolah tertancap di tanah. Napasnya tersengal, dadanya naik turun liar, seolah paru-parunya terhimpit rasa takut yang mematikan.
Namun, Lei Nan tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Sosoknya kembali muncul, kali ini di belakang wanita itu. Tangannya bergerak cepat, tombaknya berputar seperti kilat yang menari di tengah badai, dan sebelum wanita itu sempat menoleh, ujung tombak itu telah menusuk tepat di tengah punggungnya, menembus jantungnya dan keluar dari dadanya.
Mata wanita itu membelalak, mulutnya terbuka lebar, namun tak ada suara yang keluar selain semburan darah segar. Tubuhnya bergetar sejenak, sebelum akhirnya roboh ke depan, wajahnya menghantam tanah keras, memercikkan tanah dan darah di sekitarnya.
Dua manusia hewan terakhir, pria bertelinga serigala dan wanita bertelinga kucing lain, langsung jatuh terduduk, tubuh mereka bergetar hebat. Mereka saling menatap, seolah mencari kekuatan dalam tatapan satu sama lain, namun yang mereka temukan hanyalah ketakutan yang sama.
Lei Nan berjalan perlahan ke arah mereka, jejak langkahnya meninggalkan bekas bakar di tanah, seperti pijakan petir yang baru menyambar. Napasnya tetap stabil, wajahnya tenang, namun matanya berkilat seperti badai yang baru saja terbangun.
Saat jarak mereka hanya beberapa meter, kedua manusia hewan itu mencoba bangkit, namun kaki mereka terasa lemas, seolah tubuh mereka sendiri menolak untuk bergerak. Detik berikutnya, Lei Nan melompat, tubuhnya berputar di udara, dan tombaknya berputar cepat, mengiris udara dengan suara siulan tajam.
Sekejap kemudian, kedua kepala itu terpisah dari tubuhnya, terlempar beberapa meter sebelum menghantam tanah dengan suara berat. Darah memancar tinggi, membentuk busur merah yang melukis dedaunan dan batang pohon di sekitarnya.
Keheningan kembali menyelimuti hutan. Angin berhenti berhembus, kabut tipis melayang pelan, seolah ingin menutupi pemandangan mengerikan di depan mereka.
Lei Nan menurunkan tombaknya perlahan, menghembuskan napas pendek, dan menatap lima tubuh tanpa kepala di sekitarnya. Ia memutar pergelangan tangannya, lalu menepukkan telapak tangannya ke tombak petirnya yang perlahan memudar, berubah menjadi aliran petir yang masuk kembali ke dalam tubuhnya.
Ia kemudian berbalik, menatap Yu Lian yang berdiri kaku beberapa meter di belakangnya. Wajah gadis itu pucat, matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka, dan napasnya terputus-putus. Beberapa langkah ke belakang yang ia ambil tanpa sadar membuatnya menabrak pohon besar di belakangnya. Tubuhnya bergetar, lututnya lemas, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Lei Nan melihat ekspresi ketakutannya, lalu menyunggingkan senyum kecil, kali ini dengan nada canda yang tak biasa. “Apa kau takut?” tanyanya dengan nada ringan, seolah-olah yang baru saja terjadi hanyalah latihan kecil.
Yu Lian tersadar dari keterkejutannya, wajahnya langsung memerah, dan ia memalingkan wajahnya ke samping, mencoba menyembunyikan rasa malunya. “Aku… aku hanya… sedikit terkejut. Itu saja,” jawabnya terbata, mencoba terdengar tenang meski suaranya masih gemetar.
Lei Nan hanya terkekeh pelan, lalu melangkah mendekatinya, menatap gadis itu dengan mata yang kembali tenang. “Baiklah, kalau begitu… ayo kita lanjutkan perjalanan. Sepertinya tempat ini akan segera menarik perhatian makhluk lain.”
Yu Lian menelan ludahnya, lalu mengangguk pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdentum keras. Mereka pun mulai berjalan perlahan, meninggalkan mayat-mayat yang masih hangat di belakang mereka, menuju ke arah yang lebih dalam dari Hutan Langit.