Ariana selalu percaya bahwa hidup adalah tentang menjalani hari sebaik mungkin. Namun, apa yang terjadi jika waktu yang dimiliki tak lagi panjang? Dia bukan takut mati—dia hanya takut dilupakan, takut meninggalkan dunia tanpa jejak yang berarti.
Dewa tidak pernah berpikir akan jatuh cinta di tempat seperti ini, rumah sakit. Baginya, cinta harusnya penuh petualangan dan kebebasan. Namun, Ariana mengubah segalanya. Dalam tatapan matanya, Dewa melihat dunia yang lebih indah, lebih tulus, meski dipenuhi keterbatasan.
Dan di sinilah kisah mereka dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Ayah dan Permintaannya
Suasana makan malam yang awalnya hangat berubah menjadi penuh keterkejutan ketika pintu rumah terbuka dan seorang pria paruh baya berdiri di ambangnya. Dengan jas masih rapi dan tas di tangannya, sosok itu menatap mereka dengan ekspresi tenang namun penuh makna.
"Ayah?" suara Dewa terdengar nyaris berbisik, seolah tak percaya dengan pemandangan di depannya.
Nayla langsung berlari ke arah pria itu dengan wajah berbinar. "Ayah pulang!" serunya riang, memeluk pinggang ayahnya tanpa ragu.
Ibunya masih terpaku di tempat, jelas tak menyangka pria yang telah lama pergi kini kembali berdiri di depan mereka. "Kenapa tiba-tiba pulang?" tanyanya dengan nada hati-hati.
Ayahnya menghela napas, menatap Dewa dengan mata yang sulit ditebak. "Aku pulang bukan hanya untuk bertemu kalian," katanya, suaranya berat. "Aku ingin bicara denganmu, Dewa."
Dewa menegakkan bahu, mencoba menyembunyikan kebingungannya. "Bicara soal apa?"
Ayahnya melangkah lebih dekat, lalu duduk di kursi ruang tamu, mengisyaratkan agar Dewa mengikutinya. Dengan ragu, Dewa duduk berhadapan dengannya, diikuti ibunya yang masih berdiri dengan ekspresi waspada.
"Aku ingin kamu meneruskan usaha yang selama ini Ayah perjuangkan," ucap ayahnya akhirnya, langsung ke inti pembicaraan.
Dewa mengernyit, hatinya berdesir tak nyaman. "Usaha Ayah?"
"Ya," ayahnya mengangguk mantap. "Perusahaan yang selama ini Ayah bangun membutuhkan penerus. Dan aku ingin itu kamu, Dewa."
Dewa terdiam, merasa dadanya mendadak sesak. Ini terlalu tiba-tiba. Setelah bertahun-tahun tanpa komunikasi yang jelas, kini ayahnya kembali dengan permintaan sebesar ini?
Ibunya akhirnya buka suara, nada suaranya penuh ketegasan. "Kamu menghilang bertahun-tahun, lalu sekarang kembali dan meminta Dewa meneruskan usaha yang bahkan tak pernah dia tahu sebelumnya?"
Ayah Dewa menatap istrinya sejenak, lalu menghela napas. "Aku tahu ini mendadak. Tapi aku ingin Dewa mempertimbangkannya. Aku tidak meminta jawaban sekarang."
Dewa menggenggam tangannya sendiri, pikirannya berputar cepat. Ia bahkan belum benar-benar mencerna kehadiran kembali ayahnya, dan sekarang harus menghadapi permintaan sebesar ini.
"Aku... butuh waktu untuk memikirkannya," akhirnya ia berkata, suaranya datar.
Ayahnya tersenyum tipis. "Itu sudah cukup."
Malam itu, Dewa tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
...****************...
Keputusan Dewa untuk Ibu dan Adiknya
Malam semakin larut, tapi Dewa masih duduk di balkon, menatap langit dengan pikiran yang tak kunjung tenang. Permintaan ayahnya terus terngiang di kepalanya. Meneruskan usaha keluarga? Itu bukan sesuatu yang pernah ia rencanakan. Tapi di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan kenyataan—ibunya sudah terlalu lama berjuang sendiri, dan Nayla masih kecil, membutuhkan masa depan yang terjamin.
Langkah kaki pelan terdengar di belakangnya. Ibunya datang, membawa secangkir teh hangat. "Kamu belum tidur?"
Dewa tersenyum kecil. "Masih mikirin omongan Ayah."
Ibunya duduk di sampingnya, menghela napas pelan. "Dewa, kamu nggak harus melakukan ini kalau memang nggak ingin. Ibu nggak mau kamu merasa terbebani."
Dewa menatap ibunya dalam-dalam. Perempuan itu telah melalui banyak hal, membesarkannya dan Nayla sendirian tanpa pernah mengeluh. Jika ia bisa meringankan beban itu, bukankah itu yang seharusnya ia lakukan?
"Aku tahu, Bu," jawabnya pelan. "Tapi aku juga nggak mau lihat Ibu terus-menerus berjuang sendirian. Aku nggak mau Nayla tumbuh dengan kekurangan. Kalau ini satu-satunya cara supaya kita bisa hidup lebih baik, aku akan coba."
Ibunya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Nak, Ibu bangga sama kamu, tapi jangan lupakan kebahagiaanmu sendiri."
Dewa tersenyum, meski hatinya masih penuh keraguan. "Mungkin aku nggak tahu apakah ini akan membuatku bahagia atau tidak. Tapi kalau ini bisa membuat Ibu dan Nayla hidup lebih baik, itu sudah cukup buatku."
Ibunya terdiam sejenak, lalu meraih tangan Dewa dan menggenggamnya erat. "Apa pun keputusanmu, Ibu selalu di belakangmu."
Dewa mengangguk, memantapkan hatinya. Ia tahu ini tidak akan mudah, tapi demi ibu dan adiknya, ia akan berusaha sebaik mungkin. Karena bagi Dewa, keluarga adalah segalanya.