Hara, gadis perfeksionis yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan itu baru saja mengalami putus cinta dan memutuskan bahwa dirinya tidak akan menjalin hubungan lagi, karena menurutnya itu melelahkan.
Kama, lelaki yang menganggap bahwa komitmen dalam sebuah hubungan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, membuatnya selalu menerapkan friendzone dengan banyak gadis. Dan bertekad tidak akan menjalin hubungan yang serius.
Mereka bertemu dan merasa saling cocok hingga memutuskan bersama dalam ikatan (boy)friendzone. Namun semuanya berubah saat Nael, mantan kekasih Hara memintanya kembali bersama.
Apakah Hara akan tetap dalam (boy)friendzone-nya dengan Kama atau memutuskan kembali pada Nael? Akankah Kama merubah prinsip yang selama ini dia pegang dan memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Hara?Bisakah mereka sama-sama menemukan cinta atau malah berakhir jatuh cinta bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizca Yulianah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Delapan
"Sialan banget lo semalam ninggalin gue" Pagi-pagi sudah membuat keributan, Rio yang masih tidak terima dengan perlakuan Kama semalam itu pun melayangkan protesnya.
Rio yang baru turun dari motor itu langsung menghambur masuk ke dalam pos jaga mereka dan menghempaskan diri dengan sedikit kasar. Dan kemudian menghembuskan napas panjang.
"Ya lo nya sih asik joget aja sampe lupa waktu" Balas Kama asal bunyi, malas membahas masalah semalam. Dia bergeser memberikan ruang duduk tambahan sedikit lebih banyak kepada Rio yang sudah terlihat seperti orang kena anemia. Pucat pasi.
"Lupa waktu? Baru juga jam 1 malem. Abis lu pulang gue juga buru-buru cabut, gue kira udah beneran subuh, taunya sampek rumah masih bisa tidur gue. Kampret banget deh lo, gagal deh gue dapet kenalan baru" Rutuk Rio panjang lebar. Dia kemudian menyandarkan kepalanya di meja, bertumpu pada satu tangannya sebagai bantal. Memejamkan matanya.
"Udah joget-joget sampek kaki lo kayak kaki ayam kesambit tapi masih belum kenalan juga? Terus lo ngapain aja" Ejek Kama sembari tertawa terbahak-bahak. Seperti tak terganggu dengan kondisi temannya yang memprihatinkan itu.
"Memangnya lo yang sekali kenalan udah langsung nyosor" Sanggah Rio membela diri. "Eh tapi semalam lo ngapain aja sama Indah, buset masih subuh udah nyap-nyap aja tuh anak, nyariin lo" Lanjutnya kemudian bercerita.
"Nggak ngapa-ngapain tuh" Jawab Kama sok polos. Matanya awas mengawasi setiap kendaraan yang lewat. Tidak melalaikan tugasnya.
"Kayak gue percaya aja sama lo, kalau memang gak ngapa-ngapain mana mungkin subuh-subuh dia udah telepon, kayak cacing kepanasan nyariin lo" Balas Rio sangsi. Di lihat bagaimana pun Kama bukanlah tipe orang yang akan melewatkan kesempatan yang ada.
"Suer beneran, gue kan anak alim" Jawab Kama menengok ke arah Rio dan kembali memasang wajah polosnya dengan jari telunjuk serta tengah yang membentuk huruf V. "Harusnya lo kasih tau ke Indah, subuh-subuh tuh sholat, bukan malah nyariin anak orang" Lanjutnya lagi dengan ekspresi serius yang di buat-buat.
"Sialan" Maki Rio menyerah, percuma dia mengorek informasi dari bocah slengekan satu itu, Kama bisa sangat tertutup jika itu menyangkut privasinya. Dia bangun dari posisinya, menyandarkan punggung di kursi dan memegangi perutnya "Makan yuk, perut gue mual nih kebanyakan minum. Kok lu bisa tetep sehat begitu sih, padahal kita sama-sama minum. Nggak kesiangan juga" Rio menatap Kama lekat-lekat, mencari tanda-tanda mabuk dalam dirinya. Tapi sepertinya yang di tatap baik-baik saja, wajahnya tetap segar, cerah bersinar tanpa kantong mata ataupun mata yang sayu memerah. Kama terlihat normal dan masih ganteng. Sedangkan dirinya seperti sudah berada di antara hidup dan mati.
Wajah sayu pucat, serta mata merah lengkap dengan lingkaran hitam di bawahnya. Jangankan bersinar, kata segar saja bahkan masih jauh mendekati.
Kama melihat jam tangannya, pukul sembilan. Sebenarnya waktu yang tanggung untuk sarapan, tapi perkataan Rio ada benarnya juga. Perutnya juga terasa mual sejak tadi pagi. Setelah menimbang-nimbang dan memastikan area jaga mereka lancar tanpa kemacetan, akhirnya Kama menyetujui ide Rio. "Ya udah yuk".
Setelahnya mereka berdua berboncengan berkeliling mencari tempat makan yang bisa meredakan rasa mual mereka, dan pilihan mereka jatuh pada soto.
Makanan berupa nasi dengan kuah gurih yang panas itu di rasa mampu menetralisir sisa-sisa rasa mabuk mereka semalam. Tak sulit menemukan tempat makan yang menjual soto di pagi hari, karena sepertinya soto menjadi salah satu most wanted dalam jajaran sarapan populer di kalangan masyarakat.
"Teh panas dua" Kama menjawab pertanyaan dari penjual soto saat di tanya dia ingin minuman apa untuk menemani sotonya tersebut. Rio yang memang selalu memesan makan dan minuman yang sama dengan Kama itu pun tidak protes saat Kama yang selalu memutuskan. Lagi pula dia tidak memiliki tenaga lebih saat ini dengan kondisi hangover-nya.
"Semalem lo bilang tuh tempat bau orang tua, maksudnya apa?" Tanya Rio membuka percakapan setelah duduk di salah satu pojokan tempat mereka akan makan, selagi menunggu pesanan mereka di siapkan.
"Masa sih gue bilang gitu? Salah denger kali lo" Jawab Kama asal. Rio menyipitkan mata, mengawasi bujangan cukup umur di depannya itu. Rio memang bukan orang yang peka, tapi di mata awamnya sekalipun terlihat jelas sekali kalau Kama menghindar dan seperti tidak ingin membahas lebih lanjut tentang masalah semalam.
"Iya deh iya, gue salah denger, gue salah tanggap, terus aja gue yang salah" Rio mencebik, menanggapi dengan malas. Memutuskan tidak ambil pusing dengan sikap tertutup dari Kama.
"Nah itu lo tau" Balas Kama tertawa. Dan pembicaraan mereka terhenti saat pelayan tempat makan itu datang mengantarkan pesanan mereka. Dua mangkok soto dan dua gelas teh panas.
Buru-buru Rio menarik gelasnya maju ke arahnya, "Lega banget dah ah" Seloroh Rio sesaat setelah meminum teh panasnya. Pilihan menu mereka terbukti ampuh meredakan mual yang sedari tadi dia derita.
"Makanya kurang-kurangin tuh kebiasaan minum, inget umur. Abis mabok masih nyari teh panas aja sok-sokan ngedisko" Ejek Kama saat melihat Rio yang merem melek sembari terus meminum teh panasnya, merasakan perasaan lega di perutnya. Kama menarik gelas teh miliknya juga, mengaduknya sebentar untuk memastikan tidak ada endapan gula di dasarnya dan agar manisnya merata. Santai tidak terburu-buru.
Sembari mengaduk-aduk minumannya, Kama mengecek ponselnya, berjaga-jaga kalau ada panggilan mendadak untuk mereka dari kesatuan. Setelah memastikan semua aman, dia meletakkan ponselnya di meja.
Baru saja Kama meminum seteguk teh panasnya, ponselnya berdering. Kama melirik benda persegi panjang yang ada di sebelahnya.
Bruuuussh! Tanpa sadar Kama menyemburkan teh yang baru saja di sesapnya itu. Tepat ke arah Rio yang ada di depannya.
"Bangsat" Pekik Rio kaget mendapat semburan mendadak begitu. Bergegas mengambil beberapa lembar tisu dan mengusap wajahnya dengan cepat. Dia melihat ke arah Kama yang sedang terbatuk-batuk, "Apaan sih?" Omelnya tak terima.
"Brengsek" Kama mengumpat, meletakkan secara sembarangan gelasnya dan mengambil ponsel miliknya yang masih terus bergetar. Ekspresinya bingung dan panik.
"Apaan sih?" Melihat Kama yang kalang kabut, mau tak mau Rio pun ikut bingung juga. Darurat kah? Kebakaran? Kemalingan? Perampokan? Apa? Tebaknya panik.
"Ini gue harus gimana?" Kama yang masih histeris itu menutup mulutnya. Matanya membulat penuh kengerian.
"Bikin gue takut aja loh ah, apaan sih?" Rio yang juga semakin tidak sabaran bingung harus bagaimana. Dia tidak tau masalah apa yang sedang mereka hadapi. Tanpa permisi dan babibu, Rio menyaut cepat ponsel Kama. Si sumber masalah kepanikan.
Hara
Begitulah yang tertulis di layar ponsel milik seseorang yang sedang mengusak kepalanya dengan kasar itu saat ini.
"Ah elah bikin heboh aja lu, cuma pekara telepon doang. Siapa sih Hara? Bikin panik" Rio mencebik kesal setelah sebelumnya menghembuskan napas lega mengetahui bahwa itu bukan telepon darurat seperti yang di takutkannya.
Namun Kama malah mematung dengan posisi kepala tertunduk yang di pegangi kedua tangannya. Napasnya tidak beraturan.
"Hoooo..." Mendadak Rio menggebrak mejanya. Membuat Kama terhenyak kaget dan menoleh ke arah Rio dengan cepat. Di lihatnya Rio sekarang juga ikut menutup mulutnya dengan tangannya yang terkepal, wajahnya kaget dengan mata melotot yang memandangi layar ponsel milik Kama. Sama seperti dirinya tadi. Panik dan syok.
"Apa? Kenapa? Ada apa?" Panik Kama mencecar Rio. Jantungnya semakin berdetak tak karuan. Kepanikannya meningkat seribu persen karena melihat Rio yang ikut-ikutan berekspresi demikian.
"Dia Hara yang bini orang itu kan?" Jawab Rio masih dengan hebohnya sembari membalikkan layar ponsel ke arah Kama. Menunjukkan sekali lagi nama Hara yang tertulis jelas dengan tanda panggilan masuk sebagai keterangan.
Beberapa mata pengunjung di tempat makan itu melirik mereka, penasaran dengan dua bocah berumur yang heboh sendiri hanya karena sebuah panggilan telepon.
"Sialan lo" Kama menyaut ponselnya kembali dengan kesal, dia kira ada hal yang lebih penting lagi daripada panggilan masuk bertuliskan nama Hara.
"Dia Hara yang bini orang itu kan?" Rio kembali mengulangi pertanyaannya, tetapi kali ini dengan berbisik. Mengira Kama kesal karena dia dengan lantang mengumumkan bahwa teman yang ada di depannya itu mendapat telepon dari istri orang. Seragam mereka akan tercoreng kalau begitu masalahnya.
"Belum jelas juga status dia udah kawin atau belum?" Balas Kama menggerutu. Bukan itu point pentingnya sekarang. Yang jadi pertanyaan adalah apa yang membuat Hara menghubunginya setelah beberapa hari lamanya? Yang bahkan pesannya saja tidak di baca.
Kama mengatur napasnya yang berantakan, tarik hembuskan, tarik hembuskan, terus berulang hingga dia merasa cukup tenang dengan irama jantungnya yang cuma sedikit berdetak lebih cepat, gugup tapi masih dalam batas normal.
Setelah berhasil mengatasi ketegangannya dan berdehem beberapa kali, Kama menggeser icon gagang telepon berwarna hijau itu ke atas.
"Ya?" Suaranya berusaha terdengar santai.
"Ini dengan pak Kama ya?" Suara Hara di ujung sana terlihat bingung.
Kama mengerutkan keningnya, kenapa jadi Hara yang terdengar bingung, harusnya ekspresi itu menjadi miliknya. "Ya benar" Jawab Kama kemudian.
"Bapak di bagian apa ya?" Tanpa basa basi Hara mengajukan pertanyaan, nadanya tidak sabaran.
Pertama kali dalam hidupnya dia mendapati cewek yang tidak bisa di tebak seperti ini. Bahkan orang-orang yang meneleponnya dengan kepentingan saja tidak akan se to the point seperti Hara. Basa basi dulu kek.
"Saya di bagian lalu lintas sekarang" Jawab Kama hati-hati karena belum mengerti kemana arah pembicaraan ini. Rio yang mendengarkan dengan seksama itupun ikut memasang ekspresi tegang. Sembari mengangkat wajahnya bolak balik seakan bertanya kenapa? Ada apa?
"Lalu lintas?" Suara Hara terdengar makin heran lagi. "Pantesan saya cariin yang namanya Kama nggak ada, katanya bapak mau membantu saya dengan urusan tilang, kok bapak di bagian lalu lintas. Terus kenapa bapak bilang mau bantuin saya ngurusin tilangnya kalau begitu?" Hara mengomel panjang lebar, membuat Kama semakin di buat syok dengan cewek satu itu. Tanpa basa basi pembukaan dan sekarang dirinya mendapatkan omelan. "Bikin ribet aja, tau gitu suruh si Amir yang ngurusin beginian" Suara Hara mengecil seolah-olah ponselnya sekarang tidak berada di telinganya. Terdengar suara latar yang berisik. Kama mengerutkan keningnya kembali. Dia belum menjawab banyak pertanyaan, dan sekarang dia harus menebak-nebak apa yang sedang terjadi pada Hara di ujung sana.
"Maaf pak ternyata bagian lalu lintas" Suara kecil Hara terdengar lagi, seperti berbicara pada orang lain, bukan dirinya. "Kalau begitu saya harus bagaimana ya untuk mengurus surat tilang ini?" Lanjutnya kemudian. Kama mendengarkan dengan seksama. Terdengar suara seorang laki-laki yang memberikan pengarahan pada Hara, samar-samar, dan suara Hara yang menjawab paham dengan arahan tersebut.
Setelah beberapa saat, suara sambungan telepon itu terdengar hening. Kama semakin menajamkan pendengarannya. Suara langkah kaki yang bergema. Kama memeriksa ponselnya, masih tersambung, dia kembali menempelkan ponsel itu di telinganya.
"Loh masih nyambung?" Kembali terdengar suara Hara yang masih kecil.
"Tunggu, tunggu" Kama spontan mengeraskan suaranya, membuat beberapa orang yang ada di sana berjengit kaget, termasuk Rio yang sedari tadi ikut tegang menyaksikan jalannya drama perteleponan ini, dia terhenyak dari kursinya. Bahkan seseorang berhenti saat akan menyendokkan nasi ke dalam mulutnya, seakan instruksi itu untuknya.
"Ya ada apa?" Kali ini malah Hara yang balik bertanya. Bingung kenapa dia harus menunggu.
"Saya tidak mengerti dengan maksud telepon anda, sebenarnya ini ada apa ya?" Tanya Kama bingung. Dia yang di telepon tapi dia juga yang bingung.
"Tempo hari anda kan mengirim pesan ke saya, katanya bilang mau membantu saya dengan urusan tilang menilang. Nah sekarang ini saya di pengadilan, saya muter-muter nyari nama anda nggak ada tuh. Bikin malu aja" Cerocos Hara menjelaskan duduk perkaranya.
Kama menghembuskan napas lega yang tertahan. Masalah tilang toh. Otot wajahnya mengendur.
"Maaf kalau begitu, saya kira anda tidak butuh bantuan saya, karena pesan saya tidak di baca" Jawab Kama mulai merasa rileks. Punggungnya yang semula tegap kini mulai melorot. Begitu juga dengan Rio, dia bagikan bayangan Kama, saat Kama mengerutkan kening, dia pun akan melakukan hal yang sama, saat Kama bernapas lega, dia juga ikut bernapas lega. Efek perasaan kepo.
"Saya baca kok" Sanggah Hara tak terima. "Ya sudah kalau begitu, terima kasih pak, saya sekarang juga sudah di pengadilannya" Pungkas Hara kemudian.
Loh kok udahan? Wajah Kama kembali panik, dia bahkan belum sempat berbasa basi, sudah selesai saja.
"Kalau memang anda repot, urusan tilang itu bisa kok di wakilkan kepada suami anda" Cerocos Kama dengan cepat. Entah kerasukan apa, Kama malah menyuarakan kekalutan pikirannya perihal status Hara yang menjadi ganjalan.
"Suami?" Suara Hara terdengar bingung, begitu pula Kama yang mendengarnya. "Apa telepon spam ya?" Suara Hara kembali mengecil, membuat Kama kembali tegang, menajamkan pendengaran demi menangkap sekecil apapun informasi dari Hara. Tapi nihil, sambungan teleponnya telah terputus.
"Bangsat" Umpat Bara meninju udara. Wajahnya kacau semrawut. Situasi macam apa ini.
Kama celingak celinguk seperti mencari sesuatu, Rio yang ada di depannya itu semakin panik tercekik rasa penasaran. Ikut celingak celinguk meski tidak tau harus mencari apa.
"Apa?" Tanya Rio masih tetap ikut celingukan. "Apaan bangsat?" Kejar Rio tak sabaran karena tidak mendapat jawaban.
"Antri di pengadilan lama nggak kira-kira?" Tanya Kama tidak sabaran.
"Pengadilan apa? Kasus apa?" Rio yang sama sekali belum mendapat informasi itu pun tidak tau harus menjawab apa. Ada begitu banyak pengadilan sepengetahuannya, kasusnya pun banyak. Jadi ini tentang apa?
"Ah lama lu, cepet buruan" Kama berdiri dan buru-buru mengeluarkan dompetnya sambil berjalan cepat menuju kasir tempat pembayaran makanan.
Rio yang masih buta keadaan itu mau tidak mau ikut berdiri, kemudian sekilas memandang ke arah mangkok soto yang bahkan belum di sentuhnya. Perutnya meminta untuk tinggal, tapi rasa penasarannya meminta ikut buru-buru pergi. Galau melandanya.
"Ambil aja kembaliannya pak" Ucap Kama cepat saat meletakkan satu lembar uang berwarna merah muda di depan kasir yang bahkan belum menghitung nilai pesanan Kama. Dia ikut bingung melihat Kama yang seperti di kejar setan. Pandangannya bolak balik antara Rio yang masih berdiri di tempatnya dan Kama yang bergegas pergi. Ada keadaan darurat apa pak polisi?
Kama berlari menuju motornya terparkir, dengan cepat memasukkan kontak motor dan memutarnya. "Buruan, lama amat, gue tinggal nih" Sentaknya pada Rio yang masih sempat-sempatnya menyeruput kembali teh panasnya.
"Bangsat bener dah tuh anak" Gerutunya sendiri, kemudian buru-buru berlari menghampiri Kama sambil mengusap mulutnya.
Kama melempar helm Rio yang di tangkapnya dengan gelagapan. Secepat kilat dia mengenakan helmnya dan langsung melompat ke atas jok motor yang sudah di hidupkan Kama. Baru saja bokong Rio mendarat, Kama sudah memacu motornya cepat. Membuat Rio yang belum siap itu pun memeluk Kama erat.
"Setaaan!" Makiannya hilang di telan angin dan bisingnya jalanan yang di belah Kama.
kasih kesempatan sama Kama dong,buat taklukkin Hara😁😁
menjaga pujaan hati jangan sampai di bawa lari cowok lain🤣🤣🤣
Nggak kuat aku lihat Kama tersiksa sama Hara🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
aku bakalan nungguin kamu yang bucin duluan sama Hara😁😁😁
tiba-tiba banget Pak Polici kirim buket bunga pagi' 😁😁😁😁😁
tapi kenapa tiba-tiba Hara telp ya????