Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.
Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.
Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma itu datang lagi!
Wanita itu melangkah cepat menghampiri Nathan, bibirnya sudah siap melabuhkan cipika-cipiki ria. Namun, Nathan dengan halus mundur, menghindari sentuhannya.
Britania melihat itu dari samping, merasa sedikit terkejut. Wanita itu, yang kini ia tahu bernama Nuca, tidak lantas menyerah. Ia masih terus cerewet menceritakan banyak hal pada Nathan, seolah-olah mereka cukup dekat. Britania bisa melihat obrolan keakraban yang kental di antara keduanya.
Ia merasa terabaikan, atau lebih tepatnya, merasa tak relevan di tengah interaksi intens itu, melangkah mundur berniat untuk mengambil minum. Not jealous, ia meyakinkan dirinya sendiri, hanya tidak ingin terlihat seperti kambing congek yang berdiri di samping. Ia selalu benci menjadi figuran.
Namun, satu tangan Nathan dengan sigap meraih pergelangan tangan Britania, menghentikan langkahnya. "Oh, ya, Nu, kenalin... Britania." Nathan menarik Britania lebih dekat, seolah sengaja ingin memasukkannya ke dalam lingkaran perbincangan.
Britania mengangguk sopan pada Nuca, seraya mengulurkan tangan. Senyum tipis terukir di bibirnya, bentuk keramah tamahan yang ia junjung tinggi. Namun, Nuca tak sudi membalasnya. Matanya menelisik tubuh Britania dari ujung kaki sampai ujung rambut, menilai, dan ada sedikit rasa merendahkan di matanya.
"Nuca..." jawabnya tanpa melihat uluran tangan Britania. Dingin, meremehkan.
Sabar, Bri! Sabar! Ini acara besar, ya kali mau misuh-misuh perkara wanita modelan nenek lampir doang. Britania menarik napas dalam, memaksa senyumnya tetap terpasang.
Perlaaakuan Nuca terasa seperti tamparan kecil, namun Britania sudah terlalu sering menghadapi orang-orang seperti ini di dunia korporat. Ini bukan hal baru. Jadi ia tidak terusik sama sekali.
Tidak lama berselang, wanita bernama Nuca itu naik ke stage dansa, mengambil alih mikrofon. Ia membawakan sebuah lagu romantis, suaranya merdu, mengajak semua orang untuk menggerakkan badan mereka mengikuti alunan lagu.
"Okey, thank youuuuu..." ucapnya setelah lagu selesai. Jujur, suaranya bagus, mengalun lembut dan enak didengar, hampir semua orang bertepuk tangan riuh untuknya. Nuca menjadi pusat perhatian sebagian tamu undangan.
Britania sudah mulai merasa tidak nyaman sebenarnya. Berada di tengah acara resepsi pernikahan membuat dadanya terasa sesak. Setiap detail dekorasi, senyum bahagia pasangan pengantin, dan terutama lagu romantis yang mengalun tadi, semuanya terasa seperti pisau yang mengoyak luka lama.
Ingatan yang sangat menyakitkan itu kembali memenuhi benaknya, semakin memperdalam luka yang selama ini ia pendam dalam hatinya. Ia merasakan napasnya mulai memberat, tangannya muali berkeringat dingin.
"Sekarang giliran saya ingin mengundang teman baru kita, pasangannya Nathan, untuk bernyanyi di sini... Come here, Britaniaaaa..." seru Nuca dari atas stage, senyum jahat tersungging di bibirnya.
Sontak tubuh Britania tersentak kaget, bahkan sampai tersedak minuman yang baru saja ia teguk. Nathan sigap membantunya, mengusap minuman yang sedikit muncrat dari bibir Britania dengan sapu tangannya.
Wahh! Si nenek lampir itu gila. Bisa-bisanya memanggil naman seseorang untuk bernyanyi tanpa meminta persetujuan lebih dulu. Ini kan memalukan.
"Nggak perlu, Bri... Kamu sini aja, aku yang akan bilang pada Nuca. Keterlaluan dia!" Nathan hendak bangkit, kesal, rahangnya mengeras.
Terlambat.
Lampu sorot sudah mengarah pada Brii, jadi semua atensi para tamu undangan terpusat pada Britania. Bisik-bisik mulai terdengar.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kerasnya dunia mengajarkan Britania untuk menjadi wanita yang tangguh dan elegan. Tidak mungkin ia kalah di situasi seperti ini, apalagi di depan Nucaa saja, yang bahkan baru ia kenal.
Salah besar kalau wanita itu mau menjadikannya lawan main.
Oke, Bri, hanya wedding song... Bisa! Britania menguatkan diri.
Britania mencoba menarik napas panjang untuk menenangkan tremor yang mulai terasa. Bukan tremor karena diminta untuk membawakan lagu di atas panggung— bernyanyi adalah salah satu keahliannya. Tapi ia kesusahan berada dalam acara wedding ini. Ia tidak pernah bisa bertahan lama berada di suasana seperti ini. Semua kenangan buruk itu berputar, terus menerus menggerus kewarasannya, menguras energinya.
"Aku bisa, Nathan... Nggak masalah. Tapi habis ini kita pulang, oke?" Britania menatap Nathan, matanya memohon. Ini bukan tentang martabat, tapi tentang kondisinya yang mulai terancam. Ia tidak mau membuat Nathan malu, kalau sampai Brii mengalami hal buruk karena terus menahannya di tempat yang sama sekali tidak ingin ia datangi.
Nathan mengangguk ragu, kekhawatiran masih jelas di wajahnya, namun ia tahu Britania adalah wanita yang keras kepala. Ia membantu Britania berjalan menuju stage di mana Nuca masih berdiri di sana, senyum kemenangan terukir di bibirnya. Niatnya mungkin ingin mempermalukan Britania di depan teman-teman Nathan.
Kita lihat saja siapa yang akan malu, batin Britania, amarah samar mulai memicu keberaniannya.
Britania melangkah maju, dagunya terangkat sempurna, mendekat kepada pemain piano di samping stage, membisikkan lagu yang akan ia bawakan. Entah, lagu ini tiba-tiba terpikirkan begitu saja saat Nucaa menyebut namanya untuk ke stage tadi. Seperti sebuah insting.
"A Thousand Years" dari Christina Perri mulai mengalun merdu dari bibir Britania. Bukan hal yang baru apalagi susah untuknya. Ini memang salah satu keahliannya. Bermain gitar dan bernyanyi, salah satu hal yang paling ia sukai, tempat ia bisa melarikan diri dari realitas yang pahit. Memang tidak banyak yang tau Brii menguasai skill ini.
Pembawaannya dalam lagu ini cukup menghipnotis banyak tamu undangan untuk ikut melantunkan lagunya. Beberapa mulai merekam dengan ponsel mereka. Mereka lebih excited dibandingkan saat Nuca bernyanyi tadi, suara tepuk tangan mulai bergemuruh bahkan sebelum lagu selesai.
Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave?
How can I love when I'm afraid to fall?
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
One step closer
Setiap lirik terasa begitu personal, seolah ia menyanyikannya untuk seseorang.
I have died every day waiting for you
Darling, don't be afraid
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more...
Sampai akhir lagu, Britania masih mendengar riuh tepuk tangan dari para tamu undangan. Nathan juga bertepuk paling takjub, senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia segera menghampiri Britania di atas stage, tatapannya penuh kekaguman dan ada sedikit kelegaan.
Nathan meraih tangan Britania, menggandengnya, lalu mengajak berpamitan kepada temannya yang menjadi tuan rumah resepsi hari ini. Britania yang memintanya untuk segera berpamitan usai menyumbangkan lagu seperti yang Nuca minta tadi. Briia hanya ingin segera pergi dari acara itu.
Bukan hanya Britania yang jengah melihat tingkah Nucaa yang terus menempel pada Nathan, Nathan sendiri pun enggan menanggapinya. Apalagi setelah niatnya ingin mempermalukan Britania tadi. Wanita itu sepertinya sangat keukeuh mendekati Nathan, entah dulu bagaimana hubungan mereka. Britania berusaha tidak peduli, meskipun ada sedikit rasa penasaran.
Britania memilih lebih dulu berjalan menuju mobil milik Nathan, ingin segera menjauh dari keramaian ini. Matanya sudah memanas, dadanya bagai terhimpit batu, sesak dan nyeri bersamaan terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Bukan perkara Nucaa yang memintanya bernyanyi, itu bukan masalah besar. Tapi suasana ceremony ini yang mengingatkannya pada kejadian serupa yang pernah ia alami, yang sudah menghancurkan hampir seluruh hidupnya, tubuhnya sampai bergetar hebat.
Brii semakin tidak bisa mengendalikan dirinya, di balik tembok di ujung pintu masuk. Ia bersandar pada dinding yang dingin, mencoba menahan gejolak yang mengamuk di dalam dirinya. Napasnya tersengal, air mata mulai deras meluncur di pipinya, ingin berteriak, memberontak dari perasaan yang telah bertahun-tahun ini menyiksanya. Namun ia tak berdaya untuk itu. Ia selalu berusaha menghindari acara-acara resepsi pernikahan karena tahu akan seperti ini. Trauma itu terlalu dalam, terlalu merusak batin Brii.
"Bri, are you okay... " Nathan menepuk bahu Brii pelan, sangat pelan dan penuh hati-hati.
Britania cukup tersentak kaget, ia belum menjawabnya, namun berusaha untuk menyembunyikannya. Tetapi Nathan cukup tau, kalau Brii sedang terlihat sangat tertekan.
Ia memaksakan senyum tipis, "Nggak apa-apa, Nath."
"Maafin Nuca, ya, bikin kamu sampai kayak gini?" sesalnya, suaranya terdengar tulus. Ia berusaha merengkuh tubuh Britania dalam pelukannya. Britania ingin menolak, tapi ia hanya bisa diam. Ia tidak meronta, tapi tidak juga membalas pelukannya. Untuk beberapa detik, tubuhnya hanya kaku berada dalam dekapannya. Harum aroma tubuh Nathan yang beraroma musk menyeruak lembut di hidungnya dan berhasil membuat Britania perlahan tenang, bersamaan dengan usapan pelan di punggungnya.
Pelukan Nathan kali ini terasa lebih sebagai penenang, bukan lagi sesuatu yang mengikis batasan, tapi sebuah dukungan.
"Gue... balik dulu. Cinderella masih ada urusan lain..." pamit Nathan kepada semua teman-temannya yang masih asyik menikmati hidangan, setelah memastikan keadaan Britania sudah lebih baik sekarang.
Ia tahu Britania membutuhkan waktu sendiri untuk pulih dari gejolak emosinya. Nathan hanya tahu kalau Brii mungkin merasa tertekan karena ulah Nuca tadi, ia tidak memaksakan diri, melainkan memberi ruang pada Brii untuk tenang.
Tangan Nathan tak turun sedikit pun dari pinggang Britania sampai mereka masuk mobil. Britania merasakan sentuhan itu, bukan lagi sebagai paksaan, tapi sebagai penjaga yang menuntunnya untuk perlahan keluar dari situasi traumatis itu.
Tak lupa, saat hendak masuk mobil, Nathan meletakkan telapak tangannya di atas kepala Britania, menjaga agar kepalanya tidak terbentur pintu mobil.
Perlakuan kecil ini sering Britania lihat di drakor-drakor favoritnya. Apa dia juga suka menonton drakor...? Pikirannya melayang, sejenak melupakan rasa sesak di dadanya.
"Mmm... sori ya tadi," lirih Britania, suaranya masih sedikit serak. Ia yakin Nathan kaget melihatnya seburuk apa tadi saat kembali merasa tremor di acara wedding.
"Nggak usah dibahas lagi, Bri. Aku nggak masalah kok. Memang aku juga sudah ingin pergi dari sana." Nathan tersenyum kecil. "Eh, aku baru tahu suara kamu bagus banget, berarti tidak salah aku ajak kamu ke acara festival musik, dong?" ujarnya seraya mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang, membelah kemacetan kota.
Britania tersenyum kecil membalasnya, sedikit lega karena Nathan tidak lagi membahas kejadian traumatis tadi. "Aku memang suka musik. Kamu mau ngajak aku ke festival musik siapa?"
"Mozart..." jawab Nathan tergelak sendiri, tawa lepas yang membuat Britania ikut tersenyum.
"Joy Alexa... tahu kan?"
Britania menganga takjub. Tidak salah dengar, ia diajak ke festival musik yang dipromosikan oleh Joy Alexa? Pianis handal itu? "Woww, Pianis handal itu...?"
Nathan mengangguk yakin, matanya berbinar melihat reaksi Britania. "Suka?"
"Bangettt!" Seru Britania, antusiasmenya meluap. Semua kejadian yang menimpanya tadi menghilang begitu saja.
"Aku tebak, kamu suka musik juga?"
Wajah Nathan berbinar ceria. "Yap! Gitu dong, senyum. Aku udah takut banget pas kamu nangis tadi." Nada suaranya berubah serius, ada sedikit kekhawatiran yang terselip di sana.
"Aku dari kecil sudah suka musik, tapi Ayah sama Bunda menuntutku untuk meneruskan bisnis keluarga, jadi ya terpaksa terkurung di dalam gedung dengan setumpuk berkas seperti sekarang ini, hahaha..." kata Nathan lagi, tertawa masam,