Tidak terpikirkan oleh Sabrina lulus kuliah kemudian menikah. Pertemuanya dengan Afina anak kecil yang membuat keduanya saling menyayangi. Lambat laun Afina ingin Sabrina menjadi ibu nya. Tentu Sabrina senang sekali bisa mempunyai anak lucu dan pintar seperti Afina. Namun tidak Sabrina sadari menjadi ibu Afina berarti harus menjadi istri Adnan papa Afina. Lalu bagaimana kisah selanjutnya? Mampukah Sabrina berperan menjadi istri Adnan dan menjadi ibu sambung Afina???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merona Karena Malu.
Manusia hanya bisa berencana. Selebihnya Tuhan yang akan menentukan. Seperti cerita hidup Adnan gagal nya mahligai rumah tangga yang telah ia bina, ternyata kian hari, kian menyayat hati. Di tempat tidur Adnan menatap lekat wajah putri satu satunya tidak pernah mendapat kasih sayang sejak kecil.
"Selamat tidur sayang," ucapnya. Adnan pun tidur sore bersama putrinya.
***********
"Kamu tadi diantar siapa Na?" tanya Kamila pada Sabrina. Selesai memberi les anak-anak, kemudian membantu Kamila sang bunda memasak.
"Itu Bu, anaknya yang punya kampus, yang kasih kerjaan Ayah," Sabrina mendongak sebentar ke arah Kamila yang sedang di wastavel, kemudian kembali mengupas bawang.
"Oh, berarti orang tuanya Afina?" Kamila yang sedang mencuci kangkung hendak dicah melirik Sabrina yang sedang duduk di lantai beralaskan jongkok.
"Betul Bunda, tepatnya Papa Afina," Sabrina menjawab.
Kamila menatap Sabrina lekat, tanpa Sabirina tahu. "Ina, hati-hati jangan suka minta diantar laki-laki yang sudah punya istri, kalau sampai istri nya tahu, akan menjadi runyam masalahnya, Nak," nasehat Kamila tidak tahu jika Adnan seorang duda.
"Awalnya aku menolak Bunda, tapi Afina memaksa, lagian Pak Adnan itu sudah menjadi duda," Sabrina menjelaskan.
"Duda?" Kamila terkejut.
"Iya, kenapa sih Bun? Sampai terkejut begitu..." Sabrina tersenyum kemudian berdiri di samping Kamila mencuci bawang.
"Duda meninggal apa cerai?" cecar Mila.
"Kalau menurut cerita Prily sih, katanya duda cerai Bun," Sabrina menjawab apa adanya.
"Tetap harus hati-hati ya Nak," Mila mewanti-wanti.
"Jelas dong Bun"
Sambil ngobrol masakan pun akhirnya matang, Sabrina mandi kemudian shalat maghrib.
Malam harinya, Sabrina berkumpul di meja makan bersama Abdul sang Ayah, dan juga Kamila. Mereka makan bersama selesai makan berbincang-bincang di depan televisi.
"Mila, besok Ayah jadi keluar kota ya, nggak apa-apa kan Ayah tinggal?" kata Adul. Dulu Abdul sering meninggalkan anak istrinya keluar kota. Tetapi sudah beberapa tahun tidak pernah lagi, wajar jika Abdul merasa berat.
"Nggak apa-apa Yah, yang penting disana nanti Ayah hati-hati. Ingat! Ayah sekarang ini sudah tidak muda lagi," pesan Kamila.
Rupanya Abdul tadi sedang bertemu dengan Rachmad orang tuanya Adnan, membicarakan tentang proyek yang lusa akan segera dimulai. Maka Abdul tidak bisa menjemput Sabrina.
"Oh Ayah jadi kerja sama Om Rachmad?" sambar Sabrina yang sedang duduk mantengin lap top di depanya.
"Alhamdulillah... Nak, doakan Ayah ya," Abdul menoleh putrinya tersenyum.
"Tentu dong Ayah," Sabrina senang menatap ayahnya setelah mendapat pekerjaan tampak sumringah di wajah sang ayah.
*********
Keesokan harinya Abdullah mengantar Sabrina sampai di depan kampus sebelum berangkat ke luar kota.
"Ayah hati-hati di jalan," Sabrina mencium punggung tangan Abdul.
"Tentu sayang..." Abdullah mengusap pucuk kepala putrinya sebelum akhirnya mobil yang beliau kendarai berjalan meninggalkan kampus.
Sabrina melangkah semangat sambil menggendong rangsel di punggung.
"Sabrina... kamu sudah sampai..." seorang wanita cantik yang menylempang tas berjalan di belakang.
Sabrina pun menoleh mendengar suara Familiar.
"Bu Lastri..." Sabrina segera menyandak tangan Lastri kemudian menciumnya.
"Iya Bu, tadi saya barengan Ayah, jadi berangkat pagi-pagi sekali," Sabrina memang berangkat terlalu pagi.
"Ya sudah... saya ke kantor dulu, sampai ketemu di kelas ya," pamit Lastri.
"Iya Bu," Sabrina segera naik lift menuju lantai atas. Ia bertambah semangat sebab pagi ini jam pelajaran Lastri, dosen yang paling menyenangkan.
Sambil menunggu teman-teman dan juga dosen seperti biasa, Sabrina membaca buku.
"Puk" sebuah tangan menepuk pundaknya. Sabrina tampak cuek karena ia sudah hafal tangan siapa jika bukan tangan Prily.
"Serius amat sih loe, sampai gue datang loe cuekin," Prily lantas menarik kursi duduk di samping sahabatnya.
"Habisnya, kalau gue nyahut, ujung-ujungnya loe gibah! Loe kan doyan banget gibah Pril," seloroh Sabrina.
"Hais... loe!" Prily cemberut.
Mereka bercanda sebelum akhirnya dosen Lastri datang menyampaikan materi.
Hingga jam pelajaran selesai semua mahasiswa berkemas termasuk Sabrina dkk.
"Bundaaaa..." suara cempreng anak kecil berlari kecil ke dalam kelas, semua mata menoleh menatap Afina, saling pandang ke satu teman, ke teman yang lain. Siapa gerangan yang dipanggil Bunda. Semua tahu mahasiswi di kelas ini belum ada yang menikah.
Lastri tentu tahu jika bocah itu anak Adnan, tapi ia pun bingung menatap Afina dari kejauhan dengan dahi berkerut.
"Bundaaa..." Afina langsung nemplok di punggung Sabrina tangan mungil itu melingkar di dada.
"Huhuuu..." suara riuh mahasiswa yang merasa kecewa dan patah hati. Mereka pikir Sabrina bintang kampus itu sudah mempunyai anak.
Terlebih Kevin, ia syok mendengar panggilan Afina terhadap wanita yang di cintai nya sejak SMK itu.
Hanya prily yang senyum-senyum sendiri menatap wajah Sabrina yang memerah menahan malu.
"Fina... kamu kesini sama siapa Nak?" tanya Lastri ketika mau keluar melewati Afina, kali ini sudah berubah duduk di pangkuan Sabrina.
"Sama Papa Tante Tri," jawab Afina, kemudian salim tangan Lastri.
"Oh... terus papa kamu dimana?" Lastri melempar pandang ke arah pintu kelas. Namun tidak ada siapa pun disana.
"Sudah kembali ke lantai bawah, terus... katanya Fina disuruh menyusul sama Bunda Ina," celoteh Afina.
Lagi-lagi wajah Sabrina merona kala Lastri menatapnya intens.
"Oh, ya sudah... Tante duluan ya," Lastri tentu tidak ingin ikut campur urusan pribadi Sabrina.
"Afina... kita ke bawah yuk," bisik Sabrina tidak ingin lama-lama menjadi pusat perhatian. Kemudian mengendong ransel, menggandeng Afina ke luar kelas tidak sempat pamit Prily maupun Kevin.
*******
"Bunda... ini tinggal mewarnai ya?" Fina menunjukkan gambar kucing yang sudah di selesaikan Sabrina.
"Betul, Fina bawa krayon?" tanya Sabrina.
"Bentar Bun, aku ambil di tas dulu." Fina bersemangat, berlari ke kamar kecil di belakang meja kerja Adnan.
Sementara Adnan sedang berbincang-bincang dengan Bobby sahabatnya.
"Siapa gadis itu Nan?" tanya Bobby melirik Sabrina yang sedang membaca buku untuk bahan mengajar nanti sore.
"Oh... salah satu mahasiswi," Adnan menjawab pendek, melempar tatapan sekilas ke arah Sabrina.
"Bukan calon bini loe kan?" Bobby berbicara lirih agar tidak di dengar Sabrina.
"Jangan ngacok!" dengus Adnan.
"Kalau gitu, gw kenalan ah..." Bobby menghampiri Sabrina.
Adnan hanya acuh tak acuh melihat sahabatnya mendekati Sabrina.
"Hai..." sapa Bobby berdiri di depan Sabrina. Namun Sabrina tidak menanggapi tetap serius membaca. Bobby menoleh Adnan, yang sedang menatapnya pula dan berkata "Rasain!" tapi hanya terlihat mulutnya yang bergerak tanpa bersuara kemudian tersenyum meledek.
"Hai..." Bobby mengulangi. Lantas Sabrina mendongak.
"Oh Bapak menyapa saya? Waalaikumsalam..." jawab Sabrina.
Bobby tertegun lantas kembali menoleh Adnan. "Mampus" Adnan komat kamit. Lagi-lagi tersenyum miring.
Kesal dengan Adnan yang meledek terus menerus Bobby memberanikan diri duduk di sofa berhadapan dengan Sabrina.
"Kenalkan nama saya Bobby," Bobby mengulurkan tangan hendak bersalaman.
"Sabrina..." Sabrina hanya menangkupkan telapak tangan di depan dada. Membuat kuping Bobby merah kala Adnan tertawa puas, tapi tidak bersuara.
"Hahaha... nama kamu lucu, seperti merk minyak kemasan. SABRINA," Kali ini Bobby mentetawakan lelucon nya sendiri.
"Bundaaaa... ini krayon nya, nyari-nyari dulu kirain di tas, eh nggak tau nya di pindahin ke laci sama Papa," celoteh Afina.
"Bunda? batin Bobby menoleh Adnan minta penjelasan.
**
Happy reading. 💪💪💪.
lbh gk nyambung lg 🤣🤣🤣🤣
hajar bello