Ketika Badai Bertemu Dengan Jenderal

Max yang berdiri tegak di belakang Jenderal Lucien Fang hanya bisa menggeleng pelan.

"Bukankah Nona Shu sangat menyukai Jenderal? batinnya heran. "Kenapa hari ini sikapnya berbeda? Biasanya dia sopan dan lembut, tapi sekarang... dia malah berkelahi dan berani menantang Jenderal. Apa mungkin kepalanya terbentur?"

Sementara itu, di dalam sel yang gelap dan lembab, Storm berdiri menatap jeruji besi.

“Kenapa tiba-tiba ada angin, dari mana datangnya? Badanku kedinginan. Jangan-jangan... di penjara ini ada hantu?” gumamnya sambil melirik kanan-kiri dengan waspada.

Tiba-tiba—

Klik!

Suara kunci gembok berputar terdengar dari belakang. Pintu sel terbuka perlahan, menimbulkan bunyi creeek yang membuat bulu kuduknya meremang.

Storm refleks menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan sepasang mata tajam milik seorang pria berseragam militer. Tatapannya dingin, tegas, dan… tidak tahu kenapa membuat jantung Storm berdebar tak karuan.

“Nona Shu, Anda boleh keluar,” ujar petugas di samping Jenderal itu.

Storm melirik cepat ke seragam pria itu. Wajah tegas, medali di dada, dan sikap gagahnya membuat Storm nyaris menelan ludah.

"Seragamnya mirip dengan Jenderal Lucien Fang di drama yang tonton sebelumnya! Jangan-jangan... dia adalah Lucien Fang," pikirnya panik.

Tubuhnya langsung lemas. Ia terduduk di lantai dingin itu.

“Nona Shu, Anda tidak apa-apa? Apakah terluka?” tanya Max dengan nada khawatir.

“T-tidak apa-apa! Kakiku cuma… kehabisan tenaga. Mungkin karena terlalu lama dikurung,” jawab Storm cepat, berusaha menutupi kepanikannya.

Lucien menyipitkan mata, menatapnya dengan tajam. “Tadi kau terlihat begitu sombong. Sekarang tiba-tiba menjadi lemah dan sopan. Kenapa berubah begitu cepat, Nona Shu?”

Storm memaksa tersenyum. “Jenderal, jangan bercanda. Anak gadis mana yang bisa kuat terus kalau dikurung di tempat gelap dan kotor begini?”

Lucien melangkah masuk perlahan, menunduk menatap mata Storm. Saat pandangan mereka bertemu, bola mata keduanya memantulkan cahaya keemasan yang samar—sesuatu yang tidak disadari oleh siapa pun di ruangan itu.

Lucien berucap pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

“Nona besar keluarga Shu terkenal pendiam dan penurut. Tapi kau… berbeda. Kalau aku tidak mengenalmu, aku bisa mengira kau adalah orang lain.”

Storm tanpa sadar menjawab dengan polos, “Iya… memang beda, Jenderal. Tubuhnya sama, tapi jiwanya sudah ganti.”

Lucien terdiam. Max, yang berdiri di belakang, memucat.

"Apa maksudnya itu? Jangan-jangan kepala Nona Shu benar-benar terbentur? Atau kehilangan ingatan? batinnya bingung.

Lucien dengan angkuh berdiri tegap, lalu melangkah keluar dari penjara. Langkahnya tenang namun penuh wibawa; para prajurit otomatis memberi jalan.

"Nona, silakan!" kata Max.

"Ke mana?" tanya Storm.

"Kami akan mengantar Nona pulang ke kediaman Shu, tuan besar dan nyonya sedang menunggu," jawab Max dengan sopan.

Storm menghela napas. Di kepalanya berputar perasaan campur aduk, lega sekaligus resah. Ia memaksa menerima kenyataan baru ini.

"Pulang? Di zaman ini aku memiliki keluarga lain. Baiklah, aku akan pulang dan ikut saja perjalanan hidup di era ini," batin Storm.

Dalam perjalanan, Storm duduk di samping Lucien. Sang jenderal tetap diam sepanjang perjalanan, sosoknya seperti pilar tak tergoyahkan.

"Ada yang ingin aku tanyakan, kenapa aku bisa dipenjara?" tanya Storm, suaranya mengundang rasa aneh pada Lucien dan Max

"Nona, apakah anda lupa?" tanya Max yang sedang menyetir.

Mencari alasan sejenak, Storm menjawab cepat. "Mungkin karena aku pernah demam panas, jadi tidak bisa ingat untuk saat ini," jawab Storm dengan alasan.

Max menunduk, raut wajahnya serius. "Nona dijebak membunuh orang, dan ditahan. Tuan besar dan nyonya memohon pada Jenderal untuk membebaskan anda," jawab Max.

Mata Storm membelalak. "Siapa yang aku bunuh? Siapa yang menjebakku?" tanyanya, ingin menggenggam sepotong ingatan yang samar-samar menari di kepalanya.

"Masih dalam penyelidikan," jawab Max singkat.

Storm menutup mata sejenak, berusaha memanggil kembali ingatan pemilik tubuh ini. Potongan-potongan kenangan datang bergelombang, adik angkat yang cerdas dan licik duduk manis di samping orang tua, sering memojokkan dirinya, hinaan dan pukulan yang pernah menampar tubuh pemilik lama, wajah A Zhu yang selalu mengejar Lucien Fang, menawarkan diri demi mendapatkan perhatian sang jenderal.

Wajah Storm mendadak berubah gelap.

"Sialan," batinnya. "Selama hidupmu kau selalu ditindas, A Zhu nasibmu sangat malang. Sekarang aku hidup di tubuhmu, maka aku akan membalas dendam pada adik angkatmu. Dan aku akan memutuskan hubungan dengan Lucien Fang. Aku tidak mau menjadi janda di usia muda."

"Lucien Fang akan tewas. Saat di medan perang... hanya saja aku lupa di bulan dan tahun berapa. Dia akan meninggal pada usia tiga puluh dua tahun. Andaikan aku bisa mengubah sejarah… tidak mungkin. Kalau aku mengubahnya, sama saja aku melawan takdir," batin Storm sambil menatap kosong ke luar jendela gerbong.

Tiba-tiba, ia menoleh cepat ke arah Lucien.

"Jenderal, tahun ini usia Anda sudah berapa?" tanyanya tanpa ragu sedikit pun.

Lucien yang sedang memandangi jalan di depan perlahan menoleh. Tatapannya dingin, tajam, dan penuh wibawa.

"Lebih baik jaga dirimu sendiri daripada ikut campur urusan orang lain," ucapnya tegas dengan nada datar.

Storm memutar bola matanya malas.

"Hah, memang benar- benar sombongnya sama dengan drama yang aku tonton! gerutu Storm dalam hati, tapi sayangnya, suara batinnya keluar sedikit keras.

Lucien menatap gadis itu dengan tatapan tajam.

Storm yang menyadari tatapan pria itu, merasa merinding dan berpura-pura tidak tahu.

"Memang menakutkan seperti hantu, selama hidupku baru bertemu dengan orang seperti dia. Untung saja dia adalah pahlawan negara, kalau tidak aku pasti sudah mengabaikan dia," batin Storm.