Salsa bisa lihat malapetaka orang lain… dan ternyata, kemampuannya bikin negara ikut campur urusan cintanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Penyelamat
Setelah dua polisi pergi, Dono Sudrajat menatap Salsa dan Reyhan. “Salsa, Reyhan, terima kasih banyak, tapi tadi aku sudah panggil dokter kandungan baru untuk istriku, jadi aku minta maaf kalau aku harus ke ruang bersalin sekarang.”
Salsa cepat mengangguk. “Silakan, Pak. Saya bisa kembali ke kamar sendiri kok.”
Dono mengangguk dengan wajah sungguh-sungguh. “Kebaikan kalian berdua nggak akan saya lupakan seumur hidup.”
Ia pun beranjak pergi bersama asistennya, Riko.
Reyhan merapikan termos makan dan berkata, “Salsa, aku harus balik latihan nih. Aku antar kamu ke kamar dulu, ya? Kamu pasti udah capek banget.”
Salsa mengangguk pelan. Melihat Reyhan masih tenang seperti biasa, hatinya ikut tenang.
Tapi justru Reyhan yang memandangi wajah Salsa yang menuutnya tampak galau.
Ia menunduk sedikit, lalu menepuk lembut kepala gadis itu. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Sekarang istirahat, tidur siang yang nyenyak, biar cepet pulih.”
Liontin giok putih yang menggantung di leher Reyhan ikut bergoyang di depan mata Salsa.
Salsa tersenyum kecil. “Iya…” Entah kenapa hatinya hangat.
Begitu mereka keluar dari ruang istirahat dan hendak menuju kamar rawat, asisten Dono tiba-tiba datang menghadang.
“Maaf, Mbak Salsa,” ucap Riko sopan. “Bapak Dono sudah menyiapkan kamar VIP khusus untuk Anda. Kalau tidak keberatan, kami bantu pindahkan barang-barang Anda sekarang.”
Salsa melongo. “Hah? Cepet banget, baru beberapa menit lalu beliau pergi…”
Dalam hati ia bergumam, hasil tes DNA aja belum keluar, udah dibikinin kamar VIP?!
Tapi… ya, siapa sih yang nolak kamar VIP? Setidaknya bisa bebas dari ibu-ibu cerewet di ranjang sebelah!
“Baiklah, saya nggak keberatan,” katanya ceria. “Tolong pastikan sketchbook dan pena saya nggak ketinggalan, ya.”
Asisten itu tersenyum. “Mbak Salsa suka menggambar, ya?”
Salsa agak bingung tapi tetap mengangguk. “Iya, cuma buat kalau lagi iseng aja, biar nggak bosan.”
“Baik. Silakan ikut saya.”
Tak lama, Salsa dibawa ke lantai lima belas, ke kamar VIP baru yang katanya disiapkan khusus untuknya.
Begitu pintu kamar terbuka, matanya langsung membulat.
“Gila… ini kamar rumah sakit atau hotel bintang lima?”
Dari balik jendela besar dengan kaca panorama 270 derajat, pemandangan kota Jakarta terlihat jelas—gedung-gedung tinggi, lalu lintas ramai, semuanya seperti miniatur kota di bawah sana.
Tempat tidurnya otomatis dan empuk banget, bisa menyesuaikan postur tubuh. Di kepala ranjang ada layar sentuh buat ngatur suhu ruangan, kelembapan udara, sampai fitur pijat!
Di depan tempat tidur, tergantung layar proyektor superbesar. Di sudut ruangan ada mesin kopi otomatis yang pelan-pelan menyeduh espresso, sementara seorang perawat sedang mengisi kulkas kecil dengan jus segar dan buah potong.
Salsa menatap Reyhan dengan mata membulat. “Serius deh, ini rumah sakit, bukan resort, kan?”
Reyhan tertawa kecil, matanya melengkung. “Kata perawat, kamu tadi hampir dikira pasien psikiatri. Jadi anggap aja ini bonus.”
“Eh, jangan diingetin lagi dong!” protes Salsa malu-malu.
Reyhan hanya terkekeh.
Tak lama, perawat membawa tablet dan meletakkannya di meja samping. “Mbak Salsa, kalau nanti lapar atau haus, tinggal pesan lewat sini. Semua menu tersedia. Kalau tidak ada, kami punya layanan belanja—bisa seluruh kota, bahkan antarprovinsi atau antarnegara.”
“Semua biayanya sudah ditanggung pihak rumah sakit.”
Salsa sampai melongo. Wow. Rumah sakit ini jelas bukan kaleng-kaleng. Ia cepat-cepat mengangguk sopan. “Terima kasih banyak, Mbak!”
“Kalau tidak ada yang dibutuhkan, saya pamit dulu ya.”
Perawat menunjuk bel di dinding. “Kalau ada keperluan, tinggal pencet tombol ini.”
Begitu perawat pergi, Reyhan beres-beres tasnya. “Udah sore, aku harus balik latihan.” Ia tersenyum. “Nanti waktu kamu keluar, aku jemput, ya.”
Salsa tersenyum lebar. “Oke! Semangat latihan, Mas Atlet Nasional~”
Reyhan yang sedang memasukkan kacamata renangnya ke tas sempat tertawa kecil. “Penasaran ya, latihan kami kayak gimana?”
“Iya dong! Kamu nggak pernah cerita capek, padahal katanya latihan nasional berat banget.”
Reyhan sempat ingin bilang “kalau kamu udah sembuh nanti, aku ajak lihat basecamp timnas.”
Tapi baru membayangkan suasananya — semua cowok cuma pakai celana renang, otot di mana-mana — ia langsung berubah pikiran.
“Hmm… sebenarnya nggak menarik,” katanya cepat-cepat. “Cuma latihan monoton. Lagian, temen-temenku di tim itu bandel semua, kayak sekelompok anak monyet main air.”
Salsa menatap bingung. “Maksudnya?”
Reyhan nyengir. “Nanti aja deh, mending aku ajak kamu ke Ocean Park. Lihat ikan, lumba-lumba, lebih lucu dari temen-temenku.”
Salsa melongo. “Hah?!”
Dari pengen tahu dunia atlet, tiba-tiba jadi… ajakan kencan?
Dalam hati, Salsa menjerit. Dia pikir aku ngebet liat cowok bertelanjang dada apa?!
Reyhan sadar ucapannya kedengaran aneh, langsung panik. “Aku… eh… udah telat latihan! Bye!”
Ia kabur secepat kilat.
Salsa menatap punggung Reyhan yang pergi dengan muka merah. “Ya ampun, dia pasti ngira aku haus otot!”
Ia menutupi wajah dengan bantal, malu sendiri. “Sial, kenapa aku kepo banget sih tadi!”
Tak lama kemudian, dua pengawal mengetuk pintu.
“Mbak Salsa, ini barang-barang Anda sudah kami bawa.”
Mereka menaruh semua barang di meja, lalu salah satu menyerahkan kantong besar.
“Ini pesanan Pak Riko. Katanya untuk menggambar.”
Begitu dibuka, isinya lengkap: pensil dengan berbagai ukuran, cat air, kanvas, sampai kertas impor tebal yang harganya bikin mata melotot.
“Perlu kami bantu carikan guru menggambar untuk mengisi waktu, Mbak?” tanya si pengawal sambil membuka tablet lipat.
Di layar terpampang profil para pengajar dari berbagai studio ternama di Jakarta.
Salsa bengong. “Serius nih?!”
Ternyata tadi waktu Riko tanya “suka menggambar?”, itu bukan basa-basi!
Salsa akhirnya menunjuk satu guru wanita berwajah lembut dan kalem. “Yang ini aja.”
Malamnya, ia memesan makan malam lewat tablet.
Menu-nya? Foie gras, dan kaviar. Tapi setelah dua suap, dia meringis. “Hmm… ternyata lidahku tetap milih nasi padang.”
Setelah mandi, Salsa makin takjub. Kamar mandinya berlapis marmer, air pancurannya bisa diatur presisi sampai tekanan milimeter, dan bathtub-nya punya mode pijat otomatis!
Malam itu adalah malam ia tidur paling nyenyak selama hidupnya.
Keesokan paginya, perawat kepala datang membawa hasil pemeriksaan lengkap.
Secara umum tubuh Salsa sehat, tapi ada beberapa catatan: leher tegang, kurang gizi, dan posisi tidur yang buruk.
Menariknya, semua dokter dari masing-masing departemen datang langsung menjelaskan hasilnya dan menulis resep di tempat.
Belum lama setelah mereka pergi, pintu kamar diketuk lagi.
Dono muncul dengan tiga asistennya.
Ia tersenyum sopan, mengetuk pintu pelan.
“Mbak Salsa, boleh saya bicara sebentar?”
Salsa mendongak, agak bingung. “Oh—iya, tentu. Silakan masuk.”
Dono masuk diikuti oleh asistennya dan lalu duduk di kursi yang dibawakan oleh Asisten Riko. "Hasil tes DNA sudah keluar."
RS Nusantara memang punya laboratorium medis canggih. Apalagi, ini tes DNA untuk anak pemiliknya sendiri. Hasilnya keluar super cepat, hanya dalam delapan jam!
"Bayi perempuan yang dibawa Bu Widuri itu memang anakku!"
Dono, yang biasanya setenang es, terdengar begitu emosional, suaranya sedikit bergetar.
Ia masih merinding membayangkan apa yang bisa terjadi jika Salsa dan Reyhan Pratama tidak turun tangan. Grup Sudrajat mungkin sudah hancur berantakan sekarang.
Mendengar itu, Salsa menghela napas lega. Syukurlah, usahanya berakting dramatis kemarin tidak sia-sia.
"Bagaimana kondisi istri Anda, Pak?" tanyanya.
"Itu yang ingin kubicarakan. Dokter Dery sudah ditangkap."
"Selanjutnya, aku akan menyelidiki pengkhianat di dalam grup. Istriku juga harus menjalani perawatan lebih lanjut. Aku benar-benar tidak bisa membagi diri."
"Aku khawatir tidak bisa memberikan perhatian yang cukup padamu, sang penyelamat."
"Jadi, semalam aku meminta asistenku untuk menyiapkan kontrak."
Dono memberi isyarat pada Asisten Riko, yang langsung meletakkan sebuah dokumen di depan Salsa.
Salsa menatapnya dengan bingung. "Ini apa, Pak?"
Dono mengucapkan setiap kata dengan jelas. "Ini adalah kontrak jaminan kesehatan gratis seumur hidup."
Asisten Riko menambahkan, "Nona Salsa, Anda dan keluarga inti Anda akan mendapatkan fasilitas khusus jika berobat atau melakukan pemeriksaan kesehatan di RS Nusantara. Dijemput dengan mobil khusus, semua biaya pengobatan, pemeriksaan, dan obat-obatan akan ditanggung sepenuhnya."
Kata-kata itu bagaikan bom yang meledak di kepala Salsa.
Ini seperti asuransi kesehatan super lengkap!
Jaminan sosial yang selama ini ia impikan saat mencari kerja, langsung terpenuhi!
Biaya kesehatan memang jadi momok bagi banyak orang. Sakit bisa datang tiba-tiba, menguras habis tenaga dan tabungan. Banyak keluarga hancur karena tidak mampu membayar biaya pengobatan.
Keluarga Salsa memang tidak sampai mengalami kesulitan itu, tapi mereka punya masalah lain yang tak kalah pelik.
Bibir Salsa bergetar. Ia mencubit pahanya kuat-kuat, lalu bertanya lagi untuk memastikan. "Jadi, keluarga kami bisa berobat gratis di RS Nusantara seumur hidup?"
"Betul," jawab Dono sambil mengangkat bahu, bercanda. "Asalkan Grup Sudrajat kami tidak bangkrut."
RS Nusantara adalah bagian dari Grup Sudrajat, dan Dono Sudrajat adalah pemiliknya.
Salsa ragu-ragu. "Bagaimana dengan penyakit langka?"
Berbanding terbalik dengan Salsa yang penglihatannya super tajam, kakaknya, Surya, hampir buta total.
"Kakakku menderita retinitis pigmentosa, penyakit langka."
"Dia tidak bisa melihat di malam hari, dan hanya bisa merasakan pergerakan benda terang di siang hari."
Surya tidak melanjutkan sekolah setelah lulus dari sekolah luar biasa. Ia mulai bekerja di usia yang sangat muda. Ia sangat pengertian, dan sebagian besar uang kuliah Salsa berasal dari bantuannya.
Meski tidak bisa melihat, pendengaran Surya sangat baik. Ia tertarik pada musik sejak kecil, dan belajar piano dengan uang hasil jerih payahnya sendiri. Sekarang, ia bekerja sebagai teknisi piano.
Seandainya ia bisa melihat, Surya pasti bisa meraih lebih banyak hal.
Salsa teringat pada kakaknya yang semakin pendiam. Ia menghela napas. "Kata dokter, penglihatan kakakku akan terus memburuk seiring bertambahnya usia. Pada akhirnya, dia akan buta total."
Sebagai pemilik rumah sakit, Dono tentu tahu tentang retinitis pigmentosa. Ia menghela napas. "Penyakit ini memang belum bisa disembuhkan total. Terapi sel punca masih dalam tahap uji klinis."
"Tapi, aku tahu ada beberapa laboratorium di Indonesia yang sedang melakukan penelitian. Aku akan coba menghubungimu dengan mereka."
Kata-kata itu bagaikan secercah harapan bagi Salsa. Air mata haru hampir tumpah dari matanya. "Pak Dono, terima kasih banyak!"
Dono menggeleng. "Jangan bicara begitu. Seharusnya kami sekeluarga yang berterima kasih padamu."
Ia mengeluarkan sebuah amplop hitam dari sakunya dan menyerahkannya pada Salsa. "Di dalam kartu ini ada seratus juta rupiah, sebagai ucapan terima kasih dari Grup Sudrajat."
Apa? Setelah memberikan jaminan kesehatan gratis seumur hidup, mereka masih memberinya seratus juta?
Salsa menggelengkan kepalanya dengan panik. "Tidak perlu, Pak. Tidak perlu. Anda sudah membantu menghubungkan saya dengan laboratorium medis, itu sudah lebih dari cukup."
"Saya tidak enak menerima uang sebanyak ini."
Dono tersenyum. "Terimalah. Kalau tidak, orang lain akan menertawakan saya karena pelit. Masa' penyelamat tidak diberi apa-apa?"
"Tapi..."
Salsa belum selesai bicara, Dono melanjutkan, "Kamu pernah dengar cerita tentang peramal yang selalu meminta bayaran meski hanya sekeping koin?"
"Itu untuk menghindari karma bagi si penerima ramalan gratis, dan juga mencegah si peramal kehilangan keberuntungan karena terlalu sering menggunakan ilmunya."
Sebenarnya, Dono sangat penasaran, bagaimana Salsa bisa tahu nama putrinya, Neyra.
Namun, ia tidak ingin bertanya langsung, khawatir Salsa akan merasa curiga.
Sebagai seorang pengusaha, Dono percaya pada feng shui dan hal-hal mistis. Ia menduga Salsa memiliki kemampuan meramal, dan tidak boleh membocorkan rahasia langit.
Salsa tidak terlalu paham, tapi sepertinya ia mengerti bahwa Dono tidak akan tenang jika ia menolak pemberiannya.
"Anggap saja ini investasi untuk anak muda."
"Kamu baru lulus kuliah, butuh banyak uang. Uang itu penting untuk menghadapi risiko, jangan sampai kamu hidup susah."
"Saya yakin kamu bisa menghasilkan lebih dari seratus juta di masa depan."
Setelah mendengar semua itu, Salsa merasa tidak sopan jika menolak.
Ia menerima amplop yang disodorkan Dono.
Setelah Dono pergi, Salsa memegang kontrak dan amplop itu, merasa seperti sedang bermimpi.
Sebagai pasien yang mendapat perhatian khusus dari Pak Dono, dokter menyarankan Salsa untuk tinggal beberapa hari lagi di rumah sakit.
Jadi, saat Salsa keluar dari rumah sakit lima hari kemudian, pergelangan kakinya sudah tidak terlalu bengkak. Meski masih sedikit pincang, rasa sakitnya tidak separah saat pertama kali masuk.
Saat keluar, RS Nusantara menyediakan mobil khusus untuk mengantarnya pulang.
Salsa sudah mengirim pesan pada Reyhan sebelumnya, jadi Reyhan dan Coach Bima tidak perlu repot-repot menjemputnya.
Sejak menempati kamar VIP dengan fasilitas lengkap, Salsa dan Reyhan belum bertemu selama lima hari.
Mengingat kejadian saat Reyhan kabur waktu itu, Salsa merasa cemas setelah mengirim pesan.
Beberapa saat kemudian, ponsel Salsa bergetar.
Reyhan membalas pesannya: [Oke, hati-hati di jalan.]
Setelah itu, tidak ada pesan lain.
Sebelum membahas tentang latihan di pusat pelatihan, Reyhan biasanya mengirim pesan saat istirahat, menanyakan apakah Salsa sudah makan atau sedang menggambar apa.
Entah kenapa, Salsa merasa sedikit kehilangan.
Ketukan pintu dari pengawal membuyarkan lamunannya. "Mbak Salsa, mobilnya sudah di bawah. Mari kita berangkat."
hebaaaaaatt Salsa 👍👍👍
lanjutt thor💪
ganbatteee😍