NovelToon NovelToon
Merebutmu Kembali

Merebutmu Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Anak Genius / Romansa / Menikah Karena Anak / Lari Saat Hamil / Balas Dendam
Popularitas:756
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 Janji untuk Megan.

Kegelapan perlahan mundur, digantikan oleh kesadaran yang menyakitkan. Megan mencoba menggerakkan jari-jarinya. Berhasil. Sedikit. Rasa lumpuh mulai memudar, meninggalkan sensasi terbakar di otot-ototnya dan denyutan pusing di kepalanya. Ia masih terperangkap di ranjang sutra, tetapi ia kini melihat punggung Vega Xylos dengan lebih jelas, siluet yang memancarkan kekuasaan absolut.

Vega telah menyelesaikan panggilan teleponnya, badai ancaman yang ia kirimkan kepada Jose dan Wina. Ponsel satelit itu diletakkan di meja, dan Vega bangkit. Gerakannya lambat, disengaja, seperti predator yang tahu mangsanya tidak bisa lari. Ia berbalik, matanya yang obsidian menangkap mata Megan yang terbuka lebar.

“Selamat datang kembali, Megan,” sapa Vega, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, tetapi kelembutan itu hanya membuat kengeriannya semakin dalam. “Aku bilang aku akan menunggumu. Dan aku adalah pria yang menepati janji.”

Megan menelan ludah yang terasa seperti pasir. “Kau… kau tidak menyentuhku selagi aku lumpuh.”

Vega menyeringai, senyum kecil yang kejam. “Tentu saja tidak. Aku menginginkan pertarungan, bukan mayat yang dipukuli. Obatnya sudah memudar, tapi belum sepenuhnya hilang. Kau sadar, tetapi reaksimu lambat. Itu adalah kondisi yang sempurna. Kau akan mengingat setiap sentuhan, setiap detail, tetapi kau tidak akan bisa lari. Adil, bukan?”

Megan berusaha duduk, tetapi lengannya gemetar hebat. Ia gagal, hanya mampu menyandarkan kepalanya pada bantal.

“Kau iblis,” desis Megan.

“Iblis yang jujur,” koreksi Vega, melangkah mendekat. Udara di sekitarnya terasa tebal dan panas, kontras dengan kedinginan yang ia pancarkan. “Aku tidak menjanjikanmu cinta atau keselamatan palsu. Aku menjanjikanmu kebenaran. Kebenaran bahwa kau ditinggalkan, dan sekarang, kau diambil. Oleh seseorang yang jauh lebih berkuasa daripada siapapun yang pernah kau kenal.”

Ia berhenti tepat di tepi ranjang. Megan bisa mencium aroma kayu manis, kulit mahal, dan sesuatu yang gelap, seperti timah panas. Aroma yang kini akan selalu ia asosiasikan dengan bahaya.

“Aku tidak ingin dibeli,” Megan menolak, mengumpulkan sisa-sisa harga dirinya.

“Kau tidak dibeli. Kau diklaim,” kata Vega, nadanya berubah mutlak. Ia merentangkan tangan, menyentuh pipi Megan. Sentuhan itu bukan sentuhan kasih sayang; itu adalah pengukuran, penimbangan. “Kau berani. Itu langka. Dan keberanian itu, dikombinasikan dengan kepolosanmu, adalah racun yang membuatku tertarik.”

“Kenapa aku?” Megan bertanya, suaranya pecah. “Ada ratusan wanita di club ini, yang rela memberikan apa saja untuk berada di kamarmu.”

“Mereka rela. Mereka menginginkan uang, kekuasaan, atau perlindungan,” jelas Vega, matanya menusuk. “Kau menginginkan keadilan. Kau menginginkan pembalasan. Kau menatapku dengan kebencian, bukan dengan penyembahan. Itu jauh lebih menarik daripada nafsu murahan. Kau adalah api yang harus dipadamkan, atau digunakan untuk membakar.”

Tiba-tiba, mata Megan menangkap sesuatu. Kebencian pada Jose, rasa sakit karena pengkhianatan, dan rasa jijik terhadap dirinya sendiri karena kepolosannya, semuanya mendidih. Ia tahu, di balik dinding ketakutan, ada gairah yang dibangun oleh obat dan trauma.

“Dan apa yang kau rencanakan? Mempermainkanku?” tanya Megan, suaranya sedikit lebih stabil.

Vega tersenyum lagi. Kali ini, senyum itu mengandung lapisan kekaguman yang berbahaya. “Tidak ada permainan, Megan. Aku tidak bermain. Aku mengambil. Dan malam ini, aku mengambil dirimu.”

Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, tangannya membelai garis rahang Megan, memaksa Megan untuk mendongak. Megan tahu ia harus melawan, tetapi ototnya hanya mampu memberikan perlawanan yang lemah, membuat gerakan itu terasa seperti penyerahan diri yang lambat.

“Aku tidak bisa… Aku tidak mau…” Megan mencoba menolak, tetapi kata-katanya terdengar seperti bisikan di tengah badai.

“Tubuhmu menolak, tetapi matamu memberitahuku hal lain,” Vega berbisik, mendekat hingga bibir mereka hampir bersentuhan. “Kau membutuhkan ini, Megan. Kau perlu menghapus jejak Jose yang menjijikkan dari ingatanmu. Kau membutuhkan api yang nyata untuk membakar trauma itu. Biarkan aku memberimu api yang akan kau ingat selamanya.”

Ciumannya datang dengan kekuatan yang mengejutkan, bukan gairah yang tergesa-gesa, melainkan penaklukan yang terukur. Itu adalah klaim mutlak atas dirinya. Megan tersentak, tetapi ketakutan dan sisa-sisa obat di tubuhnya membuat perlawanannya sia-sia. Dalam kekacauan emosi, keputusasaan, dan pengaruh zat kimia, batas antara penyerahan dan perlawanan menjadi kabur.

Vega menguasai dirinya sepenuhnya, sentuhannya dingin dan terampil, tetapi intensitasnya membakar. Dia tidak mencari persetujuan, hanya kepatuhan yang dipaksakan. Ini bukan tentang cinta, ini tentang kekuasaan dan klaim. Megan, dalam kondisi terlemahnya, mendapati dirinya terseret ke dalam pusaran kekuasaan itu, sebuah pengalaman yang brutal namun anehnya membebaskan dari kepolosan masa lalunya.

Waktu menjadi tidak relevan. Ada kegelapan, ada rasa sakit, ada kekuatan yang tak terbendung, dan ada kesadaran yang tajam bahwa ia kini telah benar-benar melewati batas antara dunia normal dan dunia yang diperintah oleh pria di atasnya.

Tubuhnya bergerak dengan ritme yang teratur, seakan membimbing Megan untuk menikmati dan menyerah. Dalam keputusasaan yang berbaur dengan efek obat kimia yang masih ada, Megan membuka lebar kakinya dan memberikan akses bebas tanpa bisa di tahan. Dadanya membusung dan mengeras dengan efek yang sempurna. Membuat keduanya akhirnya memiliki ritme yang seimbang. Pekikan dan desahan tertahan dari Megan memacu gairah Vega dengan sempurna. Tanpa bisa dikendalikan dan dihentikan lagi. Sampai akhirnya setelah selang beberapa jam keduanya pun terlelap.

***

Saat Vega akhirnya menjauh, keheningan yang berat turun di suite mewah itu. Cahaya pagi belum menyentuh jendela, tetapi malam terasa sudah sangat larut. Megan terbaring lemas, air mata kering di pelipisnya, napasnya tersengal-sengal. Ia merasa hancur, tetapi anehnya, ia juga merasa kosong dari rasa sakit yang ditinggalkan Jose. Vega telah mengganti satu trauma dengan trauma yang jauh lebih besar dan kuat.

Vega bangkit, gerakannya cepat dan efisien. Ia merapikan kemejanya yang berantakan, mengenakan kembali zirah mahal itu seolah-olah momen yang baru saja terjadi hanyalah sebuah tugas yang harus diselesaikan.

Ia tidak menatap Megan. Dia berjalan ke meja bar, menuangkan air ke dalam gelas kristal, dan membawanya kembali ke ranjang. Ia meletakkannya di samping Megan.

“Minum ini. Akan membantu membersihkan sistemmu lebih cepat,” perintah Vega, nadanya kembali ke nada dingin dan transaksional seorang pemimpin, bukan seorang kekasih.

Megan menatap gelas itu, lalu menatap Vega. Matanya penuh dengan campuran kemarahan, ketakutan, dan rasa malu yang mendalam.

“Kenapa kau melakukan ini?” tanya Megan, suaranya bergetar. “Kau bilang kau tidak akan memaksaku.”

“Aku tidak memaksamu saat kau lumpuh,” jawab Vega, tanpa sedikitpun penyesalan. “Aku menunggumu mendapatkan kembali kesadaranmu. Dan begitu kau sadar, kau memilih. Kau tidak melarikan diri. Kau menantang. Dan tantangan harus dibayar.”

Ia menghela napas pendek, mengamati Megan seperti sepotong seni yang baru selesai ia ukir. “Kau adalah milikku sekarang, Megan. Kenangan akan malam ini akan mengikatmu. Kau adalah rahasia, dan rahasia terbaik disimpan di tempat yang paling aman—di bawah pengawasanku.”

Vega duduk di sisi ranjang, sentuhannya di pinggul Megan membuat Megan merinding. Ia mengamati tanda lahir kecil di bahu Megan, detail yang ia catat sebelum sentuhan mereka. Detail yang akan ia gunakan untuk mencarinya jika ia menghilang.

“Mulai sekarang, kau lupakan nama Jose. Lupakan Wina. Mereka sudah mati di dunia finansial. Dan kau, Megan, kau sudah mati bagi dunia lama. Kau lahir kembali di sini. Dalam kegelapan yang kukuasai.”

Megan menutup matanya. Ia tidak punya energi untuk melawan. Kata-kata Vega kejam, tetapi ia tahu itu adalah kebenaran. Ia tidak punya tempat untuk kembali. Jose dan Wina telah membakar jembatan itu.

“Kau harus tidur sekarang,” kata Vega. Ia menarik selimut menutupi Megan, gerakannya profesional, jauh dari keintiman yang baru saja mereka bagi.

Ia berdiri. “Aku harus pergi. Ada perang yang harus kuselesaikan sebelum fajar. Kau aman di sini. Kamar ini dijaga. Jika kau mencoba melarikan diri, Zeno akan menangkapmu sebelum kakimu menyentuh karpet. Tapi aku sudah memperingatkanmu. Jika kau keluar dari kamar ini, kau akan jatuh ke tangan musuh-musuhku. Dan mereka tidak akan selembut aku.”

“Kau tidak lembut sama sekali,” bisik Megan, air matanya akhirnya menetes lagi.

Vega tidak membantah. Ia hanya menatap Megan untuk sesaat, tatapan yang mengandung campuran kepuasan dan perhitungan. Ia telah mengklaim asetnya.

“Tepat sekali,” Vega setuju. “Aku adalah Xylos. Aku adalah kekuasaan. Dan sekarang, kau adalah bagian dari kekuasaan itu.”

Ia membalikkan badan, berjalan cepat ke lemari pakaian, dan mengambil jas hujan hitam panjang yang disampirkan di sana. Ia mengenakannya, seketika berubah dari pria berbahaya menjadi penguasa malam yang siap berperang.

Saat Vega mencapai pintu, ia berhenti, memegang gagang pintu.

“Tidur, Megan,” katanya, suaranya mutlak. “Aku akan kembali saat urusanku selesai. Jangan khawatir. Tidak peduli seberapa jauh aku pergi, aku akan kembali untuk mengklaimmu.”

Tepat ketika Megan menutup matanya, menyerah pada kelelahan yang mematikan, suara yang memekakkan telinga memenuhi udara. Bukan suara tembakan, tetapi alarm darurat yang menusuk, menggetarkan lantai dan dinding Suite 101.

**BEEEP—BEEEP—BEEEP!**

Wajah Vega yang tadinya tenang, menegang menjadi topeng besi. Ia mencabut pistol dari balik jasnya, gerakan yang cepat dan terlatih.

Pintu yang baru akan ia buka, terbuka paksa dari luar. Zeno, tangan kanan Vega, masuk dengan mata yang panik, sesuatu yang sangat langka.

“Tuan Xylos! Mereka datang lebih cepat dari yang kita duga! Mereka menyerang di tiga titik. Ini bukan sekadar penyerangan, ini invasi!” teriak Zeno, nadanya mendesak.

Vega Xylos mengangguk, matanya menyala. Insting tempurnya mengambil alih. Ia menoleh sekilas ke ranjang. Megan, yang baru saja melewati neraka pribadi, kini menyaksikan neraka yang sesungguhnya.

“Amankan semua jalur. Siapkan jet pribadi. Jangan sampai ada yang tahu kita ada di Jakarta,” perintah Vega, suaranya kini dingin seperti baja. Ia memasukkan pistolnya ke pinggang, mengambil senapan serbu tersembunyi dari balik sofa.

“Bagaimana dengan dia, Tuan?” Zeno bertanya, melirik Megan yang terbaring kaku karena terkejut.

Vega menatap Megan lagi, tatapan yang dingin dan menjanjikan, seolah ia sedang meninggalkan harta paling berharga di tengah medan perang.

“Dia tetap di sini. Tidak ada yang boleh menyentuhnya. Jika ada yang masuk ke ruangan ini, tembak di tempat. Aku akan kembali,” ujar Vega.

“Tapi Tuan, ini berbahaya. Kita harus membersihkan area ini segera!” desak Zeno.

Vega melangkah kembali ke ranjang, membungkuk. Ia menyentuh dahi Megan, sentuhan singkat yang mengirimkan gelombang listrik dingin.

“Kau mendengarku, Gadis Malam? Ini adalah perang. Aku pergi untuk memastikan kau aman dari musuh-musuhku. Jangan bergerak. Aku akan kembali. Aku tidak pernah meninggalkan apa yang sudah kuambil.”

Setelah mengatakan itu, Vega dan Zeno menghilang secepat kilat. Pintu tertutup dengan suara keras, meninggalkan Megan sendirian di kamar mewah, yang kini terasa seperti bunker yang akan segera dibombardir. Suara tembakan samar-samar mulai terdengar dari lantai bawah club, bercampur dengan sirene darurat yang memekakkan telinga. Ia telah diselamatkan dari Jose dan Wina, hanya untuk ditinggalkan sendirian di tengah medan perang bos mafia.

Megan menatap langit-langit, tangan besarnya terasa seperti besi dingin di perutnya. Ia memiliki feeling jika dial pasti akan hamil. Meskipun hanya beberapa jam yang lalu, instingnya mengatakan bahwa benih kekuasaan telah ditanam. Ia pasti akan mengandung pewaris bos mafia paling berbahaya di dunia. Air matanya semakin menganaksungai. Ada kilauan keputusasaan. Megan mengelus perutnya yang rata. Tapi jauh di bawah tepat di inti tubuhnya dua bisa merasakan benih kekuasaan itu mengalir kuat dan mendobrak kuat dinding miliknya. Dia bisa merasa hangatnya tidak hilang. Dan itu adalah sebuah tanda. Dari apa yang sangat tidak Megan inginkan dan duga selama ini.

Ia mencoba bangun lagi, didorong oleh alarm dan tembakan yang semakin dekat. Ia harus lari. Ia harus pergi.

Tetapi saat kakinya menyentuh lantai, kelelahan total menyerang. Ia terjatuh ke lututnya. Ia tahu, jika ia lari, ia akan menjadi target empuk. Jika ia tinggal, ia mungkin mati dalam baku tembak.

Ia merangkak kembali ke ranjang, meringkuk di bawah selimut tebal, tubuhnya gemetar. Hal terakhir yang ia ingat adalah janji dingin Vega: *Aku akan kembali*. Janji yang kini terdengar seperti sebuah kutukan yang tak terhindarkan bagi Megan....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!