“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03 ~ Tolong kasih tau caranya
“Meutia! Jangan!” Wahyuni yang terkejut langsung berteriak.
Terlambat, Meutia lebih dulu berhasil menarik lepas jarum infus yang menancap di punggung tangan kanan. Darah mulai menetes membasahi baju dan seprei, dia tak peduli. Satu keinginannya – menyusul sang suami yang entah dimana sekarang keberadaannya.
Nur Amala, kakak ipar Meutia – berlari keluar kamar memanggil dokter.
"Kenapa, Nur?” tanya suaminya yang menunggu di depan ruangan bersama Hasan, duduk di bangku besi.
“Tia, Bang. Tia menarik jarum infus!”
Agam Siddiq langsung masuk ke dalam ruangan, sementara sang adik ipar berlari mencari pertolongan. Dikarenakan panik luar biasa, mereka melupakan adanya tombol darurat di kamar rawat inap Meutia.
“Nak, Nyak mohon jangan seperti ini, Tia. Istighfar Nak, istighfar.” Dipeluknya erat tubuh sang putri yang masih berusaha memberontak seraya menangis hebat.
Sekuat tenaga Wahyuni memeluk adiknya dari belakang. "Tia, ingat kau sedang mengandung, Dek! Ada Intan dan juga Sabiya."
“Hiks hiks … macam mana nak sabar? Kasih tahu Tia caranya! Hati ini sakit, remuk redam. Hari telah menggelap – bang Ikram pasti ketakutan seorang diri di dalam hutan maupun tempat asing. Bisa jadi dia sangat-sangat membutuhkan pertolongan. Tia mohon biarkan diri ini menyusul!” Jemarinya memukul pelan punggung sang ibu.
“Mamak!” Sabiya yang terbangun dikarenakan terkejut, berlari lalu berjongkok memeluk kaki ibunya yang menggantung. "Jangan nangis kuat-kuat, Mak. Nanti batuk dan muntah macam Biya."
Intan duduk bersandar pada dinding tembok kamar, memeluk lutut menyembunyikan wajah pada lipatan kaki. Bahunya naik turun, tapi suara tangisnya tak terdengar. Dia menggigit bibir guna meredam isakan. ‘Ayah. Ayah … pulang, Yah!’
Agam membungkuk menggendong sang keponakan. Dielusnya kepala Intan, tangis gadis kecil itupun pecah.
“Ayah besar, ayah Intan tak pulang ke sisi Tuhan, ‘kan? Cuma pergi sebentar lalu nanti kembali lagi ‘kan?” Disembunyikannya wajahnya pada leher sang paman yang dia panggil Ayah besar.
“Kita berdoa ya Nak. Semoga ayah Ikram cepat balek berkumpul lagi dengan kita.” Punggung kurus itu ia tepuk-tepuk pelan.
Sabiya menjerit kala mau digendong oleh Amala. Perasaan gadis kecil yang sedari siang ditahan-tahannya lepas sudah, dia tak lagi bisa berpura-pura baik-baik saja saat ibunya histeris.
“Tak mau! Biya mau dekat Mamak! Kata Ayah, kalau Mamak tengah menangis harus dipeluk biar cepat reda. Biar Sabiya saja yang menangis, Mamak jangan!” Ia masih mempertahankan memeluk kaki ibunya yang terbalut kaos kaki.
Suasana kamar rawat inap pun kian pilu, suara tangisan Meutia dan kedua anaknya mengoyak hati sang ibu. Nyak Zainab tergugu, sebisa mungkin menyalurkan semangat meskipun tidak berarti apa-apa.
Dokter umum masuk dengan seorang perawat, meminta pengertian ibu hamil itu demi kesehatan dirinya dan juga sang janin.
Setelah diberi kata-kata harapan yang sebenarnya cuma hiburan. Meutia menjadi lebih tenang, mempercayai kalau suaminya masih hidup.
Beberapa menit kemudian, suasana tegang sekaligus penuh air mata tadi usai sudah. Sang ibu hamil terlihat terlelap setelah diberi obat penenang dosis aman. Pakaiannya pun sudah diganti. Sesekali suara sedu-sedannya terdengar menyakitkan hati.
“Bagaimana kita memberi pemahaman, Agam?” Nyak Zainab bertanya kepada anak sulungnya.
Agam memberikan kode melalui kedipan mata. Tak mungkin membahas hal sensitif disaat ada Sabiya dan juga Intan yang masih terjaga.
Kedua gadis kecil itu dihibur oleh para tante, yang khusus malam ini meninggalkan buah hati demi memberikan dukungan nyata kepada mereka.
Hasan masuk ke dalam kamar rawat, tangannya menjinjing rantang berisi menu makan malam masakan keluarganya dikampung, dan ada juga barang lainnya.
“Anak-anak bagaimana, Bang?” tanya istrinya.
“Aman. Dhien, Nirma dan juragan Byakta dapat mengatasi mereka. Ditambah Siron yang sudah besar, bisa diandalkan menjaga para sepupunya. Tadi, sewaktu Abang hendak bertolak ke sini – si kembar dan lainnya menitipkan ini!” Tas besar yang muat untuk barang 20 kilogram pun diletakkan pada lantai.
Intan dan Sabiya sama sekali tak berminat ingin melihat apa isinya. Biasanya mereka paling antusias bila para sepupu memberikan sesuatu.
Amala yang menggantikan keantusiasan para keponakannya. “Apa itu ya? Bunda tak sabarlah ingin mengetahuinya.”
Hasan membuka resleting, mengeluarkan isinya. “Astaga!”
Wahyuni terkikik, Amala terkekeh, dan Nyak Zainab mengulum senyum.
Seekor Landak babi diletakkan pada akuarium plastik berhasil mengejutkan Hasan. Ada Cicak dimasukkan toples yang sisinya dilubangi, tak ketinggalan mainan lebih manusiawi – boneka, gambar bongkar pasang milik Sabiya.
“Ada suratnya.” Amala membuka lipatan kertas dari koyakan lembaran buku tulis. “Oh untuk Intan, mau Bunda bacakan tak, Nak?”
Intan mengangguk pelan, sorot matanya tanpa binar cerah yang biasa selalu menghiasi netra indah. Sebelumnya dia langsung kesal bahkan mengamuk kalau ada yang berani mengganggu hewan peliharaannya.
“Hei kribo! Cepat pulang! Aku tak lagi sanggup mengurus para saudaramu ini, nanti tak lepas juga anak Monyet, dan bayi Kambing mau ku kurbankan untuk lebaran haji … dari Kamal Nugraha!”
Nur Amala memandang lekat wajah keponakannya, sedikitpun tak ada respon selain tatapan hampa. 'Nak, semoga semua ini cepat berlalu. Hati Bunda sakit melihat ekspresi tidak sesuai dengan umur mu itu!'
“Ada lagi dari Zain dan Zeeshan,” ia menyebutkan nama putra kembarnya. “Bunda bacakan ya, Nak?”
Lagi-lagi Intan mengangguk, enggan menatap fokus. Ia memandang ranjang dimana ibunya tengah terlelap.
“Adek cantek kesayangan abang kembar yang ganteng … tak perlu risau, mainan mu aman. Lanira, Hazeera, dan Nia … telah kami larang mengacak-acak nya! Cepat pulang ya Sabiya, kalau Intan biarkan saja dia! Daripada kami disuruh-suruh terus memandikan induk Kambing.”
Sabiya tersenyum tipis, tapi saat memandang wajah sembab ibunya – air matanya langsung terjatuh. Dia yang dipangku oleh tante Wahyuni, beranjak mendekati kakak kandungnya. “Biya mau dipeluk kak Intan, boleh?”
Intan berselonjor kaki meminta adiknya duduk dipangkuannya. “Sini!”
Sabiya duduk membelakangi sang kakak, memeluk erat punggung Intan. “Ayah pasti pulang kan ‘kak? Katanya cuma pergi empat hari, ini baru satu hari … kan masih ada tiga hari lagi. Lantas, mengapa Mamak nangis terus? Apa Ayah ingkar janji? Ayah baik-baik saja 'kan, Kak?”
.
.
Bersambung.