NovelToon NovelToon
Pria Dengan Rahasia... Dua Wajah!!!

Pria Dengan Rahasia... Dua Wajah!!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Permainan Kematian / Misteri / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Action / TKP
Popularitas:515
Nilai: 5
Nama Author: Dev_riel

Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dante Membantu Nadia

Hujan berhenti saat aku tiba di kantor. Matahari menerik, mengangkat uap aspal saat berjalan ke lobi, mengibas tanda pengenal, lalu naik ke atas.

Nadia sudah menunggu.

Dia kelihatan tidak senang pagi ini. Kalau di pikir-pikir, dia jarang kelihatan senang lagi. Masuk akal, karena sekarang dia polisi.

Kebanyakan polisi  tidak mampu menyikapi beban dengan baik. Keseringan bertugas dengan wajah disetel agar tidak mirip manusia, membuat muka cenderung kaku.

"Nad," Aku menyapa. Kertas bungkus putih berisi kue aku taruh di meja kerja.

"Kemana saja kamu semalam?" Tanyanya tanpa basa basi. Sudah aku duga. Aku prihatin membayangkan kerutan di Wajahnya itu menjadi permanen kelak.

Merusak wajah Nadia yang cantik, sepasang mata yang indah, hidung mancung, di bingkai rambut yang hitam kelam. Wajahnya begitu alami. Aku tatap dia dengan sayang. Jelas dia baru pulang dari lapangan.

"Tidak usah cemaskan aku. Kamu sendiri dari mana?" Aku balik bertanya.

Nadia tersipu. Dia tidak pernah suka pakai apa pun selain blus bersetrika rapi. "Aku telepon kamu berkali-kali."

"Maaf." Kataku.

"Ya. Tentu."

Aku duduk di kursi tanpa bicara lagi. Nadia suka curhat. Biasalah. Itu gunanya keluarga. "Mau bicarakan apa sebenarnya?"

"Aku tidak dilibatkan dalam kasus," Nadia membuka keluhan.

"Apa yang kamu harapkan? Kamu tau sendiri kan, rasa sentimen Sofia sama kamu."

"Aku pikir, bakal dilibatkan. Seperti kata Kapten." Ujarnya.

"Pertama, kamu tidak punya senioritas. Kedua, kamu tidak pintar bermain politik kantor." Kataku.

Kertas bungkus kue diremas jadi gulungan,  lalu ditempat ke mukaku. Sayang sekali lolos.

"Berengsek loe Bang. Kamu tau persis aku pantas masuk Bagian Pembunuhan. Ketimbang... omong kosong ini."

"Kamu seksi kok pakai itu," Aku mengangguk serius.

Wajah Nadia jadi tidak enak dilihat. Murka dan jijik berlomba memenuhi mukanya.

"Aku benci. Aku tidak kuat begini terus, aku bisa gila!" Desisnya.

Aku mendesah. "Meskipun begitu, Nad. Kalau aku bantu kamu, masih terlalu pagi buat aku untuk mengambil kesimpulan baru soal kasus."

Apa pun pendapat kamu soal tugas Kepolisian, akibatnya sangat merusak perbendaharaan kata Nadia. Dia menatap dingin. Tatapan keras khas polisi.

"Jangan bohongi aku, Dante. Yang sudah-sudah, biasanya kamu cuma melihat mayat sekilas, langsung tahu siapa pelakunya.  Aku tidak pernah tanya bagaimana bisa begitu,  tapi kalau memang punya firasat untuk satu ini, aku mau dengar," lalu menendang keras kaki mejaku sampai membekaskan penyok kecil. "Berengsek! Aku ingin keluar dari kostum sialan ini!"

"Betapa kami nantikan saat itu, Nadia. " muncul suara dalam penuh kepalsuan dari belakang Nadia di ambang pintu. Aku mendongak. Haruki Takahashi tersenyum.

"Memangnya kamu tahu harus bagaimana di posisi aku, hah?" Sungut Nadia.

Haruki tersenyum makin lebar---senyum ceria palsu ala buku. "Kenapa tidak kita coba saja sekarang... lepas baju?"

"Maumu, Haru." Balas Nadia, mencibirkan bibir yang tidak pernah aku lihat lagi sejak dia berumur dua belas tahun. Lalu Haru pergi meninggalkan kami.

"Oke. Jadi, apa yang kamu dapat sejauh ini?"

Nadia sungguh percaya aku bisa berfirasat kapan saja. Seperti dukun saja. Beralasan, sih. Biasanya tembakan cerdasku berkenaan dengan orang-orang brutal dan sinting yang hobi membantai gelandang tiap beberapa minggu hanya untuk iseng.

Beberapa kali Nadia menyaksikan sendiri aku menunjukkan dengan tepat pada sesuatu di penyelidikan yang orang lain tidak lihat.

Nadia tidak pernah berkomentar, tapi indra polisinya tidak bisa dikibuli, jadi terkadang dia curiga juga.

Meski belum bisa menebak apa, dia bisa merasakan ada yang tidak beres denganku. Hal itu membuat senewen. Terutama sekali karena dia sayang padaku.

Sesuatu di dalam diriku tetap rusak dan kosong. Cepat atau lambat seseorang akan menangkap basah saat aku beraksi.

Tidak ada apa pun atau siapa pun yang mencintai aku. Tidak sekarang atau nanti. Aku tau siapa dan apa diriku ini. Tidak punya apa pun untuk di cintai.

Sendirian mengarungi dunia. Sepi sendiri, kecuali buat Nadia.

Begitulah, aku berusaha sekuat mungkin untuk menyayangi Nadia. Adikku tersayang. Mungkin bukan cinta, tapi yang jelas aku ingin dia bahagia.

Dan sekarang dia duduk di sana, Nadia tersayang, dengan wajah tidak senang. Keluargaku, meski tidak sedarah. Menatapku dan tau harus berkata apa, tapi datang makin dekat di ambang kalimat yang tidak pernah terucap.

"Hmm, sebenarnya..."

"Nah! Benar kan! Kamu memang punya firasat!"

"Hei, jangan potong dulu dong. Aku lagi kerasukan alam gaib, nih."

"sudahlah, ayo bilang!" Desaknya tidak sabar.

"Kuncinya ada di potongan yang belum selesai itu, Nad. Kaki kiri."

"Kenapa memangnya?"

"Sofia pikir si pembunuh sempat ketahuan. Tertangkap basah. Akibat panik, lalu ujung menuntaskan pekerja."

Nadia mengangguk. "Dia menyuruh aku menanyai pelacur semalaman, kalau-kalau mereka lihat sesuatu. Pasti ada ya?"

"Aduh, jangan kamu juga. Pikir baik-baik, Nad. Kalau si pembunuh memang terinterupsi... terlalu kaget dan takut melanjutkan..."

"Bungkusan mayat!" Nad menyembur tiba-tiba. "Dia masih sempat membungkus... bahkan membersihkan mayat? Sial! Bahkan setelah terinterupsi?" Wajahnya masih kaget.

Aku bertepuk tangan dengan bangga. "Hebat,"

"Jadi mustahil, ya?"

"Justru sebaliknya, Nad. Kalau ternyata dia punya banyak waktu, tapi ritualnya tetap tidak tuntas... Dan ingat satu hal lagi bahwa ritual seorang pembunuh semacam ini adalah segalanya buat dia. Jadi, apa implikasinya?"

"Kenapa tidak bilang saja, Dante! Jangan bikin aku penasaran!" Dia membentak.

"Apa serunya kalau langsung aku bilang?"

Nadia mendesah napas panjang. Kesal. "Baik, Dan. Kalau dia tidak terinterupsi, tapi tetap juga menuntaskan ritual..." Dia tersentak menyadari sesuatu. "Maksud kamu, ritual membungkus lebih penting dari mencacah mayat?"

Aku mendesah capek. Bahkan kasihan. "Tidak, Nad. Bukan itu. Coba pikir, ya. Ini kan korban kelima, dan kondisinya selalu persis seperti yang lain. Empat kaki kiri di potong sempurna. Dan sekarang datang korban kelima..." Aku mengangkat bahu, mengangkat sebelah alis. Memancing lagi.

"Ah... sialan loe Bang. Mana aku tau? Mungkin dia cuma butuh empat kaki kiri. Mungkin... entahlah. Sumpah. Intinya apa?"

Aku tersenyum menggeleng. Malah sangat jelas bagiku.

"Ini berarti sensasinya sudah hilang, Nad. Gairah yang biasa didapat saat memutilasi sudah tidak didapat. Dia merasa ada yang tidak beres. Esensi magis yang membuat kegiatan itu sempurna sudah lenyap."

"Hah? Aku harus tau sampai begitu?"

"Harus ada yang berpikir begitu, kan? Pembunuh kita sedang mati gaya sekarang. Kalut mencari inspirasi yang tidak kunjung ketemu."

Nad mengernyit. "Ritualnya selesai. Apa dia bakal berhenti membunuh?"

"Ya ampun. Tidak, Nad! Justru sebaliknya. Kalau kamu jadi pendeta dan sungguh beriman pada Tuhan tapi tidak menemukan cara menyembah-Nya, apa yang kamu lakukan?"

"Mencoba terus, sampai menemukan cara yang benar." Mata Nadia melotot. "Demi Tuhan. Itu yang kamu pikirkan? Dia akan segera membunuh lagi?"

"Cuma firasat. Aku bisa saja salah." Meskipun aku yakin tidak akan salah.

"Kita harus menyiapkan cara menangkapnya saat dia beraksi lagi, bukannya memburu saksi yang tidak ada." Ujar Nadia berdiri menuju pintu. "Aku telepon lagi nanti. Dah!" Nadia pun pergi.

***

Banyak pekerjaan pagi ini. Tugas resmi polisi laboratorium.

Ada laporan panjang yang harus aku siapkan. Pekerjaan rutin dari kasus pembunuhan ganda yang mungkin tidak akan pernah masuk ruang pengadilan. Meskipun begitu, aku tetap ingin memastikan bahwa segala yang aku sentuh ditata dengan baik.

Lagi pula, kasus satu ini cukup menarik. Pola cipratan darahnya sulit di baca. Dimulai dari semburan arteri, korban yang lebih dari satu, sudah pasti pembunuhnya selalu bergerak dan pola potongan mutilasi yang aku yakin berasal dari gergaji listrik.

Semua ini nyaris membuat aku tidak mungkin menentukan lokasi benturan awal menjelang serangan saat si pembunuh menikam korban.

Dalam proses penyisiran cipratan, untuk mencakup seluruh ruangan TKP aku terpaksa menghabiskan dua botol luminol. Cairan khusus untuk mendeteksi keberadaan darah yang tidak terlihat oleh mata telanjang, bahkan sampai titik sekecil mungkin.

Aku memakai jaring benang untuk membantu memetakan simulasi sudut cipratan primer. Teknik ini sama kunonya dengan alkimia, tapi hasil pola cipratan yang didapat sangat jelas.

Darah memberkas terang dan liar di tembok, mebel, perabot, TV, handuk, seprei, gorden---sungguh pameran horor cipratan darah. Tidak mungkin tidak ada yang mendengar apa pun.

Bahkan di Shadowfall City. Dua orang di cincang hidup-hidup dengan gergaji listrik, di kamar hotel mahal dan elegan pula, para tetangga malah membesarkan suara TV.

Kembali ke kasus, potongan mayat sudah dingin saat polisi tiba di TKP. Menipiskan kemungkinan kami menangkap si pembunuh yang punya sepatu berlari buatan tangan berukuran tujuh setengah, tidak kidal, bertubuh gemuk, dengan peluk punggung telapak tangan sangat kuat.

Peduli amat. Yang penting sekarang aku telah menuntaskan tugas dengan rapi dan baik. Bukan urusanku menangkap penjahat. Untuk apa? Tidak.

Tugasku adalah menghadirkan keteraturan dari kekacauan. Memaksa agar noda darah berlaku semestinya, setelah itu di cuci bersih. Orang lain bebas memanfaatkan hasil kerjaku buat menangkap penjahat. Tidak masalah.

Kalau kelak aku sedemikian ceroboh untuk sampai tertangkap, mereka bakal bilang aku ini pembunuh sosiopat.

Iblis sakit dan sinting yang bahkan tidak pantas disebut manusia. Aku bakal dikirim ke penjara rumah sakit jiwa agar mati garing, lengkap dengan senyum puas sok suci tersungging di bibir si penangkap.

Tapi kalau pembunuh bersepatu ukuran tujuh setengah itu yang tertangkap, dia hanya akan disebut sebagai orang jahat yang khilaf karena tekanan sosial dan tidak mampu menahan diri.

Lantas masuk penjara sepuluh tahun sebelum dilepas lagi dengan cukup uang untuk membeli setelan dan gergaji listrik baru.

Makin lama aku bekerja, aku jadi makin mengerti beban Victor.

1
Yue Sid
Thor, jangan bikin kami tidak bisa tidur karena ingin tahu kelanjutannya 😂
Dev_riel: Besok kelanjutannya ya😄🙏
total 1 replies
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Cerita seru banget, gak bisa dijelasin!
Dev_riel: Makasih🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!