Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.
Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.
Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Pertemuan dengan Tokoh Utama Pria
Udara pagi di Desa Qinghe masih dipenuhi kabut tipis yang menggantung di atas sawah. Embun menempel di ujung daun padi, berkilau terkena cahaya matahari yang mulai menanjak. Suara ayam berkokok bersahut-sahutan dari halaman rumah warga, sementara di kejauhan terdengar bunyi peluit panjang dari kepala regu yang memberi tanda: kerja bakti dimulai.
Zhao Liyun berjalan agak lambat menuju lahan kolektif bersama kelompok perempuan lain. Tangannya menggenggam erat cangkul, meski sebenarnya ia tidak tahu benar bagaimana cara menggunakan alat itu dengan efisien. Beberapa hari terakhir, ia sudah belajar dasar-dasarnya dengan mengamati orang lain, tetapi jelas gerakannya masih kaku dibandingkan penduduk desa yang sejak kecil terbiasa dengan pekerjaan berat.
Hari ini berbeda dari biasanya. Kepala desa mengumumkan bahwa seluruh warga muda, baik laki-laki maupun perempuan, harus turun ke ladang untuk mencabut gulma dan memperbaiki saluran irigasi. Pekerjaan itu memakan waktu seharian, dan siapa pun yang ketahuan bermalas-malasan akan mendapat teguran keras.
Bagi Zhao Liyun, ini kesempatan sekaligus ujian. Di satu sisi, ia tidak ingin dicap pemalas. Di sisi lain, tubuhnya yang tidak terbiasa membuatnya cepat lelah. Ia harus berhati-hati, jangan sampai karena kelihatan tidak mampu, ia malah menimbulkan kecurigaan.
Di tengah hamparan sawah, orang-orang sudah mulai sibuk. Para lelaki berada di pinggir sungai kecil, mengangkat tanah dan memperlebar parit. Sementara para perempuan jongkok di petak sawah, mencabut gulma yang mengganggu padi.
Zhao Liyun mencoba mengikuti. Ia mengangkat cangkul, menancapkannya ke tanah. Tapi cangkul itu menancap terlalu dalam, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Seorang perempuan di sampingnya mendengus pelan.
“Aduh, jangan keras-keras begitu, Liyun. Kalau tanahnya padat, nanti susah diatur lagi,” katanya, menoleh dengan wajah sedikit kesal.
Zhao Liyun tersenyum kaku. “Iya, maaf. Aku… masih belajar.”
Perempuan itu tidak menjawab, hanya menggeleng dan melanjutkan pekerjaannya.
Zhao Liyun menarik napas dalam-dalam, mencoba meniru gerakan orang lain. Tangannya sudah mulai pegal hanya dalam beberapa menit. Ia tahu, tubuh ini lemah. Di dunia modern, ia biasa duduk berjam-jam di depan laptop, bukan menggarap sawah di bawah matahari. Tapi kalau ia menyerah, gosip akan segera menyebar apalagi ia sudah sering dianggap beban keluarga.
Sekitar satu jam kemudian, kepala regu bersuara lantang. “Hei, Chen Weiguo! Kau pimpin kelompok di sebelah sana, pastikan saluran air mengalir lancar. Jangan biarkan ada tanah yang menyumbat!”
Nama itu membuat Zhao Liyun tersentak. Chen Weiguo. Tokoh utama pria dalam novel. Lelaki yang dalam kisah aslinya digambarkan gagah, pekerja keras, penuh tanggung jawab. Lelaki yang akhirnya jatuh cinta pada Lin Xiaomei, sang tokoh utama wanita. Lelaki yang, secara tidak langsung, menjadi salah satu penyebab kematian tragis dirinya—Zhao Liyun si cannon fodder.
Zhao Liyun buru-buru menunduk, berharap tidak menarik perhatian. Namun suara langkah berat di tanah becek mendekat.
Chen Weiguo memang menonjol di antara para pemuda desa. Tubuhnya tinggi, tegap, dengan kulit legam karena sering bekerja di luar ruangan. Lengan dan bahunya kekar, tanda kerja keras sehari-hari. Wajahnya tidak bisa dibilang tampan sempurna, tapi ada ketegasan yang membuat orang hormat.
“Semua yang di sini, dengar baik-baik,” kata Chen Weiguo, berdiri tidak jauh dari Zhao Liyun. “Kalau ada yang bermalas-malasan, jangan harap pulang cepat. Kita harus selesaikan pekerjaan hari ini.”
Nada suaranya tegas, nyaris keras. Beberapa perempuan langsung mengangguk patuh, sebagian lain menunduk tanpa berani menatap.
Zhao Liyun berusaha fokus mencabut gulma. Tapi sialnya, ia malah terpeleset sedikit saat berdiri, cangkulnya jatuh dengan suara keras ke lumpur. Tanah becek terciprat ke rok birunya.
Chen Weiguo segera menoleh. Tatapannya tajam, alisnya berkerut. “Zhao Liyun, kan?”
Jantung Zhao Liyun berdegup kencang. “I-ya.”
“Kau sudah besar, masih saja ceroboh begitu? Kalau tidak bisa bekerja, jangan sampai mengganggu orang lain,” katanya tanpa basa-basi.
Beberapa orang di sekitar menahan tawa, sebagian lain saling berbisik. Wajah Zhao Liyun memanas. Ia tahu Chen Weiguo bukan bermaksud jahat—dia hanya pemimpin yang disiplin. Tapi tetap saja, malu sekali ditegur di depan orang banyak.
“Aku bisa bekerja,” jawab Zhao Liyun lirih, mencoba menahan diri.
Chen Weiguo menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan. “Kalau begitu, buktikan. Jangan buang waktu.”
Zhao Liyun mengangguk cepat. Ia membungkuk lagi, mencabut gulma dengan gerakan lebih hati-hati. Hatinya berdesir aneh: ini pertama kalinya ia benar-benar berinteraksi dengan Chen Weiguo, tokoh yang sebelumnya hanya ada di dalam buku.
Tak lama kemudian, terdengar suara riang dari arah lain. “Liyun! Kau di sini juga rupanya.”
Zhao Liyun menoleh. Seorang gadis muda dengan wajah cantik dan senyum manis berlari kecil mendekat. Pakaiannya sederhana—baju katun pudar dan celana abu-abu—tetapi auranya seolah berbeda. Matanya jernih, kulitnya lebih halus dibanding gadis desa kebanyakan. Dialah Lin Xiaomei, tokoh utama wanita.
“Xiaomei…” Zhao Liyun berusaha tersenyum. Dalam hati, ia sedikit tegang. Setiap kali melihat Lin Xiaomei, ia merasa sedang menatap cahaya matahari—hangat sekaligus menyilaukan. Semua orang di desa menyukai gadis ini, dan tak heran Chen Weiguo akhirnya jatuh hati padanya.
Lin Xiaomei jongkok di samping Zhao Liyun, ikut mencabut gulma. “Kalau kau kesulitan, bilang saja. Jangan dipaksakan, nanti sakit.” Suaranya lembut, tulus, tanpa nada mengejek.
Zhao Liyun agak terkejut. Dalam novel, Lin Xiaomei memang digambarkan baik hati. Tapi merasakannya langsung begini—rasanya campur aduk.
“Aku baik-baik saja,” jawab Zhao Liyun pelan.
Namun Lin Xiaomei tetap mengawasinya, sesekali membantu mencabut gulma yang sulit. Beberapa orang mulai memperhatikan mereka. Chen Weiguo pun melirik ke arah itu, melihat Lin Xiaomei yang dengan sabar menemani Zhao Liyun. Tatapan keras di matanya melembut sedikit.
Seiring waktu, gosip kecil mulai beredar di sela kerja.
“Lihat, Xiaomei selalu ramah. Tidak heran banyak yang menyukainya.”
“Ya, kalau dibandingkan dengan Zhao Liyun… jelas berbeda jauh.”
Zhao Liyun pura-pura tidak mendengar. Dia benar-benar dengan orang-orang yang pandai berucap tapi tidak tahu aslinya. Dan tokoh utama perempuan jika benar-benar peduli padanya dia harusnya menyangkal omongan warga desa, bukan diam saja.
Dia benar-benar muak.
Karena hal itu dia lampiaskan kekesalannya pada pekerjaan.
Siang hari, pekerjaan semakin berat. Panas matahari menyengat, peluh mengalir deras di pelipis. Beberapa orang mulai melambat, tapi Chen Weiguo terus memberi semangat.
“Kita istirahat sebentar!” serunya.
Orang-orang bersorak kecil, lega bisa melepas penat. Mereka duduk di pematang sawah, membuka bekal masing-masing.
Zhao Liyun mengeluarkan roti kukus kecil yang ia buat sendiri. Rasanya sederhana, tapi lebih empuk dibanding jatah biasa. Ia hendak menggigit ketika mendengar suara lirih di sampingnya.
“Kue kukusmu… terlihat enak,” kata Lin Xiaomei sambil tersenyum malu.
“Oh, ini…” Zhao Liyun sedikit bingung. “Kalau mau, cobalah.” Ia mematahkan sedikit dan memberikannya.
Lin Xiaomei menerimanya dengan senang hati. “Wah, enak sekali! Lembut… bagaimana kau membuatnya?”
Beberapa orang lain ikut melirik. Bahkan Chen Weiguo yang duduk agak jauh memperhatikan.
Zhao Liyun cepat-cepat menunduk. “Ah, cuma… kebetulan saja.” Ia tidak bisa menjelaskan bahwa itu hasil pengetahuannya dari dunia modern.
Lin Xiaomei memandangnya kagum. “Liyun, kau sebenarnya pintar sekali. Aku harap kita bisa sering bekerja bersama.”
Kata-kata itu membuat Chen Weiguo semakin memperhatikan. Dalam benaknya, kesan tentang Zhao Liyun sedikit berubah—tidak hanya pemalas ceroboh, tapi ternyata punya kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Namun jelas, tatapannya lebih lembut saat mengarah ke Lin Xiaomei.
Sore hari, pekerjaan selesai. Orang-orang pulang dengan tubuh lelah. Chen Weiguo memberi instruksi terakhir sebelum membubarkan kelompok.
“Besok kita lanjutkan lagi. Jangan sampai ada yang absen.”
Tatapannya sekilas jatuh pada Zhao Liyun. Kali ini tidak terlalu keras, hanya singkat. Tapi cukup membuat jantungnya berdebar lagi.
Saat berjalan pulang, Lin Xiaomei meraih tangan Zhao Liyun. “Hari ini kau bekerja keras. Jangan putus asa, ya.”
Zhao Liyun menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, Xiaomei.”
Dalam hatinya, Zhao Liyun tahu: roda cerita sedang bergerak. Pertemuannya dengan Chen Weiguo dan Lin Xiaomei baru permulaan. Tapi peran apa yang akan ia mainkan kali ini? Apakah tetap menjadi pengganggu cinta mereka? Atau ia bisa memilih jalannya sendiri?
Langkahnya terasa berat, namun juga penuh tekad baru.