PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.
Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
Vergil mengayunkan pedangnya dengan kekuatan yang mematikan, keringat membasahi dahi dan membasahi kemejanya, ia tidak menyadari ada seseorang yang sedang mengawasinya. Tiba-tiba, sebuah pedang menghantam pedangnya dan menciptakan suara nyaring yang memekakkan telinga. Vergil mendongok, matanya yang tajam menyipit saat menatap sosok di depannya. Pria itu menangkis serangannya, senyum arogan terukir di bibirnya.
"Tumbuh dewasa, Vergil," pangeran itu mencemooh, "Tarian pedangmu tidak ada apa-apanya di hadapanku." Arthur, yang wajahnya masih sama seperti saat terakhir kali mereka bertemu, dengan pongah mengayunkan pedangnya lagi, membuat Vergil mundur beberapa langkah. "Aku dengar kau berhasil menjebak Felix, itu tidak buruk."
Vergil memutar pedangnya, menangkis serangan berikutnya dengan mudah, "Apa yang kau inginkan, Arthur?" suaranya rendah dan dingin. "Jika kau datang hanya untuk menggangguku, pergilah. Aku sedang tidak punya waktu untuk lelucon."
Arthur tertawa terbahak-bahak, "Ayolah, Vergil, bukankah kau senang melihatku? Aku datang untuk mengagumi pedangmu, tapi aku tidak menyangka akan menemukanmu sedang berlatih seperti seorang pemula." Matanya yang licik menyapu ke arah Vergil, ia memiringkan kepalanya sedikit. "Ngomong-ngomong, Vergil, aku juga dengar kau melindungi Fiona, wanita yang mengkhianati Felix. Itu tidak seperti dirimu. Kau tidak jatuh cinta padanya, kan?"
"Tentu saja tidak," Vergil mendesis, ekspresi dinginnya menutupi emosi yang bergejolak di dalam dirinya. "Aku hanya menggunakannya."
"Kalau begitu, bagus," Arthur menyeringai, ia menurunkan pedangnya, "Aku tidak keberatan jika kau menghabisi Felix sendirian, itu akan membuatnya menjadi kurang menarik. Tapi aku penasaran, apakah kau berencana untuk melenyapkan Fiona juga setelah kau selesai dengannya?"
"Itu bukan urusanmu, Arthur," Vergil menatap tajam, lalu berbalik dan berjalan menjauh dari lapangan latihan. Ia meninggalkan Arthur yang masih berdiri di sana dengan senyum kemenangan. "Hei, Vergil, aku datang bukan untuk bertarung, aku hanya ingin memberimu peringatan. Jangan terlalu terobsesi dengannya, kau tidak tahu apa-apa tentang dia!" teriak Arthur. Namun Vergil tidak berbalik, ia terus berjalan.
Saat Vergil berjalan menjauh, ia mendengar suara langkah kaki cepat di belakangnya. "Yang Mulia!" sebuah suara panik memanggil. Vergil berhenti dan berbalik, mendapati seorang pelayan berlutut dengan napas terengah-engah. Pelayan itu tidak berani menatapnya. "Ada apa?" tanya Vergil dengan tidak sabar, matanya yang dingin menakutkan.
"Maafkan saya, Yang Mulia," ucap pelayan itu sambil gemetar, "Raja memanggil Anda dan Pangeran Arthur ke ruang pertemuan sekarang juga."
Arthur yang tadinya berdiri jauh, berjalan mendekat dan menatap pelayan itu dengan wajah bingung, "Sekarang juga? Ada apa?"
"Saya tidak tahu, Yang Mulia," jawab pelayan itu, "tapi Raja mengatakan ini adalah masalah yang mendesak."
Arthur menoleh ke arah Vergil dan menyeringai. "Nah, sepertinya kita akan memiliki waktu luang untuk bertarung nanti. Ayo kita pergi, Vergil. Raja tidak suka menunggu," ucapnya dengan nada mengejek.
Vergil tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengangguk, lalu berbalik dan berjalan menuju istana tanpa menunggu Arthur. Arthur, yang sudah terbiasa dengan sikap dingin kakaknya, hanya menggelengkan kepalanya dan mengikuti Vergil di belakangnya, tetapi ia terlihat gelisah.
Di ruang pertemuan yang luas, Raja Alex duduk di singgasananya, tatapannya yang kejam tertuju pada Vergil dan Arthur yang baru saja memasuki ruangan. Tanpa basa-basi, Raja Alex mengangkat tangannya, mengabaikan formalitas. "Para pemberontak di wilayah barat semakin kuat," suaranya menggelegar, "mereka tidak hanya menyerang desa-desa, tetapi mereka juga berani mendekati kota."
Arthur maju selangkah, "Saya akan memimpin pasukan dan membasmi mereka semua, Ayah." ia berkata dengan percaya diri, wajahnya penuh tekad.
"Tidak perlu," potong Raja Alex dengan senyum sinis. "Ini bukan hanya masalah militer, Arthur. Pemberontak ini didukung oleh para bangsawan yang tidak puas dengan kebijakanku. Vergil, aku menugaskanmu untuk memimpin pasukan gabungan, kau akan mengendalikan pasukanmu dan juga pasukan Arthur, basmi mereka sampai ke akar-akarnya."
Vergil maju dan memberi hormat. "Saya akan menunaikan perintah Anda, Ayah," jawabnya dengan suara datar.
Raja Alex mengalihkan tatapannya dari Vergil ke Arthur. "Arthur, kau akan mengikuti semua perintah Vergil. Aku ingin kalian berdua bekerja sama. Aku tidak akan menerima kegagalan."
Arthur terkejut, ekspresinya berubah, rahangnya mengeras dan ia menatap Vergil dengan tatapan penuh kebencian. Vergil, di sisi lain, tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia tahu ini adalah permainan Raja. Misi ini bukan hanya tentang membasmi pemberontak, tetapi juga tentang melihat mereka saling bertarung.
Di dalam hati mereka, tawa sinis bergema. Vergil tahu ini adalah kesempatan sempurna untuk melenyapkan Arthur. Sementara itu, Arthur menyeringai. Ia yakin ini adalah kesempatan sempurna untuk membuktikan bahwa ia lebih kuat dan lebih layak dari Vergil. Ini akan menjadi pertarungan antara Vergil dan Arthur, yang akan menentukan siapa yang layak menduduki takhta.
Setelah pertemuan selesai, Vergil tidak membuang waktu. Ia kembali ke kamarnya, mengenakan baju zirah, lalu mengambil pedang andalannya. "Sialan," ia bergumam, "aku tidak akan kalah dari Arthur." Ia berencana untuk singgah di kamar Fiona, wanita itu memiliki otak licik yang bisa membantunya. Lagipula, dia adalah satu-satunya yang tidak akan mengkhianatinya. Vergil berjalan cepat ke kamar Fiona, membuka pintu dengan keras, dan melihat Fiona berdiri dengan tegak, tangannya menepuk-nepuk lututnya yang tadinya kaku.
Vergil terdiam, matanya melebar tak percaya. Wajahnya yang tadinya tenang, kini dipenuhi amarah. "Sialan," ia mendesis, "Kau menipuku!"
Fiona terlonjak kaget dan menatap Vergil dengan mata membulat. Seringai sinis muncul di wajahnya. "Apa yang kau bicarakan, Vergil?" ia bertanya dengan nada polos.
Vergil melangkah maju, sorot matanya yang dingin mematikan. "Jangan bermain-main denganku, Fiona. Aku melihatnya. Kau bisa berjalan. Aku menggendongmu, membuang-buang waktu di kamarmu, padahal kau baik-baik saja." ia berbicara dengan nada marah, suaranya menggelegar di seluruh ruangan.
Fiona tertawa kecil, "Apa kau menyimpulkannya sendiri? Aku tidak pernah mengatakan kalau aku terluka, kau sendiri yang menyimpulkan seperti itu, Vergil," ia berkata dengan nada mengejek.
Amarah Vergil memuncak. "Kemari kau!" ia menggeram, "Akan kuberi kau hukuman."
Fiona mengangkat tangannya sebagai isyarat menyerah, tawa kecilnya masih terdengar. "Baiklah, baiklah, Vergil," katanya dengan suara lembut yang dibuat-buat, "Aku minta maaf. Aku hanya... uhm... menghibur diriku sendiri." Senyum jahil terlukis di wajahnya, menunjukkan bahwa ia tidak merasa menyesal sama sekali.
Vergil menyilangkan lengannya, ekspresinya masih suram. "Cih. Tentu saja. Aku tahu kau licik, tapi aku tidak menyangka kau akan menipuku dengan cara seperti ini."
"Jadi, ada apa?" tanya Fiona, mengabaikan kecaman Vergil dan berjalan mendekat. Matanya meneliti baju zirah yang dipakai Vergil, dan ia menyadari pedang di pinggang Vergil bukanlah pedang yang biasa digunakan untuk latihan. "Kau memakai zirah. Sepertinya ada misi penting yang diberikan Raja," ia menyimpulkan.
Vergil menyeringai, senyum mengerikan dan kejam terukir di wajahnya. "Tadinya aku ingin menjengukmu dulu sebelum pergi, tapi karena kau sudah sembuh," ia berhenti sejenak, tatapannya menyala dengan kilau berbahaya, "Ayo pergi bersamaku. Ini hukumanmu."