Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7- MASKER - Naomi ( POV )
Pasangan Tuan Ronald dan Mariam Van Giels, mengangkat Arimbi sebagai anak asuhnya. Ini adalah hal terbaik dan terindah dalam hidup Arimbi, dan anak itu tidak mengingkari janjinya padaku. Aku masih ingat dulu ia pernah berkata, ‘Harapanku adalah jikalau ada sebuah keluarga yang mengangkatku menjadi anaknya, kuingin kau menemaniku juga. Sebab, hampir semua anak di panti ini menyukaiku kecuali kau Naomi. Kau kuanggap sebagai saudaraku di dunia ini,’
Aku bersyukur karena ada Arimbi di sampingku, kemanapun dia pergi, aku senantiasa bersamanya. Aku tahu bahwa Arimbi memiliki kemampuan yang sulit diterima oleh nalar manusia apalagi untuk anak – anak seusia kami. Sayangnya, saat kami berumur 6 tahun, aku harus berpisah dengannya. Hal itu karena aku telah bertemu dengan orang tua kandungku. Mereka berasal dari Daerah Istimewa Jogjakarta. Semula aku menolak untuk mengikuti orang tua kandungku, karena, menurutku telah menelantarkanku, mereka merusak kebahagiaanku. Parahnya, tidak bisa menerima Arimbi yang memiliki kemampuan yang menurut mereka TIDAK LAZIM.
‘Sekalipun kau jauh, kita masih bisa berhubungan lewat surat atau telepon, Naomi,’ hibur Arimbi. Kata – kata Arimbi tersebut seakan bagiku merupakan pernyataan perpisahan dan memang, sekalipun ia berkata demikian aku sampai sekarang tidak lagi mendengar kabar tentang Arimbi. Untuk pertama kalinya ia ingkar janji dan aku tidak bisa menerimanya. Sejak saat itulah aku tidak pernah lagi memikirkannya. Yah, hatiku terluka, aku jadi membencinya. Rasa sayangku padanya seakan hilang ditelan rasa benci.
Hingga pada suatu hari, aku mendengar percakapan Ayah – Ibu. Dalam percakapan itu nama Arimbi disebut – sebut.
‘Mas, tadi ada surat untuk Naomi anak kita. Surat itu berasal dari Arimbi. Entah sudah berapa kali anak itu mengirim surat untuk Naomi. Apa yang sebaiknya kita lakukan, mas. Kasihan juga, ya melihat hubungan mereka yang bagaikan kakak adik,’ kata ibu.
‘Tetap saja seperti dulu. Jangan sampai anak kita berhubungan dengan bocah yang bernama Arimbi itu. Semua demi kebaikan Naomi,’
‘Tapi, mas ... apa kau tak kasihan dengan Naomi yang berulang kali bertanya tentang Arimbi. Aku jadi tidak tega,’
‘Jangan kau debat lagi. Keputusanku sudah bulat, aku tak ingin anakku berhubungan dengan orang – orang aneh. Terlebih Arimbi,’
‘Kalau boleh tahu, apa alasan mas hingga berniat memisahkan anak itu dengan Arimbi ? Masa setiap hari mengurung diri di dalam kamar dan acuh tak acuh terhadap teman – temannya. Itu tidak baik untuk masa depannya,’
‘Aku punya alasan tersendiri. Kau tidak perlu ikut campur. Yang jelas aku tidak ingin dia berhubungan lagi dengan Arimbi. Paham ?!’
Deg. Jantungku serasa berhenti berdetak mendengar percakapan mereka. Ternyata, Arimbi sudah berulang kali mengirimiku surat juga meneleponku, tapi, surat itu tidak pernah sampai di tanganku dan kini aku tahu sebabnya. Bukan Arimbi yang ingkar janji tapi, ada dalang yang menyebabkan ini terjadi.
Orang tuaku. Merekalah penyebab semuanya ini, dan aku sama sekali tidak diperbolehkan keluar selain ditemani oleh sopir atau sanak familiku. Aku tak tahu apa yang menyebabkan Ayah begitu membenci Arimbi ? Dan, aku harus mencari alasannya, dan aku merasa bersalah karena berpikir negatif tentang Arimbi. Yah, aku harus menyelidikinya.
Tak heran ... mengapa orang tuaku selalu memantau kemanapun aku pergi, mencari tahu dengan siapa aku berteman, berbicara. Jika tahu berhubungan dengan Arimbi, mereka melarangku dengan keras. Telepon pun dibatasi bahkan dijaga. Aku bagaikan seorang tawanan yang sedang menjalani masa – masa hukuman di penjara dan menunggu eksekusi mati. Tanpa sadar mereka telah mendirikan benteng – benteng kokoh di sekelilingku dan menggencet kebebasanku. Aku adalah orang yang suka kebebasan, tak ingin dikekang. Untuk apa aku hidup dalam rumah mewah dengan segala macam kebutuhan yang dibutuhkan, sementara, jiwaku serasa hampa.
Sejak saat itu, aku mencari cara untuk keluar dari rumah dan pergi dari sana. Aku ingin bertemu dengan Arimbi, mencari jati diriku, mengembangkan kepribadianku dan aku tak ingin hidup di bawah tekanan orang tuaku. Aku tahu bagaimana perasaan Arimbi kini ... yah, mungkin sama denganku. Maafkan aku Arimbi, tapi jangan khawatir aku akan mencari jalan keluar untuk memperbaiki hubungan kita. Sekalipun kita terpisah begitu jauh jarak dan waktu, tapi, aku yakin kita pasti bisa bertemu kembali. Dan benteng agung dan kokoh ini akan kuhancurkan bagaimana pun caranya. AKU INGIN BEBAS.
Untuk itu aku mencoba bersikap manis di hadapan orang tua berharap kelak bisa mencapai tujuanku. Aku menciptakan karakter yang berbeda dengan Naomi yang dikenal dulu. Aku merubah diriku menjadi seorang anak yang manja, sombong, acuh tak acuh, menebar gosip sembarangan, mungkin juga jahat. Walau sebenarnya aku kurang cocok dengan karakter tersebut. Tapi, demi untuk mencapai tujuanku aku rela melakukan itu. Semuanya demi untuk bertemu dengan Arimbi. Aku menyembunyikan karakter asliku sekian lama dan memang, banyak yang tak menyukaiku dengan karakter tersebut.
Saat aku berumur 13 tahun, aku mendengar Keluarga Van Giels mengalami kecelakaan. Ronald Van Giels dan Keluarganya tewas dalam kecelakaan tersebut. Ayah tertawa, aku menangis sejadi – jadinya. Tak kudengar lagi nama Arimbi, menghilang begitu saja dan kemungkinan juga tewas dalam kecelakaan tersebut. Sia – sia saja harapanku untuk bertemu kembali dengan Arimbi, aku jadi patah semangat, pemurung dan senantiasa mengurung diri di dalam kamar tak ingin bertemu dengan siapapun juga. Aku menyesal, menyesal karena telah mengikuti keinginan orang tuaku, menyesal karena mengabaikan apa yang pernah aku dan Arimbi cita – citakan bersama. SAUDARA ANGKAT. Sebagian diriku hilang bersamaan dengan berita kecelakaan tersebut.
***