Di balik megahnya pusat kekuasaan, selalu ada intrik, pengkhianatan, dan darah yang tertumpah.
Kuroh, putra dari seorang pemimpin besar, bukanlah anak yang dibuang—melainkan anak yang sengaja disembunyikan jauh dari hiruk-pikuk politik, ditempatkan di sebuah kota kecil agar terhindar dari tangan kotor mereka yang haus akan kekuasaan.
Namun, takdir tidak bisa selamanya ditahan.
Kuroh mewarisi imajinasi tak terbatas, sebuah kekuatan langka yang mampu membentuk realita dan melampaui batas wajar manusia. Tapi di balik anugerah itu, tersimpan juga kutukan: bayangan dirinya sendiri yang menjadi ujian pertama, menggugat apakah ia layak menanggung warisan besar sang ayah.
Bersama sahabatnya Shi dan mentor misterius bernama Leo, Kuroh melangkah ke jalan yang penuh cobaan. Ia bukan hanya harus menguasai kekuatannya, tetapi juga menemukan kebenaran tentang siapa dirinya, mengapa ia disembunyikan, dan apa arti sebenarnya dari “takdir seorang pemimpin”.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ell fizz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kontrol kekuatan mu!!
Pagi itu, Zithra terbangun dengan cara yang sama seperti ribuan tahun sebelumnya—angin dingin yang menari di udara, kabut tipis yang turun dari pegunungan, dan cahaya matahari pucat yang berjuang menembus awan kelabu. Dari menara kristal yang menjulang, istana Zithra memantulkan cahaya keperakan yang menusuk mata, membuatnya tampak seperti mahkota es yang berdiri di atas dunia.
Kuroh berdiri di balkon kamarnya, tubuhnya dibalut mantel tipis pemberian Ziodes. Wajahnya masih terlihat lelah, matanya sayu, tetapi ada sesuatu di sorotannya—sebuah tekad yang lahir dari kebingungan. Ia merasakan dingin menusuk tulang, namun bukan itu yang membuatnya sulit bernapas. Ada sesuatu di dalam dadanya… sebuah denyutan samar, berirama tidak normal, seakan ada jantung kedua yang mencoba bangkit dari tidur panjang.
Tangannya gemetar saat ia menatap telapak tangan kosongnya. Semalam, Ziodes menuturkan kisah tentang Nozar, pemimpin pusat yang dijuluki Raja tanpa Pilar. Nama itu terus menggema dalam pikirannya, berkelindan dengan nama ayah yang tak pernah ia kenal. Kurosaki. Setiap kali nama itu melintas, dadanya terasa sesak, seolah ada bagian dari dirinya yang menolak untuk tetap diam.
“Kenapa aku merasa seperti ini?” gumamnya pelan. Suaranya hampir tertelan angin. “Seakan-akan… ada sesuatu yang mencoba keluar dari dalam diriku.”
......................
“Sudah bangun rupanya.”
Kuroh menoleh cepat. Di ambang pintu balkon berdiri Zephyr, rambut putihnya berkilau tertimpa cahaya pagi. Matanya biru pucat, tenang namun tajam, seperti permukaan danau beku yang menyimpan pusaran arus di bawahnya. Ia tidak mengenakan mantel tebal, hanya pakaian sederhana dari kain es yang menempel di tubuhnya. Entah bagaimana, udara dingin tidak memengaruhinya sama sekali.
Kuroh menatapnya dengan curiga.
“Sejak kapan kau ada di sana?”
Zephyr berjalan pelan ke arahnya, setiap langkahnya seolah menekan udara di sekitar. “Sejak kau mulai bergumam sendiri. Aku penasaran… apakah kau menyadari sesuatu.”
Kuroh mengernyit.
“Maksudmu?”
Zephyr berhenti tepat di depan balkon, menatap lurus ke arah pegunungan bersalju.
“Pilar Pikiranmu. Ia mulai terbangun.”
Kuroh menelan ludah, tak berani langsung menyangkal.
“Bagaimana kau tahu?”
Zephyr menoleh, pandangannya menusuk.
“Karena aku bisa merasakannya. Denyut yang keluar dari tubuhmu, aliran udara yang bergetar setiap kali kau menarik napas—semuanya bukan milik manusia biasa. Kau mungkin tidak sadar, tapi pilar itu sudah menampakkan diri sejak semalam.”
Kuroh menghela napas berat.
“Kalau begitu… kenapa baru sekarang? Kenapa tidak sejak dulu aku merasakan hal ini?”
Zephyr menekuk bibirnya tipis, seperti menyimpan senyum yang penuh rahasia. Ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah menara utama istana. Di puncaknya, terpampang jelas lambang naga Chrono, berkilau diterpa cahaya matahari.
“Karena kau berada di dekat sesuatu yang memicu resonansi. Pilar Pikiranmu mengenali jejak yang sama dengan darahmu. Sejak kau menginjakkan kaki di sini, kekuatan itu tak lagi bisa kau sembunyikan.”
Kuroh terdiam, matanya terpaku pada lambang naga itu. Hatinya berdegup kencang, dan untuk sesaat ia merasa lambang tersebut menatap balik ke arahnya. Jantung keduanya kembali berdetak—lebih keras dari sebelumnya.
Tiba-tiba, telapak tangan Kuroh memancarkan cahaya samar berwarna perak. Udara di sekitar balkon beriak, seperti realitas itu sendiri terguncang. Potongan bayangan samar muncul di udara: bentuk pedang, simbol aneh, bahkan sekilas wajah seseorang yang asing namun terasa dekat.
Kuroh tersentak mundur.
“Apa-apaan ini?!”
Zephyr mengamati dengan mata tajam. “Itu dia. Pilar Pikiranmu mulai mengekspresikan dirinya. Kau tidak lagi hanya membayangkan. Pikiranmu keluar ke dunia nyata.”
Saat itu, Shi muncul di ambang pintu kamar, wajahnya masih setengah mengantuk. Begitu melihat apa yang terjadi, matanya langsung melebar.
“Kuroh! Tubuhmu… mengeluarkan sesuatu!”
Kuroh mencoba meredam cahaya di tangannya, tapi semakin ia menolak, semakin liar pancarannya. Suara-suara samar memenuhi kepalanya, seperti bisikan dari ribuan pikiran yang bukan miliknya. Beberapa terdengar jelas: jeritan perang, bisikan doa, bahkan tawa anak kecil. Semuanya bercampur jadi satu, menekan kesadarannya.
“Aaaaargh! Apa yang terjadi padaku?!”
Zephyr bergerak cepat. Ia menekankan telapak tangannya ke lantai es balkon. Seketika, hawa dingin menyelimuti udara, membekukan riak liar yang keluar dari Kuroh. Cahaya perak itu terhenti, meski tubuh Kuroh masih gemetar.
Zephyr berdiri tegak, suaranya dingin namun tegas.
“Aku sudah menduga ini akan terjadi. Kau belum bisa mengendalikan kekuatanmu. Jika dibiarkan, seluruh istana bisa hancur oleh ilusi liar dari pikiranmu sendiri.”
Shi menatap ngeri, lalu beralih ke Zephyr.
“Kalau begitu apa yang harus kita lakukan?”
Zephyr melirik Kuroh, lalu kembali menatap Shi.
“Hari ini, Kuroh harus belajar. Ia harus memahami apa artinya menjadi pewaris pikiran Nozar.”
...----------------...
Mereka bertiga berjalan menuju aula latihan yang terletak di sayap timur istana. Aula itu luas, dindingnya terbuat dari kristal es yang diperkuat dengan segel kuno. Api biru menyala di obor kristal, namun cahayanya terasa dingin, tidak memberi kehangatan. Di tengah aula, lantai datar terbentang, dipenuhi simbol-simbol kuno yang berkilau samar.
Ziodes sudah menunggu di sana, duduk di kursi es yang terlihat seperti singgasana kecil. Ia menatap ketiganya dengan tenang. “Aku sudah mendengar semuanya. Jadi inilah saatnya.”
Kuroh berdiri di tengah aula, napasnya berat. “Apa aku benar-benar harus melakukan ini? Aku bahkan tidak mengerti apa yang terjadi.”
Ziodes menatapnya lekat-lekat. “Justru karena itu kau harus melakukannya. Kebenaran tidak akan datang padamu dengan sendirinya. Kau harus menjemputnya, meski dengan darah dan rasa sakit.”
Zephyr melangkah maju, berdiri berhadapan dengan Kuroh. “Aku akan menjadi lawanmu. Tapi bukan untuk mengalahkanmu. Aku akan memaksamu memanggil keluar apa yang ada di dalam dirimu.”
Shi, yang berdiri di tepi aula, terlihat gelisah. “Tunggu… apa ini tidak terlalu berbahaya? Kuroh belum siap!”
Ziodes mengangkat tangan, memberi isyarat agar Shi diam.
“Tidak ada kesiapan dalam takdir. Apa yang akan terjadi… biarlah terjadi.”
Zephyr menatap Kuroh, matanya tajam seperti pisau.
“Kau siap?”
Kuroh menggertakkan giginya, menatap balik dengan sorot tekad.
"Kalau memang ini satu-satunya cara… aku tidak akan mundur.”
Zephyr mengangguk tipis.
“Baiklah.”
Udara mendadak membeku. Zephyr mengangkat tangannya, dan seketika lantai aula dipenuhi bunga-bunga es yang menjalar cepat. Dari telapak tangannya, lahir sebuah tombak es panjang, berkilau seperti kaca. Suara retakan halus terdengar, seolah seluruh ruangan bersiap untuk runtuh.
Kuroh menegakkan tubuhnya. Tangannya masih bergetar, cahaya perak samar kembali muncul. Namun kali ini, ia tidak menolak. Ia membiarkan cahaya itu mengalir, meski hatinya penuh ketakutan. Dari telapak tangannya, bayangan samar kembali muncul—bentuk pedang kabur, seolah masih ragu untuk benar-benar ada.
Zephyr melesat maju, tombaknya menusuk cepat. Kuroh terkejut, refleks mengangkat tangannya. Seketika, pedang kabur itu memadat, menahan serangan Zephyr dengan suara dentuman keras. Percikan es beterbangan.
Kuroh menatap pedang di tangannya dengan mata terbelalak.
“Aku… benar-benar bisa memanggilnya?”
Zephyr tersenyum samar.
“Itu baru permulaan.”