NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:572
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7

Ruang makan yang semula hangat berubah hening saat suara berat Yudhistira memecah suasana.

"Apa benar kamu bertemu dengan anak Harris Aditama?" tanyanya, menatap tajam ke arah putra sulungnya.

Pertanyaan itu membuat ketegangan menggantung di udara. Topik seperti ini seharusnya tak dibicarakan di meja makan, namun tampaknya Yudhistira tidak sedang peduli soal etika.

Lingga tak langsung menjawab. Ia meletakkan sendoknya dengan tenang, lalu mengangkat wajahnya datarnya tetap tak tergoyahkan. "Itu hanya kebetulan."

"Kebetulan?" Ulang Yudhistira sinis. "Lalu bagaimana dengan foto yang beredar di media sosial? Publik mulai menduga kamu bertemu dengan anak Harris. Itu benar?"

"Perempuan itu anak Anton Hadinata." jawab Lingga datar, seolah tak terpengaruh nada tajam ayahnya.

"Jadi kamu menerima tawaran kerja sama dari keluarga Hadinata?"

Lingga menggeleng pelan. "Tidak. Saya tidak tertarik."

Yudhistira menyipitkan mata. "Lalu untuk apa kamu bertemu dengannya?"

Seketika ruangan terasa lebih sempit. Bahkan suara jam dinding seolah terdengar lebih nyaring dari biasanya.

Lingga menarik napas pelan sebelum menjawab, "Karena dia sahabat dari wanita yang membuat saya tertarik."

Kalimat itu seperti bom yang jatuh di tengah meja makan.

Semua mata langsung tertuju padanya.

Wanita? Tertarik?

Itu adalah dua kata yang belum pernah mereka dengar keluar dari mulut Lingga selama tiga puluh lima tahun di hidupnya.

Gayatri, sang ibu, yang sejak tadi duduk dengan tenang, menatap putranya penuh kehangatan. Wajahnya berbinar.

"Siapa perempuan itu, Nak?" tanyanya lembut, suara penuh harap.

"Namanya Diandra," jawab Lingga tanpa ragu.

Beberapa detik keheningan kembali turun. Nama itu terdengar asing di telinga mereka.

"Diandra?" Gumam Yudhistira. "Apa dia bukan dari kalangan—"

"Dia dokter,  dan sekarang bekerja di RS Pelita Nusantara," potong Lingga sambil menatap ayahnya lurus-lurus.

Gayatri tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. "Kapan kamu ajak dia ke rumah, Nak?" tanyanya lembut, penuh semangat.

Lingga menoleh padanya. Wajahnya tetap tenang, namun kali ini suaranya sedikit lebih lembut. "Kalau saya tidak sibuk, Bu."

Namun momen hangat itu kembali terganggu ketika Yudhistira bertanya, "Kamu sudah tahu latar belakangnya?"

Lingga menatap ayahnya. Tatapannya berubah dingin. Tegas. Tak suka.

"Dia putri bungsu keluarga Aditama."

Sekali lagi, keterkejutan menyapu seluruh meja makan.

"Tapi... bukankah Harris hanya punya satu anak perempuan?" tanya Yudhistira, nyaris tak percaya.

Lingga tersenyum tipis. Senyum penuh teka-teki. "Itu yang Anda tahu."

Yudhistira terdiam. Pikirannya berputar, mencoba mencerna semua yang baru saja diucapkan putra sulungnya. Setahu dia, Harris Aditama hanya memiliki satu anak perempuan bernama Sandra Elena Aditama, wanita yang selama ini dikenal sebagai pewaris tunggal keluarga itu.

"Ayah tidak setuju," ucap Yudhistira akhirnya, nadanya dingin dan tegas. Tidak ada keraguan di matanya. Luka lama yang tertanam dua puluh lima tahun silam belum benar-benar pulih, dan nama Aditama tetap menjadi bayangan kelam bagi keluarga mereka.

"Yah..." panggil Gayatri lembut, mencoba meredakan tensi. Ia tak ingin luka lama kembali menganga. "Bukankah sebaiknya kita—"

"Saya tidak butuh restu Ayah untuk menikahinya." potong Lingga tegas, sorot matanya tajam. Kalimat itu bagaikan cambuk yang mencabik suasana di meja makan. Keheningan menggantung, dan amarah mulai menyala di mata Yudhistira.

Lingga berdiri, berniat meninggalkan meja makan yang sudah tak lagi terasa seperti rumah. Namun, suara ayahnya kembali menahannya.

"Kalau begitu, Ayah akan beri restu... tapi dengan satu syarat," ucap Yudhistira, matanya lurus menatap putranya, "Jadilah pewaris utama Adiwijaya Grup."

Langkah Lingga terhenti. Ia menoleh pelan, tatapannya tajam, nyaris menusuk.

"Ayah masih punya anak laki-laki selain saya." Ucapnya tenang, namun penuh makna. Ia melirik adik laki-lakinya yang sedari tadi hanya diam membisu. "Saya rasa... dia jauh lebih cocok untuk posisi itu."

Tanpa menunggu jawaban, Lingga kembali melangkah.

"Kita kembali ke apartemen," katanya pada sopir pribadi yang setia menunggu di lorong.

Malam itu, ia datang hanya untuk memenuhi undangan makan malam keluarga tapi yang ia dapatkan bukan kehangatan rumah, melainkan pengingat bahwa ada luka-luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

____

Lingga bersandar pada kursi mobilnya, menatap jalanan malam yang dipenuhi cahaya lampu dan orang-orang yang tertawa riang. Semua orang tampak punya ruang untuk bersenang-senang. Hidupnya terlalu lama habis hanya untuk memenuhi ambisi keluarganya. Dan karena itu, Lingga sudah mantap pada satu keputusan yang mungkin akan mengubah semuanya nanti.

Saat pikirannya tenggelam dalam renungan, matanya tiba-tiba menangkap sosok yang familiar. Seorang gadis tengah duduk sendirian di bangku taman kota. Dari jauh, Lingga langsung mengenalinya.

“Pak, berhenti di pinggir,” ucapnya singkat pada sopir.

Mobil hitam itu menepi, dan Lingga segera turun. Udara malam terasa dingin ketika ia melangkah menelusuri trotoar, pandangannya tak lepas dari gadis yang akhir-akhir ini selalu mengganggu pikirannya.

“Diandra Elene Maris,” panggil Lingga, suaranya terdengar jelas di antara riuh jalanan. Diandra sontak mendongak, raut terkejut tampak sekilas di wajahnya.

“Ngapain lo di sini?” tanya Diandra dengan nada tak suka.

“Saya cuma kebetulan lewat,” jawab Lingga tenang sambil duduk di sebelahnya.

Namun, tanpa ragu, Diandra menggeser duduknya menjauh. “Gue tau ini tempat umum, tapi gue keberatan lo duduk di sini,” sindirnya sarkastik.

Alih-alih tersinggung, Lingga hanya tersenyum tipis. Ada sesuatu dalam sikap cuek Diandra yang justru membuatnya ingin bertahan lebih lama.

“Ini sudah terlalu malam untuk seorang wanita duduk sendirian di luar,” ucap Lingga sembari melirik jam tangannya. Pukul sebelas malam.

“Ini malam Minggu, wajar kali,” balas Diandra santai, kembali menyuap telur gulung yang ia beli dari pedagang kaki lima tak jauh dari taman.

Lingga melirik makanan itu dengan tatapan geli. “Seorang dokter makan makanan nggak sehat?”

Diandra mendecak sambil menoleh tajam. “Mending lo pergi deh. Gue nggak butuh komentar lo,” ujarnya ketus, seakan ingin mengusir Lingga.

Namun Lingga hanya terkekeh pelan, tidak bergeming. Ada sesuatu yang berbeda dari pertemuan mereka malam ini.

Diandra menoleh, menatap Lingga dari ujung kepala hingga kaki. Pria itu duduk di bangku taman dengan setelan jas mahal, rambut yang rapi, dan sepatu mengilap. Pemandangan kontras dengan suasana santai taman kota.

“Penampilan lo nggak cocok duduk ngemper di sini, mendingan lo pergi,” ucap Diandra sinis, membuat Lingga menoleh dengan senyum tipis.

“Ini tempat umum, saya berhak duduk di mana saja,” balas Lingga santai.

Diandra mendengus kesal. “Oke, gue yang pindah,” gumamnya. Ia merapikan barang-barang kecil di pangkuannya, siap bangkit dan pergi.

Namun, sebelum sempat berdiri, tangan Lingga sigap mencengkeram pergelangan tangannya.

“Kemana?” tanyanya, suaranya tenang tapi terasa mendominasi.

“Pulang lah,” jawab Diandra sambil berusaha melepaskan diri. Tapi cengkeraman pria itu tak kunjung longgar.

“Mau saya antar?”

Diandra menatapnya sekilas, kemudian tersenyum tipis dengan nada setengah mengejek. “Gak perlu. Orang gue tinggal di depan,” ujarnya, menunjuk gedung apartemen yang berdiri megah tak jauh dari taman.

Tatapan Lingga seketika berubah, sedikit terkejut. Apartemen yang ada di depan.

“Udah ya, gue butuh istirahat,” ucap Diandra akhirnya. Ia melepaskan genggaman Lingga dengan satu gerakan cepat, lalu melangkah menjauh, menyebrang jalan dengan langkah mantap.

Lingga hanya bisa menatap punggungnya, silhouette Diandra perlahan menghilang di balik pintu kaca apartemen. Ada tanya yang menggantung di dadanya. Mengapa Diandra begitu menutupi identitasnya sebagai anak Harris Aditama? Dan kenapa, dengan segala privilese yang dimilikinya, dia memilih menjadi dokter daripada melanjutkan bisnis keluarga?

"Kamu membuat saya semakin tertarik, Diandra."

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!