Bangun dari tidur Yola begitu terkejut saat melihat pria yang terlelap di sebelahnya.
Yola tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah pesta kampus yang ia datangi semalam.
Dan kini ia harus berakhir dengan pria yang sangat berpengaruh di kampus.
Yola memilih pergi sebelum pria yang masih terlelap itu bangun, ia tidak ingin menimbulkan masalah apalagi pendidikannya terkendala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Al-Humaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HAPD_BAB 19
"Bagaimana jika aku jatuh cinta padamu?"
Pertanyaan yang sebenarnya sangat sederhana, namun mampu membuat Calvin tak bisa menjawab. Pria itu memilih diam dan berdiri dari tempatnya duduk, sambilan sambil mengendong Fayola menuju kamar mereka.
"Pak, bagaimana jika aku-"
"Tidak akan bisa dan tidak akan mungkin, kamu buang saja rasa itu." Balas Calvin dingin.
Fayola yang menatap wajah Calvin dengan rahang yang menegang hanya tersenyum, kepalanya ia sandarkan di dada bidangnya dengan kedua tangan melingkar di leher Calvin.
"Kenapa kamu susah di dekati, apakah arti debaran ini tidak ada." gumam Fayola yang merasakan debaran jantung Calvin begitu cepat.
Bugh
Calvin membanting tubuh Fayola di atas ranjang, pria itu langsung melucuti semua pakaiannya tanpa ada yang tersisa. Entah kenapa rasanya sesak sekali Calvin hanya ingin menyakinkan jika dirinya tidak akan tergoda.
Calvin menatap lekuk tubuh Fayola dengan dalam, dari ujung kepala sampai ujung kaki Calvin memindainya seperti alat sensor.
"Aku tidak akan pernah lupa dengan setiap jengkal tubuh mu Yola." Gummanya dalam hati.
"Apakah aku tidak menarik dimatamu?"
Calvin yang masih memindai naik turun kini tatapnya terkunci pada sepasang mata coklat seperti almond itu.
"Apakah aku tidak bisa mendapatkan hatimu pak," Katanya lagi dengan tatapan mata yang entah kenapa membuat perasaan Calvin jadi gelisah.
"Apakah anda tidak pernah berpikir jika suatu saat aku akan hamil anak anda," Fayola menatap Calvin yang terdiam, bahkan ia bisa melihat kenjantanan Calvin yang sudah tegang. Calvin selalu cepat on jika disamping Fayola, walaupun Fayola tidak melakukan apapun.
Deg
"Tidak, itu tidak akan mungkin." batinnya menolak.
Melihat Calvin hanya diam, bibir Fayola tersenyum tipis, "Kenapa bapak serius sekali. Aku hanya bercanda." Fayola terkekeh setelahnya. "jangan khawatir, aku rutin minum pil kontrasepsi jadi tidak akan benih pak dosen di dalam rahimku." Bibirnya bergetar bicara dengan senyum, tapi kenyataannya hatinya sangat pahit.
"Lagi pula, aku sadar diri pak. Mana mungkin bapak jatuh cinta pada wanita sepertiku, aku hanya bercanda karena aku juga tidak akan mencintai pria seperti bapak. Aku tidak perlu mengutarakan perasaanku, karena sesungguhnya aku sudah jatuh cinta padanya sejak lama."
"Sentuh aku pak, sentuh aku sepuas mu." Ucap Fayola dengan suara sensual, tatapan matanya begitu sayu, rasanya sudah tidak mampu menutupi rasa sesak dalam hatinya.
"Ya, kau yang meminta." Balas Calvin tanpa menolak.
"Yahh.. terus pak yang kuat."
Deg
Hati Celvin teriris, entah kenapa ada yang bergejolak hebat di dadanya, rasanya begitu sesak hingga membuatnya tak bisa bernapas dengan baik.
Bukan hanya Calvin, Fayola merasakan hal yang sama, namun untuk malam ini biarkan dirinya memberikan sesuatu yang mungkin akan membuatnya tak bisa melupakan.
"Biarkan aku memiliki cintamu, meskipun kamu tidak memiliki cinta itu untukku,"
****
Matahari naik keperaduan dengan sinarnya yang terang, hari ini cuaca begitu cerah dan indah.
Calvin membuka matanya saat bunyi alarm di ponselnya.
"Shitt!!"
Tubuhnya yang telanjang langsung melompat turun, Calvin bergegas masuk kedalam kamar mandi.
Hari ini dia harus pergi, seperti yang dikatakan Fayola tadi malam. Namun karena aktifitas tadi malam dia bangun telat, tidak biasa memangnya sungguh Fayola membuat Calvin yang disiplin jadi berantakan.
Sedangkan Fayola membuka matanya saat merasakan pergerakan diatas rajang, gadis itu mengucek matanya perlahan sebelum membukanya lebar.
"Umm, jam berapa ini." Fayola melirik jam di dinding, pukul sembilan pagi.
Bibirnya mengulas senyum, meskipun tubuhnya dan tak bertenaga, namun ada kehangatan yang menjalar di hatinya.
"Ahh, kau terbaik jangan terus memaksaku oughh."
Sedikit namun tak berarti, cukup membuat Fayola tahu jika Calvin memuja dirinya.
Fayola mengingat jelas percintaan keduanya tadi malam, tidak kenal lelah mereka saling memuaskan bergantian.
Ceklek
Calvin keluar dengan tubuh jauh lebih segar, wangi aroma sabun menguar di dalam kamar itu.
"Bapak mau pergi?" Fayola menarik tubuhnya untuk bersandar di bahu ranjang, sengaja Fayola tak menutup dadanya yang polos, ingin menguji seberapa tahan godaan Calvin itu.
Calvin yang baru keluar sudah dibuat terdiam, bahkan gerakan tangannya yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk pun terhenti.
"Apakah anda akan berangkat ke Turki sekarang?" Katanya lagi tanpa memperdulikan tatapan Calvin.
Fayola justru sengaja menggelung rambutnya keatas, memperlihatkan leher jenjangnya yang banyak stempel merah keunguan.
"Hm," Calvin hanya berdehem, tatapnya mengendur lalu berjalan kearah lemari.
Fayola mengigit bibirnya, dan hal itu selalu di perhatikan Calvin dari kaca lemari didepanya.
"Sial, dia selalu bisa membuat milik ku bangkit." Geram Calvin tertahan.
Fayola tersenyum menatap kamar yang luas dan nyaman, sudah saatnya untuk mengakhiri, dirinya tidak mendapatkan apapun yang di inginkan padahal cuma satu, yaitu hati Calvin.
Siang setelah Calvin pergi setelah mendapatkan jatah satu ronde sebelum pergi, ya pada akhirnya Calvin tidak tahan bila di hadapkan dengan kenikmatan yang Fayola tawarkan, bahkan pria itu rela harus mandi lagi setelah berolahraga yang menghasilkan peluh.
Bagi Fayola tidak mengapa, ini adalah terakhir kali mereka bersama, Fayola ingin membahagiakan Calvin meksipun hanya tubuhnya yang diinginkan.
"Selamat tinggal pak, aku mencintaimu." Fayola mengusap sudut matanya yang basah, lalu menutup pintu yang banyak memiliki kenangan berdua dengan Calvin.
Datang tak membawa apapun, begitu juga saat pergi, Fayola hanya membawa tas miliknya dan ponsel, uang pun hanya miliknya juga. Fayola meninggalkan semua yang Calvin beri, menyimpannya di satu tempat agar Celvin tak kesulitan mencari.
Turun kebawah rupanya ada Megi yang mengawasi para pelayan, wanita itu tersenyum saat melihat Fayola turun.
"Selamat siang nona, apakah anda ingin makan sesuatu?" Tanya Megi, wanita itu begitu baik dan perhatian Fayola begitu terharu dan pasti akan merindukan Megi.
"Tidak, aku tadi sudah makan di atas dengan pak Calvin." Balas Fayola.
"Apa anda melupakan sesuatu nona?"
Fayola yang di tanya mengerutkan keningnya tampak berpikir.
"Aku, sepetinya tidak," Fayola yakin tidak ada yang ia lupakan, bahkan Fayola sudah menyiapkan semuanya jauh-jauh hari jika dirinya tidak bisa mendapatkan hati dosen mesum itu.
"Ah, anda pasti lupa dengan kue yang anda buat." Megi mengingatkan membuat Fayola membulatkan matanya.
"Gara-gara bercinta aku sampai lupa." Katanya dalam hati.
"Ah iya bik, aku lupa tadi malam." Fayola tersenyum meringis.
"Makan saja, tidak apa," Fayola menyuruh
"Terima kasih nona," Megi mengangguk sopan.
"Kalau begitu aku pergi dulu bik." Fayola maju dan langsung memeluk tubuh kepala pelayan itu.
Megi yang tiba-tiba mendapat pelukan tubuhnya kaku.
"Nona," katanya dengan suara serak.
"Em, terima kasih sudah baik padaku, aku menyayangimu bibi." Ucap Fayola sambil mengusap sudut matanya yang basah secara diam-diam dibalik punggung Megi.
"Nona, kenapa sedih. Kita kan selalu bersama di mansion ini." Megi tak paham dengan ucapan Fayola.
Fayola melepas pelukannya tersenyum menatap wanita yang seumuran dengan ibunya itu.
"Pasti bi, itupun jika takdir menentukan."
"Kalau begitu kau pergi dulu, teman ku sudah menunggu, jangan lupa jaga kesehatan titip pak Calvin, Oke!" Fayola mengecup pipi Megi cepat dan berlalu pergi tanpa menunggu jawaban Megi, Fayola tidak tahan dengan kedua matanya yang sudah perih.
"Nona! Tunggu!" Megi yang baru menyadari sesuatu mengejar Fayola, namun sampai diluar Fayola sudah naik kendaraan dan pergi.
"Nona! Jangan pergi!!" Megi berteriak, ia tahu arti ucapan Fayola sebuah perpisahan.
"Tuan, Tuan harus tahu!" Megi dengan cepat mencari telepon, wanita itu menghubungi nomor Calvin namun tak bisa.
"Tuan, kenapa nomornya tidak aktif. Anda tidak tahu jika Nona memutuskan pergi." Tangan Megi pun bergetar saat mencoba menghubungi Calvin. Megi ingat kejadian beberapa tahun silam, ini seperti dejavu.
"Tuan!" Megi hanya bisa meneteskan air matanya saat nomor Calvin benar-benar tidak bisa dihubungi, wanita itu menangis sesak bagaimana nanti jika Calvin pulang.
Sedangkan didalam mobil Fayola terisak keras, air matanya yang ditahan kini tumpah ruah. Fayola memukul dadanya yang sesak, sesak sekali sampai dirinya kesulitan bernapas.
"Semoga kamu selalu bahagia pak." Bisiknya dalam hati.
"Tuan sudah menyiapkan semua, anda tinggal berangkat."
Fayola semakin terisak, tidak sanggup merasakan perih dihatinya.
"Tinggalkan Calvin jika kau tak berhasil, jika tidak bukan hanya kedua orang tuamu, tapi Calvin juga akan menerima akibatnya."
Kata-kata Hansel selalu membuat Fayola ketakutan, pria itu membuat Fayola meninggalkan semua yang berhubungan dengannya, kejadian yang menimpa orang tuanya adalah peringatan kecil, yang bagi Fayola sudah membuat separuh jiwanya melayang.
Kecelakaan yang membuat keduanya orang tuanya mengalami koma, belum lagi usaha bisnis keduanya yang ditipu, dan semua itu adalah peringatan dari Hansel, ya Hansel Gilbert yang selalu bisa membuat kehidupan putranya jauh dari lingkaran wanita.
Fayola hanya bisa meratapi kehidupan yang sangat buruk terjadi pada kedua orang tuanya. Jika saja Calvin bisa ia pertahankan mungkin Fayola akan menghadapinya, namun kenyataanya kepahitan dan rasa sakit yang ia dapatkan.
"Pak kau tidak mencintaiku, ahh.." Fayola mengajukan pertanyaan saat tubuhnya bergerak maju mundur di atas tubuh Calvin.
Calvin yang memejamkan matanya langsung membuka dan tatapan tajam menghunus mata coklat Fayola.
"Cinta, cih. Aku tidak memilikinya."
Fayola tersenyum kecut, jawaban Calvin sangat sakit.
"Jangan pernah berharap Fayola, bagiku wanita hanya pemuas saja."
Pupus sudah, tak ada lagi yang Fayola bisa harapkan, waktunya sudah habis ia memilih menyerah dan pergi.