Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7.
Ada sesuatu yang remuk di dalam diri Arka. Harapan yang tadi pagi tumbuh pelan, kini seperti layu diterpa badai. Ia tidak pernah menyangka—tidak pernah terpikirkan sedikit pun.
Wajahnya yang tadi berseri, kini mulai surut. Mutiara memperhatikan perubahan itu dengan seksama. Ia bisa merasakan gelombang kekecewaan yang mencoba ditutupi Arka. Dan kini, ia tahu dengan pasti—pria ini bukan pelanggan biasa. Ada rasa yang belum sempat diucap, tapi sudah terlanjur terluka.
"Mas ... Mas!" Mutiara melambaikan tangan di depan wajah Arka yang tampak kosong, matanya menerawang seperti kehilangan arah.
"E ... Mbak Hannah sudah menikah?" tanya Arka, suaranya berat, nyaris tak terdengar.
Mutiara terdiam sejenak, seperti menimbang apakah jawaban itu akan meringankan atau justru menambah beban.
"Iya... tapi suaminya sudah meninggal," jawabnya pelan, nyaris seperti bisikan duka.
Arka terdiam. Pikirannya mengawang, menelusuri setiap potongan kisah yang baru saja ia dengar dari Mutiara. Ia tidak bisa membayangkan seperti apa perjuangan Hannah selama ini—hidup dengan keterbatasan, membesarkan anak seorang diri, tanpa suara, tanpa pendengaran, dan kini... tanpa pasangan.
Dunia seakan kejam padanya, namun Hannah memilih tidak mengeluh. Sebaliknya, dari wajah itu—yang teduh, manis, dan bersahaja—terpancar kekuatan yang tidak biasa. Senyum Hannah bukan senyum basa-basi. Senyum itu seperti mata air di tengah gurun: tulus, jernih, dan menenangkan siapa saja yang melihatnya.
"Usia putrinya berapa tahun?" tanya Arka, suara itu keluar tanpa sadar, lahir dari keinginan yang terus tumbuh untuk mengenal lebih dalam sosok wanita itu. Ia sendiri terkejut betapa cepat hatinya tertambat.
"Lima tahun," jawab Mutiara sambil membersihkan meja kasir. “Sudah masuk TK. Dia sangat pandai membaca dan berhitung. Kadang kalau lagi tidak sibuk, suka bantu-bantu juga di sini. Non Yasmin itu anak yang jenius, Mas. Masih kecil, tapi punya banyak keahlian dan sangat aktif.”
Arka mengangguk pelan. Matanya kembali memandang ke luar. Yasmin sedang duduk di dekat pagar, memainkan pita rambut sambil tertawa kecil. Di sampingnya, Hannah menyimak dengan wajah penuh kasih. Kebersamaan mereka tak ubahnya lukisan hidup—begitu sederhana, namun penuh makna.
"Yasmin sangat cantik," kata Arka pelan. Ada nada kekaguman yang tak bisa disembunyikan. "Tapi... wajahnya agak berbeda dengan Hannah. Apa dia mirip ayahnya?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Padahal ia sadar, itu terlalu pribadi. Namun rasa ingin tahunya lebih besar daripada rasa sungkannya. Ia melirik ke Mutiara sejenak, lalu menatap kembali ke arah ibu dan anak itu, seolah mencoba menemukan jejak laki-laki lain di wajah Yasmin.
Mutiara menghela napas singkat. "Kurang tahu, Mas. Saya belum pernah melihat suaminya Mbak Hannah," jawabnya sambil menunduk, sibuk membereskan nampan kotor. Nada suaranya terdengar hati-hati. Ada batas yang tidak bisa ia langkahi—kisah Hannah adalah kisah yang diselimuti kabut.
Tak lama kemudian, beberapa pelanggan datang. Suasana warung yang tadinya tenang berubah sedikit ramai. Mutiara dan temannya segera melayani dengan cekatan.
Arka berdiri dari kursinya. Ia tidak ingin mengganggu kesibukan. Namun hatinya masih tertinggal di sana—di tempat Hannah dan Yasmin berada. Ia melangkah keluar dengan perasaan yang campur aduk.
Ada sesuatu yang mengikatnya, padahal belum pernah disentuh.
Saat berjalan ke arah mobilnya, Arka masih terus berpikir. Hatinya terasa aneh, seperti baru saja disentuh oleh sesuatu yang hangat namun tak kasatmata.
> "Hannah ... Yasmin ... Kenapa hatiku bisa langsung tertarik pada mereka? Padahal aku belum mengenal mereka sepenuhnya. Apa karena mereka punya hati yang bersih? Hati yang tenang dan jernih, hingga siapa pun yang mendekat akan merasa damai? Mungkinkah ini yang disebut jatuh hati—tanpa alasan, tanpa logika, hanya rasa yang mengalir begitu saja?"
Langkah Arka terhenti saat seseorang memanggil. Dia pun menoleh
"Om Arman!" suara itu melengking senang, khas anak kecil.
Tidak jauh darinya, Yasmin berjalan bersama Pak Baharuddin. Gadis kecil itu melambaikan tangan sambil berlari kecil mendekatinya, wajahnya bersinar penuh keceriaan.
Senyum Arka mengembang, refleks, tanpa bisa dicegah. Suara panggilan itu, meski salah nama, terasa menyentuh titik paling lembut di dadanya. Yasmin tidak sadar bahwa ia telah membuka pintu yang mungkin akan mengubah segalanya.
Pak Baharuddin tersenyum ramah. Dia mengira kalau pria itu adalan Arman yang kemarin diceritakan oleh Yasmin.
"Om Arman? Tapi, kok, agak beda, ya?" gumam Yasmin menatap Arka dengan teliti dan intens.
Belum juga Arka balas menyapa, teleponnya berdering. Ada nama Mbok Mirna di layar.
"Ya, ada apa, Mbok?" tanya Arka.
"Den Arka, tolong segera datang ke rumah sakit. Tuan ... Tuan tidak sadarkan diri," jawab Mbok Mirna.
Arka menggenggam erat handphone-nya. Rahangnya mengeras dan tatapannya menerawang jauh.
"Den, tuan berharap bisa bertemu Den Arka dan Den Arman," kata Mbok Mirna dengan suara diiringi isak tangis.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗