Setelah Mahesa Sura menemukan bahwa ia adalah putra seorang bangsawan yang seharusnya menjadi seorang raja, ia pun menyusun sebuah rencana untuk mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi milik nya.
Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya menjadi modal awal bagi nya untuk membangun kekuatan dari rakyat. Intrik-intrik istana kini mewarnai hari hari Mahesa Sura yang harus berjuang melawan kekuasaan orang yang seharusnya tidak duduk di singgasana kerajaan.
Akankah perjuangan Mahesa Sura ini akan berhasil? Bagaimana kisah asmara nya dengan Cempakawangi, Dewi Jinggawati ataupun Putri Bhre Lodaya selanjutnya? Temukan jawabannya di Titisan Darah Biru 2 : Singgasana Berdarah hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benteng Pertahanan Pejarakan
Nyai Landhep yang sedang berjalan dekat tempat tinggalnya, melihat seekor burung merpati surat mendarat turun. Penasaran dengan apa yang di bawa oleh burung pengantar surat itu, dia buru-buru bergegas ke arah dua prajurit yang bertugas sebagai perawat hewan pembawa berita ini.
Begitu kain putih tergulung di kaki merpati itu terbuka, mata Nyai Landhep terbuka lebar.
"Aku harus segera melaporkan ini pada Raden Dyah Danurwenda..!! ", ucap Nyai Landhep sembari menggenggam erat gulungan kain itu dan berlari menuju ke arah Istana Wilangan.
Di ruang pribadi akuwu...
" Bagaimana persiapan para prajurit yang kau latih, Rakai Sambu? Apa sudah ada kemajuan? ", Mahesa Sura menatap ke arah Rakai Sambu dan Ki Menjangan Rajegwesi yang ia tugaskan untuk mempersiapkan pasukan guna menghadapi ancaman prajurit Kertabhumi.
" Sudah ada kemajuan, Raden...
Mereka kini mulai ahli memecah pergerakan pasukan. Beberapa ratus yang dilatih sebagai pasukan pemanah oleh Ki Menjangan Rajegwesi juga hamba lihat sudah mahir bahkan layak jika harus berperang saat ini", lapor Rakai Sambu penuh antusias.
"Benar yang dikatakan oleh Rakai Sambu, Raden. Kita telah berhasil mendidik calon prajurit tangguh di waktu sesingkat ini. Selain karena mereka rajin latihan, hamba lihat mereka benar benar ingin membantu Raden Dyah Danurwenda membebaskan Kertabhumi dari cengkeraman tangan besi Dyah Sindupati", imbuh Ki Menjangan Rajegwesi yang membuat Mahesa Sura manggut-manggut senang.
"Aku berterimakasih atas kerja keras kalian. Tanpa pelatihan dari kalian, tidak mungkin aku akan memiliki pasukan siap tempur dalam waktu sesingkat ini.. ", Mahesa Sura segera sedikit membungkukkan badannya dan Rakai Sambu serta Ki Menjangan Rajegwesi buru-buru mencegahnya.
" Jangan seperti ini, Raden. Tidak pantas bagi kami menerima hormat dari Raden.
Kami hanya melakukan apa yang kami bisa untuk membantu Raden Dyah Danurwenda juga rakyat Kertabhumi dari kekuasaan tidak sah Dyah Sindupati", ujar Ki Menjangan Rajegwesi yang di sambut anggukan kepala Rakai Sambu.
"Aku berjanji jika perjuangan ini berhasil, aku pasti akan memberikan kedudukan yang layak untuk kalian berdua.. "
Mendengar apa yang dikatakan oleh Mahesa Sura, Ki Menjangan Rajegwesi dan Rakai Sambu sumringah. Mereka hendak berterimakasih tetapi dari arah pintu masuk ruang pribadi akuwu, Nyai Landhep datang dengan tergopoh-gopoh.
Melihat nya seperti itu, Mahesa Sura segera berdiri dari tempat duduk nya.
"Aku tak pernah melihat mu seperti ini, Nyai. Ada hal penting apa? ", tanya Mahesa Sura segera.
Nyai Landhep tak langsung menjawab tetapi mengulurkan gulungan kain putih yang ia dapat dari kaki merpati surat pada sang penguasa Pakuwon Wilangan. Mahesa Sura segera membuka nya dan membaca tulisan yang tertera diatasnya.
"Pasukan Kertabhumi mulai bergerak. Jumlahnya sekitar 6 ribu prajurit. Ini kabar darimana Nyai..?? ", kembali Mahesa Sura bertanya sedangkan Rakai Sambu dan Ki Menjangan saling pandang mendengar kabar ini.
" Jurumeya, bekas murid Padepokan Bukit Rawit yang menjadi mata-mata ku di kota Anjuk Ladang.
Sepertinya kabar tentang apa yang terjadi di Wilangan sudah sampai di Istana Kertabhumi. Apa yang harus kita lakukan? ", Nyai Landhep, Ki Candramawa dan Rakai Sambu menatap ke arah Mahesa Sura yang terdiam karena sedang berpikir.
Hemmmmmmmmm...
"Prajurit..!!!
Panggil semua para petinggi prajurit kita di pendopo. Jangan ada yang terlewat satu orang pun! ", perintah Mahesa Sura pada prajurit yang berjaga di depan.
" Baik Gusti Pangeran... ", jawab dua prajurit itu sebelum mereka bergegas menjalankan tugas yang mereka terima.
Tak butuh waktu lama, para pendukung utama Mahesa Sura berkumpul di Pendopo Pakuwon Wilangan. Ada Nyai Landhep, Rakai Sambu, Ki Menjangan Rajegwesi, Jayeng, Rakai Pamutuh, Resi Agastya, Bekel Candramawa, Dewa Pedang Lembu Peteng, Ki Wisanggeni, Sempani dan Tunggak yang duduk sesuai dengan tempat duduk yang ditentukan.
Sedangkan Mahesa Sura duduk di singgasana dengan di dampingi Cempakawangi, Dewi Jinggawati dan Rara Larasati.
"Aku baru saja mendapatkan berita bahwa pasukan Kertabhumi mulai bergerak. Jumlah prajurit mereka sekitar 6000 orang. Apa langkah yang pertama harus kita ambil menurut kalian semua? ", ucap Mahesa Sura mengawali pertemuan.
Kasak kusuk antara para pendukung utama Mahesa Sura pun segera terjadi.
" Kita harus mempersiapkan diri sebaik mungkin, Gusti Pangeran..
Kita hadang mereka di tapal batas wilayah Wilangan dengan Sekar Pudak yakni di Desa Pejarakan. Kita bangun pertahanan di sana ", usul Jayeng setelah menghormat.
" Betul pendapat Jayeng, Raden..
Kita baru menerima tambahan prajurit dan bahan pangan dari Berbek dan juga Sekar Pudak. Dengan tambahan pasukan ini, hamba rasa tidak sulit untuk mengalahkan mereka ", imbuh Bekel Candramawa dengan semangat berapi-api.
"Kalau menurut Resi Agastya sendiri, apakah kita bisa memenangkan pertempuran ini? ", Mahesa Sura mengalihkan perhatian pada pertapa tua itu.
" Asal kita semua kompak, menundukkan pasukan Kertabhumi tak akan kesulitan. Hamba minta Dewa Pedang dan para pendekar dari Lembah Seratus Pedang bergerak paling awal untuk membuat semangat tempur musuh menjadi turun ", ujar Resi Agastya sambil tersenyum.
" Aku tidak keberatan, Resi..
Tetapi aku minta sebuah syarat untuk itu. Jawaban Si Iblis Wulung lah yang akan menjadi penentu", ucap Lembu Peteng sembari mengelus kumisnya.
"Apa itu Romo? Jangan aneh-aneh ya", Cempakawangi cemberut menatap ayah angkatnya yang duduk tak jauh dari tempat ia berada.
" Tidak akan aku minta yang aneh-aneh. Yang ku minta hanya setelah kita berhasil mengalahkan pasukan Kertabhumi, Si Iblis Wulung menikahi mu juga dua perempuan yang ada di sebelah nya.. "
Wajah Cempakawangi, Rara Larasati dan Dewi Jinggawati langsung sumringah mendengar syarat yang diajukan oleh Dewa Pedang.
"Kalau itu bukan masalah, Dewa Pedang..
Setelah pertempuran esok berakhir dengan kemenangan, aku pasti akan segera menikahi mereka bertiga.
Semuanya dengarkan aku, besok aku sendiri yang akan memimpin pembangunan pertahanan di Pejarakan. Aku minta semua bahu membahu mempersiapkan diri untuk kita bisa memenangkan pertempuran ini", ucap Mahesa Sura kemudian.
"Sendiko dawuh Gusti Pangeran.. ", balas semua yang hadir sambil menyembah pada Mahesa Sura.
Keesokan harinya, pembangunan benteng pertahanan di Pejarakan pun dimulai.
Pejarakan adalah sebuah desa kecil yang terletak di wilayah Wilangan yang berdekatan dengan tapal batas wilayah dengan Pakuwon Sekar Pudak. Di tepi desa ini ada sungai kecil yang cukup curam yang mana menjadi batas wilayah. Satu-satunya jalan masuk ke dalam wilayah Wilangan dari Sekar Pudak adalah sebuah jembatan yang dibangun dengan kayu dan bambu.
Di sekeliling jembatan itu, pepohonan tumbuh subur tetapi kebanyakan merupakan pohon bambu di selingi oleh pohon besar seperti bendo dan krombang. Ini merupakan tempat sempurna jika ingin dijadikan sebagai tempat penyergapan musuh.
Tak jauh dari pemukiman penduduk Pejarakan, ada sebuah tanah lapang yang luas dengan ditumbuhi oleh semak belukar dan rerumputan. Tepat di belakang padang rumput ini benteng pertahanan mulai dibangun oleh Mahesa Sura dan orang-orang nya. Di bantu oleh para penduduk Pejarakan yang telah tunduk sejak awal gerakan, para pendukung Mahesa Sura bahu membahu membangun sebuah benteng pertahanan.
Kayu-kayu gelondongan sebesar betis orang dewasa di lancipi pada ujungnya dan di tata sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah benteng kuat mirip dengan pagar kota Wilangan setelah 2 hari bekerja keras. Di sekeliling nya di buat berbagai galian tanah yang akan digunakan sebagai jebakan maut bagi para prajurit Kertabhumi yang berani mendekati benteng pertahanan ini.
Keinginan terbesar dari mereka untuk benteng pertahanan ini hanya satu,
Menahan serangan prajurit Kertabhumi selama mungkin.
sepertinya trah Mahesa sura ini yg kemudian melahirkan raja2 Islam di kemudian hari yah kang ebez
up terus kang ebeezz..