Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.
Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 7 Club
Setelah meninggalkan tempat bilyar, malam belum sepenuhnya selesai.
Kami tidak ingin pulang. Entah karena terlalu nyaman satu sama lain atau karena kami sama-sama takut, bahwa setelah malam ini, semua akan terasa terlalu biasa.
“Aku belum mau pulang,” kata Maarten sambil memandangku.
“Bagaimana kalau kita pergi ke sebuah tempat yang lebih hidup?”
Aku menoleh dan menatapnya dalam diam.
Lalu, tanpa banyak pertimbangan, aku mengangguk.
Kami memesan mobil lagi. Dan dalam perjalanan, suasana di dalam mobil terasa berbeda.
Lampu kota berlari cepat di kaca jendela, dan Jakarta malam itu tampak seperti kota yang tak pernah tidur. Berkilau, sibuk, tapi penuh janji.
Setelah sekitar tiga puluh menit, kami tiba di sebuah klub malam elit di pusat kota.
Gedungnya menjulang gelap, tapi cahaya dari dalamnya berdenyut seperti jantung yang berdetak kencang.
Di depan pintu, dua security berdiri dengan tegap. Tapi begitu melihat Maarten keluar dari mobil, sikap mereka melunak.
“Good evening, Mister!” sapa salah satu dari mereka sambil tersenyum sopan.
“Welcome, please come in.”
Mereka menatapku juga dan mengangguk ramah.
Aku menggenggam tas kecilku erat, merasa sedikit gugup. Tempat ini jauh dari duniaku sehari-hari.
Kami masuk ke dalam klub, dan seketika dunia berubah.
Lampu-lampu neon berputar di langit-langit, asap tipis mengepul di udara, dan dentuman musik elektronik menggema seperti nadi yang tidak mau berhenti.
Lantai dansa dipenuhi tubuh-tubuh yang bergerak liar, lampu strobo menyapu wajah-wajah asing dalam sekejap.
Suara tawa, gelas beradu, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal menggantung di udara.
Kami berjalan melewati keramaian menuju meja kosong yang diberi penerangan temaram dari lampu gantung berbentuk kristal.
Seorang pelayan datang, dan Maarten langsung memesan dua botol bir.
“Let’s enjoy the night,” katanya sambil tersenyum.
Aku mencoba tersenyum balik. Tapi hatiku pelan-pelan mengecil.
Di sekeliling kami, wanita-wanita cantik melenggang bebas.
Makeup mereka sempurna, tubuh mereka dibalut dress ketat berkilau, dan mereka tahu cara bergerak dengan percaya diri.
Ada yang menari di sekitar bar, memamerkan kaki jenjangnya. Ada pula yang bergerak sensual di bawah sorotan lampu, tubuhnya melenggok dalam irama erotis yang membuat semua mata menoleh.
Aku merasa kecil.
Berada di antara dunia yang bukan milikku.
Di antara perempuan-perempuan yang tahu cara memikat dengan tatapan, dengan gerakan, dengan tawa yang dibuat-buat.
Tapi Maarten... tetap menatapku.
Bahkan saat seorang wanita tinggi bersanggul platinum berjalan melewati meja kami dengan sengaja menyenggol pundaknya, dia hanya tersenyum sopan, lalu kembali menatapku.
“Are you okay?” bisiknya di telingaku karena musik terlalu keras.
Aku mengangguk pelan, meski hatiku belum benar-benar tenang.
Tapi Maarten tak berhenti di situ.
Tangannya menyentuh tanganku, hangat dan tenang.
“Kamu kelihatan canggung,” katanya, matanya tak lepas dari mataku.
“Kamu nggak perlu menyesuaikan diri dengan tempat ini. Aku di sini bukan karena musiknya. Tapi karena kamu.”
Ucapannya sederhana, tapi bagiku… cukup untuk membuat ruang bising ini terasa sunyi.
Mataku mulai menjelajah wajahnya.
Lampu merah-biru dari langit-langit menari di pipinya. Tapi tatapannya tetap utuh.
Dia tidak melihat sekeliling, tidak memalingkan wajah saat wanita-wanita lain lewat di dekatnya.
Dia tidak teralihkan.
Dia hanya melihat aku, gadis biasa, yang bahkan merasa salah kostum di tempat semewah ini.
“Kamu nggak tertarik dengan mereka?” tanyaku pelan.
Maarten tersenyum, lalu mendekat sedikit.
“Aku bukan laki-laki yang gampang tergoda oleh kilau dari luar. Aku lebih tertarik pada cahaya yang tidak bisa dilihat orang lain… tapi bisa kurasakan.”
Aku terdiam.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, aku merasa tidak perlu membandingkan diri.
Tidak perlu merasa kalah.
Karena ternyata, aku tidak sedang bersaing dengan siapa pun.
Aku hanya sedang duduk di samping seseorang yang tahu persis ke mana ia memilih memusatkan hatinya.
Gelas bir kami tiba tak lama kemudian.
Buih putihnya mengambang di bibir gelas, dinginnya masih terasa dari embun yang menetes di sisi kaca.
Kami bersulang kecil, hanya menyentuhkan gelas sambil tersenyum.
“Cheers,” kata Maarten.
“Cheers,” balasku pelan.
Kami minum perlahan, membiarkan rasa pahit itu mengalir di tenggorokan.
Aku sebenarnya tidak terbiasa minum bir, tapi malam ini rasanya berbeda.
Entah karena rasanya, atau karena siapa yang duduk di depanku.
Musik masih bergema keras di latar belakang, tapi di antara kami, hanya ada percakapan yang pelan, seolah dunia sengaja mengecilkan volumenya agar kami bisa saling mendengar.
Maarten meletakkan gelasnya di atas meja, menatapku lama.
“Jujur ya, Kelly…” katanya.
“Aku nggak pernah menyangka… aku bakal duduk di bar, di kota asing, bareng seseorang yang bahkan baru kukenal… dan merasa senyaman ini.”
Aku tersenyum kecil, menatap dasar gelasku.
“Aku juga nggak nyangka bisa secepat ini merasa dekat sama orang asing. Kamu bukan tipe yang gampang ditebak.”
Dia tertawa pelan.
“Dan kamu… bukan tipe yang mudah aku lupakan.”
Tanganku refleks menutup mulut, menyembunyikan senyum malu.
Maarten melihatnya dan hanya tertawa, lalu menyentuh pipiku perlahan dengan ujung jarinya.
Sentuhan itu ringan, tapi penuh rasa.
“Wajahmu itu,” katanya.
“Selalu berubah saat kamu malu. Aku suka.”
Aku menunduk, lalu minum sedikit untuk mengalihkan diri.
“Kamu selalu bilang hal-hal yang bikin aku bingung dan aku tidak tahu bagaimana aku harus meresponnya,” gumamku.
“Aku nggak butuh jawaban. Senyum kamu udah cukup jadi respon terbaik.”
Aku mendongak dan menatapnya dalam diam.
“Kamu selalu bisa ngomong dengan tenang. Kamu memang sangat ahli membuat wanita nyaman.”
Maarten menatapku, lalu menjawab serius,
“Nggak. Aku bahkan nggak ingat kapan terakhir kali aku bicara sepanjang ini bersama seseorang.”
Aku terdiam. Masih mendengarkannya.
“Serius,” lanjutnya.
“Aku biasanya cepat bosan. Atau orang-orang yang bersamaku cepat bosan. Tapi kamu beda. Kamu kayak... mata air yang tenang. Nggak berisik, tapi bisa bikin orang betah duduk berjam-jam tanpa sadar waktu berjalan.”
Aku tertawa kecil.
“Dan kamu kayak novel asing yang belum selesai kubaca. Aku penasaran, tapi takut halamannya habis terlalu cepat.”
Dia mendekat, menyandarkan sikunya ke meja.
Wajahnya makin dekat dengan wajahku, tapi masih menjaga jarak yang sopan.
Nafasnya hangat, tapi tidak mengganggu.
“Kamu takut malam ini berakhir?” tanyanya pelan.
Aku menatap matanya lama, lalu menjawab, jujur.
“Iya… karena aku nggak tau, apakah setelah ini semua masih terasa nyata.”
Maarten mengangguk pelan, matanya tidak lepas dariku.
“Aku juga. Tapi Kelly… kalau malam ini cuma jadi kenangan, aku janji akan menjaganya baik-baik. Tapi kalau kamu izinkan… aku ingin malam seperti ini tidak berhenti di sini saja.”
Aku merasa dadaku menghangat, padahal suhu di ruangan ini dingin.
Dan di antara semua wanita yang menari liar, musik yang berdentum, dan gelas-gelas yang terus berdenting, aku merasa seperti satu-satunya orang di dunia yang dilihatnya.
Bukan karena aku sempurna.
Tapi karena di matanya… aku cukup.......