Lin Muwan terkubur di makam kuno Permaisuri Qing dari Era Jingyuan yang tidak dikenal ketika menjalankan misi mencari jejak sejarah.
Namun, dia kemudian terbangun di tubuh selir Pangeran Kesembilan Dinasti Jing yang dibenci karena merupakan keturunan pemberontak. Lin Muwan kemudian menyadari bahwa dia datang ke masa saat Permaisuri Qing hidup.
Plum dan aprikot yang mekar di taman adalah kesukaannya, namun kehidupan yang bagus bukan miliknya. Hidupnya di ujung tanduk karena harus menghadapi sikap suaminya yang sangat membencinya dan masih mencintai cinta pertamanya. Dia juga mau tidak mau terlibat dalam persaingan takhta antara putra Kaisar Jing.
Pangeran Kedua yang lemah lembut, Pangeran Keempat yang penuh siasat, Pangeran Kesembilan yang dingin, siapakah di antara mereka yang akan menjadikannya Permaisuri? Dapatkah dia kembali ke kehidupan asalnya setelah hidupnya di Dinasti Jing berakhir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhuzhu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 6: RINTIHAN DI TENGAH MALAM
Suara rintihan yang tertahan membangunkan Sheng Jiayin di tengah malam. Pakaian basah kuyupnya mengering seiring waktu meski dia merasakan dingin menusuk tulang.
Samar-samar ia melihat bayangan yang terbentuk dari cahaya api yang temaram. Bayangan itu jelas milik Lin Muwan, yang tengah duduk membelakangi dia dan Murong Changfeng.
Lin Muwan kesulitan tidur di malam hari ketika rasa sakit dari luka yang infeksi kembali menyerang. Bekas tusukan anak panah di bahu kirinya bukannya membaik, tetapi malah mulai membusuk. Robekan yang panjang itu mulai menampilkan warna hitam yang samar entah sejak kapan.
Karena Murong Changfeng menekannya terakhir kali, sayatannya robek lagi dan tadi siang dia berendam bolak-balik di air danau untuk menyelamatkan nyawa. Pada luka seperti ini, infeksi yang dialaminya bisa menjadi parah jika tidak segera diobati dengan cara yang tepat.
Tapi, di zaman ini, mana ada rumah sakit dan dokter?
Tabib tidak bisa menjahit lukanya. Caranya mengobati hanya dengan membersihkan dan menaburkan bubuk obat.
Lin Muwan bahkan kesulitan mempertahankan hidupnya sendiri karena dia terikat dengan seorang pangeran bajingan bernama Murong Changfeng.
Lin Muwan hanya bisa bersikap tegar seperti biasa, seperti saat dia menjadi pemimpin para perampok makam di masa depan.
Kebencian di dalam hati Murong Changfeng yang harus ditanggung Lin Muwan sekarang sebenarnya tidak perlu dihiraukan. Jika ia ingin, dia bisa membiarkan Murong Changfeng mati tenggelam saat itu.
Tapi jika dia mati, bukankah tidak adil untuknya dan untuk orang lain? Murong Changfeng harus hidup agar dia bisa hidup juga.
Setelah membuka kaus dalam dan memastikan letak luka tersebut, Lin Muwan mengambil belatinya, memotong sebagian daging yang mulai membusuk.
Ini baru satu hari, tetapi infeksinya sudah sebesar ini. Kemungkinan anak panah yang tertancap padanya saat itu memiliki sedikit racun di ujungnya. Dia meringis saat merasakan dagingnya dipotong tanpa obat anestesi.
Keringat membanjiri keningnya walau di luar, udara sangat dingin dan hujan masih gerimis. Lin Muwan susah payah mencongkel daging yang membusuk, lalu dengan cepat menempelkan obat herbal yang ia tumbuk tanpa berpikir apakah itu akan berkhasiat atau tidak. Pada saat seperti ini, dia hanya bisa hidup mengandalkan dirinya sendiri.
“Murong Changfeng bajingan!” Lin Muwan memaki Murong Changfeng dengan marah. Jika bukan karena bajingan itu menekan lukanya, infeksinya tidak akan separah ini!
“Perlukah aku bantu?”
Keheningan pecah saat suara lembut Sheng Jiayin terdengar menyambangi telinganya. Lin Muwan tidak perlu repot untuk menolehkan kepala memandang wanita yang seharusnya menjadi musuhnya.
Mungkin wajar bagi seorang nona besar seperti Sheng Jiayin tidak bisa tidur. Dengan lingkungan tempat ia dibesarkan, tidur di dalam gua yang dingin dan gelap bukanlah sesuatu yang bisa membuatnya tidur nyenyak.
“Tidak perlu.”
“Tapi, kau kesulitan membalutnya sendiri.”
“Aku bilang tidak perlu. Jangan ikut campur. Ini tidak ada hubungannya denganmu.”
Baru kali ini Sheng Jiayin bertemu dengan wanita segalak Lin Muwan. Ketika mereka sering bertemu sebelumnya, mereka tidak pernah berinteraksi sama sekali. Bagaimana karakternya, seperti apa temperamennya, Sheng Jiayin benar-benar tidak akan pernah tahu sampai ia melihatnya sendiri malam ini.
Seorang wanita, yang separuh hidupnya dihabiskan di kediaman militer bersama keluarganya dan terpaksa masuk ke kediaman pangeran sebagai selir, tentu memiliki banyak keluhan dan ketidaknyamanan di dalam hatinya.
Lin Muwan semula tidak akan pernah menyangka akan menjadi selir Pangeran Kesembilan setelah keluarganya jatuh. Murong Changfeng diikat di dua situasi. Dia mencintainya, tetapi dia tidak dapat melepaskan Lin Muwan karena Kaisar.
Apakah hidup dalam tekanan dan penindasan telah membangun karakter keras di dalam diri Lin Muwan? Sheng Jiayin bahkan tidak dapat membayangkannya.
“Nona Lin, biarkan aku membantumu.”
“Pergi, jangan ganggu aku!”
Penolakan tegas membuat Sheng Jiayin menyimpan kembali niatnya ke dalam hati. Mundur adalah jalan terbaik ketimbang terus memaksa membantu dan menimbulkan keributan.
Bagaimanapun, Lin Muwan telah menyelamatkan nyawanya hari ini, tidak baik mengganggu waktu kesendiriannya di tengah malam. Rasa sakitnya, dan juga luka-lukanya, bukanlah sesuatu yang bisa ditebus Sheng Jiayin.
Setelah memastikan gadis nomor satu di ibukota kembali ke tempatnya, Lin Muwan memaksakan diri membalut lukanya dengan tangan kiri.
Kain putih yang membalut lukanya sudah lusuh dan basah. Seandainya ia ada di tenda, ia akan meminta tabib membawakan kain yang baru, tapi dia tahu dia tidak dapat melakukannya.
Tanpa ia ketahui, Murong Changfeng telah diam-diam memperhatikan semua gerak-geriknya sejak Lin Muwan membuka pakaian putih tipisnya. Dia menyaksikannya, menyaksikan semua tindakan wanita yang dibencinya dari awal hingga akhir.
Bagaimana dia mencongkel luka membusuknya dengan belati, bagaimana dia menolak Sheng Jiayin dengan tegas, dan bagaimana dia membalut kembali lukanya dengan susah payah, semuanya ia saksikan dalam diam.
Murong Changfeng melihat napas Lin Muwan berangsur-angsur menjadi tenang. Meskipun keringat di dahinya sudah berkurang, namun dia bisa memastikan kalau tubuh wanita itu mengalami demam. Wajah dan bibirnya pucat, tubuhnya bergetar meski dia duduk di depan perapian.
“Wanita bodoh,” Murong Changfeng memakinya, suara rendahnya tersamarkan oleh suara rintik hujan yang masih turun di luar gua. Ketika Lin Muwan berhenti merintih, Murong Changfeng memutuskan untuk memejamkan matanya lagi.
Di pagi harinya, Murong Changfeng terbangun dengan rasa sakit di pahanya. Luka dari anak panah yang datang melukainya membengkak.
Kain pembungkusnya basah dan lembab. Dia melihat sekeliling, lalu tatapannya jatuh pada sosok Sheng Jiayin yang sedang mengipasi api.
“A Yin…”
Sheng Jiayin menoleh. Matanya memancarkan sinar, namun ekspresinya lalu berubah menjadi datar. “Pangeran, kau sudah bangun?”
“Ya.”
Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Sheng Jiayin mengabaikan Murong Changfeng dan terus mengipasi api dengan daun kering hingga menyala kembali.
Di luar, gerimis masih belum berhenti turun. Udara di dalam gua benar-benar menjadi dingin. Pakaiannya basah, dan tidak dipungkiri dia merasa kedinginan.
Murong Changfeng menyeret kakinya mendekati Sheng Jiayin. Maksudnya, dia juga ingin menghangatkan dirinya.
Namun, Sheng Jiayin menggeser posisinya seperti sengaja menjauhinya, sehingga Murong Changfeng secara alami berhenti. Dirinya sudah cukup malu karena dilihat dalam keadaan payah seperti ini.
“Siapa di antara kalian yang punya pisau?”
Suara Lin Muwan memecah keheningan di dalam gua. Seketika Murong Changfeng sadar bahwa Lin Muwan sebenarnya tidak ada di sini tadi.
Wanita itu masuk ke dalam gua memakai selapis pakaian tipisnya yang ternoda darah. Bayangannya sedikit terbentuk ketika mendekati cahaya api, kecil dan sangat ringkih. Dia juga terlihat pendek.
Lin Muwan baru kembali setelah menjelajahi area sekitar gua. Menurutnya, berdiam diri di dalam gua tidak ada gunanya.
Dia harus keluar untuk mencari makan atau kembali ke perkemahan. Tapi, dia tidak sanggup jika harus menyelam kembali ke dalam air untuk sampai di seberang danau tempatnya kemarin.
Kebetulan, di sebelah barat gua ini adalah hutan bambu. Lin Muwan berencana menebang beberapa batang dan membuat rakit sederhana, tapi dia lupa dia tidak membawa pisau. Jadi, dia hanya bisa kembali untuk bertanya apakah ada salah satu di antara kedua orang itu yang membawa pisau.
Setelah beberapa detik tidak ada jawaban, Lin Muwan menghela napasnya.
“Aku hanya ingin meminjamnya sebentar!”
Masalahnya, kedua orang itu malah diam. Lin Muwan benar-benar merasa jengah.
Seharusnya dia tidak kembali lagi kemari. Seharusnya dia membiarkan kedua orang ini bertahan dengan cara mereka sendiri.
“Nona Lin, Jiayin tidak tahu apakah pisau ini akan berguna untukmu atau tidak,” dengan ragu, Sheng Jiayin menyodorkan sebuah belati yang ia sembunyikan di jubah bajunya kepada Lin Muwan.
Lin Muwan lantas mengambilnya. Ketika bilahnya terpisah dari sarungnya, Lin Muwan menggoreskannya ke jarinya sendiri hingga jari telunjuknya berdarah.
Sheng Jiayin membelalakkan matanya, melihat dengan terkejut atas aksi yang baru saja dilakukan oleh Lin Muwan. Lin Muwan…. Melukai dirinya sendiri?
“Tidak cukup tajam. Hei, kau, apakah kau punya pisau?”
Merasa belatinya tidak cukup tajam untuk menebang batang bambu, Lin Muwan mengembalikannya dan bertanya pada Murong Changfeng.
Sekali lagi, dia diabaikan seperti tadi. Lin Muwan menggertakkan giginya, menahan emosi yang terkumpul di dalam hatinya.
“Karena kau tidak ingin selamat, ya sudah.”
Lin Muwan berbalik, berniat meninggalkan mereka untuk menyelamatkan diri sendiri. Tapi, perhatiannya kemudian ditarik pada sebilah pedang yang masih tersimpan bersama sarungnya. Pedang dengan gagang berwarna hijau giok itu tampak menawan, Lin Muwan tanpa sadar menelan air liurnya.
Jika pedang itu dijual di masa depan, bukankah harganya sangat mahal?
Tidak, itu lebih berharga jika dimuseumkan di Museum Nasional. Dia buru-buru membuang pikiran absurdnya, lalu mengambilnya tanpa izin. Dia mengabaikan tatapan marah Murong Changfeng yang tidak terima pedangnya diambil.
“Pedang ini tidak berguna jika kau terus menyimpannya. Pangeran Kesembilan, aku akan meminjamnya sebentar.”
“Kau! Letakkan kembali pedangku!”
Namun, Murong Changfeng mendapat pengabaian yang sangat parah dari Lin Muwan, yang terus berjalan keluar dari gua dan tidak kembali lagi.