Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 7
Senyum jahil Jasmine masih terngiang di pikiran Adimas. Ini semua karena perihal pakaian yang disediakan Adimas untuk Jasmine. Jangan mengira kalau Adimas melakukan itu sebagai bentuk perhatian pada Jasmine yang memang belum sempat membawa pakaian ganti ke rumah ini. Semua itu Adimas lakukan hanya karena tidak ingin Jasmine tetap memakai pakaian yang sudah seharian ia pakai.
Adimas tidak bisa mentolerir hal-hal yang dia anggap menjijikan itu. Ia punya standar kebersihan dan kerapian sendiri. Selama Jasmine berada di kamarnya, maka ia tidak ingin kehadiran gadis itu akan membawa penyakit.
Namun sepertinya itu membuat Jasmine besar kepala dan Adimas membenci itu. Catat! Adimas benci melihat Jasmine bahagia.
Tidak lama kemudian, suara pintu kamar mandi terbuka terdengar Adimas, namun Adimas tidak ingin peduli dengan apapun yang Jasmine lakukan. Adimas justru memilih untuk kembali fokus dengan buku yang ia baca.
"Terima kasih sudah menyiapkan ini," ucap Jasmine lembut, senyum kecil menghiasi wajahnya.
Perempuan itu sudah memakai pakaian bersih. Lengkap dengan jilbabnya.
Adimas menghentikan bacaannya sejenak, lalu tersenyum sinis. "Jangan bahagia begitu. Saya menyiapkan itu supaya kamu tidak membawa penyakit ke sini kalau tetap memakai baju bau itu."
“Tapi tetap saja. Itu adalah salah satu kebaikan yang tidak akan aku lupakan," Jasmine masih berdiri di dekat sofa.
Adimas menegakkan tubuhnya dan menoleh dengan sorot tajam. “Iya. Terserah kamu. Yang jelas, saya tidak melakukan itu untuk kebaikan kamu. Sama sekali tidak. Itu semua demi saya sendiri. Kalau bukan karena eyang yang terus memaksa, saya juga tidak akan sudi menikahi kamu."
Jasmine membeku sesaat. Lalu ia justru tersenyum lagi, senyum hangat yang entah kenapa membuat dada Adimas terasa panas.
"Iya. Aku tahu. Tanpa kamu jelaskan pun aku tahu." Masih dengan senyum hangat Jasmine menanggapi ucapannya.
Adimas kesal. Ia benci perempuan itu. Kenapa Jasmine masih bisa tersenyum seperti itu setelah semua cemoohan halus darinya?
“Jangan senyum terus. Menjijikkan,” gerutunya kesal.
Tanpa menoleh, Adimas berdiri dan mengambil sebuah bantal dari sisi ranjang, lalu menyerahkannya ke Jasmine yang masih duduk di sofa.
“Kamu tidur di sini. Saya tidak mau tidur satu tempat tidur dengan kamu,” katanya ketus. "Jangan berisik karena saya sangat terganggu dengan suara kamu. Awas saja kalau kamu nanti sampai mendengkur." Adimas bahkan tidak bisa berkata dengan nada biasa pada Jasmine.
Sepertinya bibit kebencian itu kini benar-benar sudah tumbuh dengan baik.
Jasmine hanya menerima bantal itu dengan tenang. “Iya. Terima kasih bantalnya,” jawabnya singkat.
Adimas mendengkus kesal. Ia benci sikap tenang Jasmine. Perempuan itu bahkan lebih banyak diam dan tersenyum saat Adimas berkata kasar. Entah kemana menghilangnya sifat menjengkelkan dan tidak ingin kalah Jasmine beberapa tahun lalu.
Sekarang tanpa memperdulikan apakah Jasmine bisa tidur dengan nyenyak, Adimas langsung berbaring di tempat tidurnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Ia hampir melupakan sesuatu.
Tanpa menunggu lama, ia pun segera melangkah pelan menuju laci nakas. Itu obatnya.
Ia tidak ingin kejadian semalam terulang kembali. Adimas membenci kenyataan Jasmine melihat sisinya yang lemah dan tidak berdaya.
Adimas lalu menoleh ke sofa, tempat Jasmine yang kini sudah tidur. Setelah melihat Jasmine tidur dengan lelap, Adimas pun segera minum obatnya. Setelah itu, ia segera kembali ke ranjangnya. Perlahan matanya mulai merasa mengantuk.
Adimas segera mematikan lampu kamar dan menyisakan lampu di dekat nakas. Ia pun segera memejamkan matanya. Dalam hati ia berharap agar mimpi buruk itu tidak lagi hadir.
Walaupun mimpi buruknya sekarang juga ada dalam bentuk lain, yaitu kehadiran Jasmine.
Suasana hening menyergap keduanya. Kini mereka berdua sudah sama-sama terlelap. Waktu terus berjalan. Setiap denting waktunya terus bergerak hingga lewat dini hari.
Ketika manusia sedang menikmati waktu istirahatnya, begitu pula Adimas. Lelaki itu sedang tidur dengan nyenyak. Hingga tiba-tiba antara sadar dan tidak, Adimas merasakan ada yang menepuk lengannya dengan pelan. Awalnya Adimas enggan peduli, namun tidak hanya pelukan, namun suara lembut itu juga tiba-tiba masuk ke mimpinya.
"Mas...."
Adimas mengerjap, merasa tepukan dan panggilan itu semakin terasa. Dengan malas ia membuka mata dan mendapati Jasmine sedang berdiri di dekatnya.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Adimas kesal, kemudian beranjak duduk.
"Aku mau minta tolong," suara Jasmine itu terdengar lirih. Namun karena kamar yang kurang pencahayaannya sehingga Adimas tidak bisa melihat jelas wajah Jasmine.
“Ada apa lagi?” gumamnya, suaranya berat karena baru bangun.
Jasmine terdengar menahan rasa sakit, suaranya pelan, “Maaf… perutku… kayaknya asam lambungku kambuh. Aku belum sempat makan malam tadi….”
Adimas mengusap wajahnya kesal. "Terus? Saya bukan dokter. Saya tidak bisa menyembuhkan kamu."
"Tidak. Bukan itu. Aku mau minta tolong kamu untuk buatkan makanan untuk aku. Perutku benar-benar ngilu dan mulai mual. Tolong, Mas," jawab Jasmine menatap Adimas penuh harap.
Kesadaran Adimas sudah pulih sepenuhnya. Lalu tadi Jasmine bilang meminta dirinya membuatkan makanan untuk Jasmine? Ah tidak. Itu tidak mungkin
ia lakukan. Ia memang bisa memasak, namun jika harus memasak untuk Jasmine tentu saja ia akan menolak.
"Nggak. Saya nggak mau. Di rumah ini punya beberapa juru masak. Kamu minta saja ke mereka." Adimas baru saja akan berbaring kembali, namun dengan cepat Jasmine menarik tangannya.
"Aku mohon. Aku tidak mungkin membangunkan mereka karena ini masih jam setengah 2 pagi. Tolong aku,"
"Kenapa nggak kamu saja yang masak?" tanya Adimas dengan mata menyipit. Hingga sebuah praduga muncul di kepalanya. "Kamu tidak mungkin tidak bisa masak, kan?"
Jasmine tidak menjawab. Ia justru menunduk. Adimas sampai tercengang dibuatnya. Bagaimana bisa seorang Shaffiya Jasmine yang diketahuinya seringkali memberikan kelas untuk membuat aneka pastry dan dessert ternyata tidak bisa memasak?
Inilah yang dinamakan bahwa Tuhan memang menciptakan dengan kekurangan dan kelebihannya. Jasmine yang dikira banyak orang ahli di dapur ternyata buta bumbu.
"Tolong, Mas. Perutku rasanya sudah semakin sakit."
Mendengar nada lirih itu tentu saja mengganggu sisi kemanusiaan Adimas. Ia memang membenci Jasmine, namun membiarkannya tetap merintih kesakitan dan mual-mual di kamarnya tentu saja bukan pilihan yang baik.
“Dasar nyusahin,” gumam Adimas, namun ia sudah berdiri lalu melangkah keluar kamar diikuti Jasmine. Namun baru saja sampai di pintu, lelaki itu berbalik.
"Kamu tetap di sini. Kalau kamu pingsan nanti nyusahin saya lagi," kata Adimas dengan ketus.
Jasmine mengangguk lalu segera menuju sofa. Sedangkan Adimas kembali melangkah menuju dapur.
Walaupun kesal, sesampai di dapur Adimas langsung memulai memasak untuk Jasmine. Ia melihat ada beberapa bahan di kulkas yang bisa ia masak untuk Jasmine. Ia memang tidak mengetahui makanan apa yang cocok untuk penderita asam lambung, namun melihat perempuan itu yang tampaknya kesakitan dan bisa jadi karena iritasi lambungnya barangkali makanan yang bertekstur lunas adalah pilihan yang bagus.
Lelaki itu berencana akan memasak bubur untuk Jasmine. Dengan cekatan ia mulai mempersiapkan bahan-bahannya dan mulai mengolah bahan-bahan tersebut. Tidak butuh waktu lama, semangkuk bubur dan juga segelas air hangat akhirnya siap.
Adimas lalu segera membawa makanan tersebut ke kamar. Saat ia masuk ke kamar ternyata Jasmine sedang berbaring di sofa, sehingga ia langsung duduk ketika melihat Adimas. Masih dengan ekspresi datar dan tajamnya, ia kemudian meletakkan makanan dan minuman tersebut di depan Jasmine.
"Cepat makan. Saya tidak mau nanti kamu pingsan dan menyusahkan saya," ucapnya lalu segera duduk di tepi tempat tidur.
Jasmine menatap hidangan itu dengan mata berbinar dan hatinya begitu menghangat, “Terima kasih…” ucapnya pelan dengan tulus.
Adimas mengalihkan pandangannya. “Ini adalah kali terakhir saya mau susah karena kamu. Tidak usah sok terharu begitu."
Jasmine tidak membalas. Ia mulai makan perlahan, tampak berusaha menelan meski perutnya masih perih. Adimas melirik diam-diam, dan entah kenapa dadanya terasa sedikit lega melihat wajah Jasmine mulai berangsur pulih warnanya.
Ia tetap duduk di situ, meskipun tidak berkata apa-apa, dan tidak berpaling sedikit pun saat Jasmine menikmati makanannya dengan lahap.
Timbul rasa bersalah di hati Adimas melihat Jasmine kesakitan seperti tadi. Ah tidak, ini bukan salahnya. Seharusnya Jasmine makan dulu sebelum ia jemput. Lagipula seharusnya perempuan itu mengiyakan untuk makan saat bundanya menawarkan untuknya makan malam.
Jasmine makan perlahan. Ekspresi perempuan itu tampak begitu senang. Hingga akhirnya bersuara karena makanan itu habis tanpa sisa.
"Terima kasih, Mas. Buburnya enak," puji Jasmine dan ia berencana membawa peralatan makan tersebut keluar.
Adimas langsung berdiri. "Biar saya yang bereskan." Adimas melangkah menuju Jasmine. "Nanti kamu tidur di tempat tidur saja. Saya tidak mau kamu sakit dan membuat orang rumah khawatir lalu menyalahkan saya," ujarnya sambil membereskan peralatan makan Jasmine.
"Kondisiku sudah lebih baik. Tidur di sini juga bukan hal yang buruk. Sofanya empuk dan-"
"Dan itu akan membuat saya terlihat buruk di mata keluarga saya." Adimas memotong perkataan Jasmine. Lelaki itu sudah siap membawa peralatan makan tersebut keluar. "Jangan protes. Hanya untuk malam ini kamu bisa tidur di sana. Catat, hanya malam ini."
Tanpa memperdulikan Jasmine yang mengangguk pelan dengan ekspresi bingung, Adimas segera pergi.
"Kendalikan dirimu, Dim. Jasmine itu adalah penyebab hancurnya Rindu. Jadi kamu jangan terlalu lunak bersikap padanya," gumam lelaki itu dalam hati.