Zahra, seorang perempuan sederhana yang hidupnya penuh keterbatasan, terpaksa menerima pinangan seorang perwira tentara berpangkat Letnan Satu—Samudera Hasta Alvendra. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena uang. Zahra dibayar untuk menjadi istri Samudera demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran ekonomi akibat kebangkrutan perusahaan orang tuanya.
Namun, tanpa Zahra sadari, pernikahan itu hanyalah awal dari permainan balas dendam yang kelam. Samudera bukan pria biasa—dia adalah mantan kekasih adik Zahra, Zera. Luka masa lalu yang ditinggalkan Zera karena pengkhianatannya, tak hanya melukai hati Samudera, tapi juga menghancurkan keluarga laki-laki itu.
Kini, Samudera ingin menuntut balas. Zahra menjadi pion dalam rencana dendamnya. Tapi di tengah badai kepalsuan dan rasa sakit, benih-benih cinta mulai tumbuh—membingungkan hati keduanya. Mampukah cinta menyembuhkan luka lama, atau justru semakin memperdalam jurang kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafacho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7.
Zera, adik dari Zahra ternyata tak sengaja melihat kakaknya yang menangis dari balik pintu yang sedikit terbuka.
"kamu kenapa ngelakuin semua ini sih mbak, kamu nggak tahu kalau Samudera itu cuman balas dendam sama aku" lirih Zera menatap iba kakaknya yang terlihat perlahan menghapus air matanya.
setelah itu Zera langsung pergi, niatnya tadi ingin bicara pada Zahra tapi tidak jadi.
"aku harus bicara dengan Samudera, dia tidak bisa menghancurkan masa depan kakakku" batin Zera berbicara, dia dengan langkah cepat pergi dari depan pintu kamar Zahra.
Zera berjalan menuju kamar nya terlebih dahulu, dia ingin melihat anaknya dan bilang pada Mamanya kalau dia ingin pergi sebentar dan menitipkan sang anak.
Zera kini sudah berada di dalam kamarnya dia melihat Ibunya yang tengah menggendong anaknya saat ini.
"bu.. " ucap Zera pada Ibunya yang tadinya membelakangi dirinya.
"Iya kenapa Zera? " tanya sang ibu sambil berbalik menatap sang anak.
"aku titip Sean dulu ya, Aku mau keluar sebentar" ucap Zera pada sang ibu.
"mau keluar kemana kamu? "
"aku ada janji sebentar dengan temanku, nggak pa-pa kan bu" ucap Zera pada ibunya.
"Ya sudah, kamu jangan lama-lama".
"iya cuman bentar kok" jawab Zera dan langsung pergi.
.................
Ternyata Zera menemui Samudera, ia menunggu dengan gelisah pria itu.
Tak lama kemudian datang sebuah mobil dan Samudera turun dari mobil itu. mereka berdua saat ini berada di taman tak jauh dari rumah.
"kenapa kau mengajakku bertemu? "
"Sam, tolong batalkan pernikahan mu dengan kakakku. Mbak Zahra nggak ada hubungan nya dengan kita, jangan sakiti ka.. " belum selesai Zera bicara Samudera langsung mencengkram leher Zera.
Cengkraman tangan Samudera di leher Zera begitu tiba-tiba dan kasar hingga membuat Zera tersentak, tubuhnya terdorong ke belakang dan nyaris terjatuh kalau saja Samudera tidak menariknya lagi mendekat.
Mata Samudera membara, rahangnya mengeras, menahan amarah yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
"Kau pikir kau masih punya hak bicara setelah apa yang kau lakukan pada abangku?" desis Samudera penuh emosi.
Zera tersedak, tangannya berusaha melepaskan cengkeraman Samudera di lehernya. Napasnya tersengal, matanya memerah menahan sakit.
"A-aku tahu aku salah, Sam…" lirih Zera dengan susah payah. "Tapi jangan libatkan Mbak Zahra… dia tidak tahu apa-apa… dia cuma… dia cuma korban."
Samudera mendorong Zera dengan kasar hingga gadis itu terhuyung dan jatuh terduduk di atas rerumputan taman. Nafas Zera terengah, tangannya memegang leher yang masih perih.
"Kau pikir aku peduli?!" bentak Samudera. "Kau membuat abangku mati! Sekarang aku akan pastikan kau juga tahu rasanya kehilangan! Zahra akan merasakannya, sama seperti aku kehilangan satu-satunya orang yang kuanggap rumah!"
Zera menggeleng sambil menatap Samudera, air matanya jatuh. "Mbak Zahra nggak salah, Sam… dia bahkan selama ini yang selalu menolong ku… dia satu-satunya orang yang tetap berdiri untukku…Dia juga sudah banyak berkorban tolong, jangan lukai dia."
Samudera seperti tak perduli tatapan nya tampak beku, tak tersentuh oleh permohonan itu. Ia menatap Zera lama sebelum akhirnya memalingkan wajah.
"Sudah terlambat, Zera. Segalanya sudah terlambat." ucapnya pelan dan begitu tajam.
Tanpa menoleh lagi, Samudera berjalan pergi, meninggalkan Zera yang masih terduduk, gemetar dengan isak tangis yang mulai pecah.
Langit sore itu tampak muram. Dan di dalam dada Zera, rasa takut mulai tumbuh—bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk Zahra, sang kakak, yang akan menikah bukan karena cinta… tapi karena balas dendam.
........................
