"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Sadewa duduk di kursi kebesarannya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja di depannya sambil membaca semua info tentang Syifa. Wajahnya tetap dingin, tetapi matanya menunjukkan ketajaman yang siap menembus segala intrik.
“Tuan, rumah yang sekarang ditempati Syifa sebenarnya adalah milik orang tuanya. Namun, setelah kecelakaan itu, pamannya yang bernama Wahyu, mengambil alih segalanya. Begitu juga dengan kepemilikan Pondok Pesantren Hidayah,” jelas Hendri.
Sadewa mendongak, matanya menyipit penuh kecurigaan. “Pondok pesantren?”
Hendri mengangguk. “Iya. Awalnya pondok itu didirikan oleh ayah Syifa bersama Ustaz Rayyan. Tapi setelah kepergian orang tua Syifa, Wahyu memanfaatkan posisinya untuk mengendalikan segalanya. Sayangnya, dia belum memiliki kepemilikan penuh. Ada sebagian hak milik yang masih atas nama Syifa.”
Sadewa meremas kertas di tangannya. “Jadi itu alasan mereka ingin menikahkan Syifa dengan Ustaz Rayyan?”
“Tepat, Tuan. Jika Syifa menikah dengan Ustaz Rayyan, maka seluruh kepemilikan pondok otomatis jatuh ke tangan mereka. Wahyu hanya perlu memastikan keponakannya itu patuh dan tidak melawan.”
Sadewa menatap ke luar jendela, melihat gelapnya malam yang terasa seolah mencerminkan niat busuk orang-orang di sekitar Syifa. Hatinya semakin tak tenang. Wajah cantik itu tidak seharusnya bersedih.
"Pengacara kita bisa dengan mudah mengembalikan hak milik Syifa. Apa Tuan mau melakukan itu?"
Sadewa menatap Hendri dengan sorot mata penuh keyakinan. Pikirannya telah bulat. Mengambil alih kepemilikan pondok pesantren dari Wahyu memang pilihan yang mudah, tetapi itu tidak akan menyelesaikan masalah utama. Syifa sudah terlalu lama hidup dalam tekanan, dan dia harus membebaskannya. Harta bukan hal yang utama. Dia bisa memberi Syifa lebih dari semua itu.
“Aku akan membawa Syifa pergi. Tidak perlu mengurus harta yang tidak seberapa itu,” ujar Sadewa dengan tegas.
Hendri mengangkat alis, tampak sedikit terkejut. “Bagaimana jika dia menolak, Tuan?”
Senyum tipis tersungging di bibir Sadewa. Dia mengingat kembali pertemuannya dengan Syifa di taman itu.
“Dia pasti akan menolak jika aku membawanya begitu saja. Tapi aku akan menikahinya, dengan begitu aku dan Syifa akan terlibat dalam hubungan yang sah dan halal,” jawabnya sambil tersenyum kecil. "Kamu siapkan saja semuanya. Mahar dan semua surat-suratnya."
Hendri mengangguk pelan. “Baik, Tuan. Saya akan menyiapkan segalanya.”
Sadewa bangkit dari kursinya, menatap keluar jendela kantornya yang tinggi, memandangi kerlap-kerlip lampu kota. Jauh di sana, Syifa mungkin sedang berjuang sendirian, dikurung dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungannya. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi lebih lama lagi.
...***...
Hari itu tiba. Syifa duduk di depan cermin, mengenakan kebaya putih yang dipilihkan oleh Bibi Nur. Seorang MUA merias wajahnya, mengubahnya menjadi pengantin yang sempurna di mata orang lain. Tapi di dalam dirinya, Syifa merasa hampa.
Sejak alat pendengarannya rusak, dia tidak bisa mendengar apa pun. Dunia terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Orang-orang di sekelilingnya berbicara, mulut mereka bergerak, tapi dia tidak tahu apa yang mereka katakan. Bahkan saat Bibi Nur tampak mengomel sambil menunjuk-nunjuk dirinya, Syifa hanya bisa menatap pantulan dirinya tanpa ekspresi.
Sementara tangan sang MUA sibuk merapikan riasannya, pikirannya terus melayang pada Sadewa.
"Aku akan menunggu di taman ini."
Suara itu masih terngiang dalam ingatannya. Dia tidak tahu apakah Sadewa benar-benar serius atau hanya sekadar bercanda. Tapi saat ini, dia ingin percaya.
Tangannya menggenggam erat ujung kebayanya. Jika dia tetap diam, maka nasibnya akan terkunci selamanya. Jika dia tidak bergerak sekarang, maka selamanya dia akan menjadi istri kedua dari seseorang yang tidak dia inginkan.
Aku harus menemuinya.
Keputusan itu muncul begitu saja di benaknya. Secepat mungkin, sebelum semuanya terlambat.
Setelah riasannya selesai, Syifa duduk sendiri di kamar sedangkan semua orang di rumah itu sedang sibuk mempersiapkan semuanya.
Syifa berdiri dan melangkah pelan keluar dari rumahnya. Dia sangat berhati-hati agar tidak ada yang melihatnya. Keinginannya untuk bebas lebih kuat dari rasa takutnya.
Setelah berhasil keluar dari rumah, dengan langkah cepat, dia berjalan menuju taman di dekat pondok pesantren, tempat yang sebelumnya menjadi saksi bisu pertemuannya dengan Sadewa. Matanya terus mencari sosok pria itu, berharap dia benar-benar ada di sana seperti yang dijanjikan. Namun, taman itu sepi.
Bangku kayu tempat mereka duduk terakhir kali kosong, tak ada tanda-tanda keberadaan Sadewa. Syifa menggigit bibirnya, menahan rasa kecewa yang mulai menyeruak di dadanya. Dia berdiri di tengah taman, menoleh ke kiri dan kanan, berharap ada pria itu.
Tapi tetap saja, tidak ada siapa-siapa.
Dengan napas yang mulai tidak beraturan, Syifa melangkah ke bangku kayu itu dan duduk. Tangannya meremas kain kebayanya dan pikirannya semakin kalut.
"Apa dia bohong?"
Angin berhembus lembut, mengusap wajahnya yang dipenuhi rasa cemas. Syifa menunduk, menatap kedua tangannya yang bergetar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia mengambil keputusan besar. Dia melawan paman dan bibinya dan dia menentang pernikahan yang tidak dia inginkan.
Syifa menutup matanya, mencoba menghilangkan kekecewaan yang semakin menyesakkan. Jika memang Sadewa tidak datang, maka dia harus mencari jalan lain. Tapi ke mana? Ke mana lagi dia bisa pergi?
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔