NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 7 - Negosiasi

Aku menggenggam ujung rokku dengan erat, berusaha menenangkan detak jantung yang terasa semakin tidak wajar. Desingan taxi melaju menjauh, tinggalah aku sendiri di depan rumah besar ini.

Menelan ludah susah payah, aku tidak menyangka akan sampai di rumah keluarga ini. Rasanya gugup sekali, apalagi kedatanganku ini bukan hanya untuk bertemu dengan Darius, tapi juga dengan orang tuanya.

Aku tidak pernah berniat untuk bertemu mereka, apalagi dalam situasi seperti ini. Tapi tidak ada pilihan lain, Darius sulit dihubungi sejak hari di mana dia menetapkan tanggal pernikahan secara sepihak.

Suara gerbang yang ditarik membuatku terkesiap. Dua orang pelayan menyambutku.

“Selamat datang Nona.”

Aku tersenyum kikuk.

Salah satu dari mereka membawaku menuju ruang tamu yang luas. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan klasik, lampu gantung kristal menggantung dengan anggun di langit-langit, dan aroma teh melati samar tercium di udara. Semuanya terlihat sempurna … tapi atmosfer di ruangan ini terasa begitu dingin.

Di ujung ruangan, duduklah mereka.

Ibu dan ayahnya—Bu Mariana dan Pak Pram.

Sosok yang selama ini hanya kudengar namanya, kini ada di hadapanku dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kamu akhirnya datang.” Suara Bu Mariana terdengar ringan, tapi dinginnya menyelusup tajam ke dalam dadaku.

Aku menelan ludah—tersenyum tipis, lalu membungkukkan badan kecil. “Selamat sore, Tuan, Nyonya.”

Tak ada balasan, hanya tatapan yang menelanjangiku dari kepala hingga kaki. Mereka tidak terlihat marah. Tidak juga kecewa. Tapi ada sesuatu dalam sorot mata mereka yang membuatku merasa … tidak diinginkan.

Aku mencoba mempertahankan senyum sopanku. “Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Nyonya dan Tuan hari ini.”

Pak Pram akhirnya membuka suara. “Kami juga tidak mengira akan bertemu denganmu secepat ini. Namun, sejak kejadian itu, sepertinya pertemuan ini tidak bisa dihindari.”

Kejadian itu.

Yang mereka maksud tentu saja tentang kondisi putra mereka yang mengalami kehilangan ingatan

Tentang bagaimana dia menganggap aku sebagai tunangannya—Kak Soraya yang telah tiada.

“Silakan duduk,” kata Pak Pram mempersilakan.

Aku mengangguk singkat, berjalan hati-hati menuju meja dan bergabung dengan mereka. Duduk di seberang, seperti sedang duduk dalam belenggu. Seolah aku tidak memiliki ruang gerak bebas, bahkan jika sekadar untuk beradu pandang.

Bu Mariana meletakkan cangkir tehnya dengan gerakan anggun, lalu menatapku lebih dalam. “Aku dengar kamu telah menghabiskan banyak waktu bersamanya sejak dia dirawat di rumah sakit.”

Aku mengangguk pelan. “Ya, aku … aku hanya mencoba membantu apa yang bisa aku lakukan.”

Lantas Bu Mariana tersenyum tipis, tapi tidak ada kehangatan di sana. “Itu bagus. Kami menghargai usahamu. Kami tahu betapa pentingnya sosok tunangannya dalam hidupnya.”

Aku menahan napas sejenak. Sosok tunangannya. Bukan aku. Aku bisa membaca makna tersirat dari kata-kata itu.

Mereka tidak benar-benar melihatku sebagai bagian dari keluarga mereka. Bagaimanapun, dalam pandangan mereka, aku hanyalah bayangan dari seseorang yang telah tiada.

Seorang pengganti sementara.

Bukan seseorang yang benar-benar pantas berada di sisi putra mereka. Aku tahu dan itu membuatku merasa tidak nyaman berada di sini, entah berapa kali aku melinting ujung rokku di bawah meja ini.

“Kami tidak mempermasalahkan apa yang terjadi sekarang,” lanjut Pak Pram, menyesap tehnya dengan tenang. “Kami mengerti bahwa keadaan ini berada di luar kendali kita semua.”

Bu Mariana menambahkan, “Tapi, tentu saja, kami ingin yang terbaik untuk putra kami.”

Nada suaranya terdengar lembut, tapi aku tahu itu bukan sebuah pernyataan tanpa makna.

Aku hanyalah seseorang yang kebetulan berada di pusaran kejadian ini—seseorang yang mereka anggap tidak cukup baik untuk berdiri di sisi putra mereka.

Aku meremas ujung rokku lebih erat, menahan perasaan tidak nyaman yang merayapi dadaku.

“Maaf jika lancang,” akhirnya aku berbicara, mencoba menjaga nada suaraku tetap stabil, “tapi … jika Tuan dan Nyonya ingin saya menjauh, saya bisa—”

“Tidak perlu.”

Aku terdiam saat perkataan dingin itu terlontar dari mulut Bu Mariana dengan ekspresi dingin nan menusuk. Seakan setelah mendapat perlakuan ‘tidak acuh’ seperti ini pun aku tetap tidak dibiarkan untuk mundur.

Bu Mariana tersenyum lagi, tapi kali ini senyumannya lebih menyeramkan daripada sebelumnya. “Dia membutuhkanmu sekarang. Dan sejauh ini, kamu sudah melakukan tugasmu dengan cukup baik.”

Sebuah tugas.

Aku menelan kepahitan yang mulai merayapi tenggorokan. Ya, semua ini hanya bagian dari tugas yang tak mampu aku hindari. Sekalipun jika itu di luar batas kemampuanku.

“Kami hanya berharap,” lanjut Pak Pram, “kamu tidak membuat keputusan yang akan merugikan putra kami.”

Ada makna tersembunyi di balik kata-kata itu.

Aku tidak tahu apakah ini sebuah ancaman halus atau hanya sekadar pengingat. Tapi satu hal yang pasti—mereka tidak memandangku sebagai seseorang yang penting.

Sebelum aku bisa mencari alasan untuk segera pergi untuk terbebas dari situasi ini, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Langkah yang kukenal baik.

Seketika suasana ruangan berubah.

“Aku terlambat, ya?”

Aku menoleh dan melihatnya berdiri di ambang pintu. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang sedikit tergulung, rambutnya sedikit berantakan seolah dia baru saja terburu-buru ke sini.

Dia akhirnya muncul dengan tampang tak bersalah—padahal telah menghilang beberapa hari tanpa memberi kepastian apa-apa. Aku berusaha untuk tetap tenang, kembali mengingat apa tujuanku datang kemari.

“Kamu datang ke sini sendiri?”

Kepalaku terangguk tanpa menoleh untuk beradu tatap dengannya. Darius berjalan ke arahku dengan langkah pasti, dan sebelum aku bisa bereaksi, dia sudah duduk di sampingku.

Dekat.

Terlalu dekat.

Aku hampir saja bergeser, tapi sebelum aku bisa melakukannya, lengannya sudah terulur, melingkari bahuku dengan gerakan yang sangat alami.

Seolah ini adalah tempatku yang seharusnya, tempat yang memiliki celah untuk kabur. Tapi setidaknya, mungkin aku bisa mengulur waktu?

“Kami baru saja mengobrol dengan Soraya,” ungkap Pak Pram sembari menyendok makanannya.

“Oh, ya?” Dia menoleh ke arahku, matanya yang tajam mengunci mataku seolah mencari sesuatu.

Aku hanya bisa menunduk, berharap dia tidak membaca kegelisahanku.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Darius kemudian sambil menarik tanganku untuk ia genggam.

Sebelum aku bisa menjawab, Bu Mariana sudah mendahuluiku, “Kami hanya memastikan bahwa dia memahami posisinya di sisimu.”

Aku melirik sekilas padanya, mendapati senyuman Darius yang terlihat semakin dalam. Seakan menyiratkan sesuatu yang tak pernah aku tahu.

“Tentu saja Soraya memahami itu,” timpal Darius dengan nada begitu yakin.

Aku menahan napas ketika dia tiba-tiba menarikku lebih dekat, hingga tubuhku hampir menempel dengannya.

Kemudian Darius menambahkan ucapannya, “... tidak ada yang lebih mengerti posisinya selain Soraya sendiri.”

Aku bisa merasakan kalimatnya itu seperti memiliki makna ganda. Makna yang tak pernah aku tahu apa maksudnya.

“Jadi, apa kedatanganmu ke sini untuk mencariku?”

Kepalaku terangkat, menatapnya, perlahan mengangguk. “Aku tidak bisa menghubungi kamu, itu sebabnya aku ke sini.”

Dia malah terkekeh, lalu menyentuh daguku—tentu aku kaget, apa dia selalu seperti ini? Maksudku terlalu menunjukkan kemesraan, bahkan jika itu di depan kedua orang tuanya?

“Mau bicara berdua? Di taman belakang rumah lebih sejuk,” ajaknya yang sudah beringsut duluan dari kursi.

Aku melirik pada Bu Mariana dan Pak Pram secara bergiliran. Mereka mengangguk, membiarkan Darius menuntunku pergi dari sini.

Kami berjalan beriringan, tangannya terus menggandengku. Namun ketika sudah melewati ruang tamu, hilang dari pengawasan mata siapapun, mendadak Darius melepas genggaman secara kasar.

“Akhirnya kamu datang juga,” katanya dingin, kakinya melangkah lebih cepat, aku tertinggal beberapa langkah.

Aku menarik napas panjang setibanya kami di belakang rumah. Darius duduk lebih dulu di kursi panjang, aku berdiri tepat di belakangnya, merasa sungkan jika harus berbagi tempat di kursi yang kurang dari dua meter itu.

“Aku sudah berusaha menghubungimu. Kenapa tidak menjawab?” tanyaku kemudian.

Darius tidak menjawab langsung, hanya menatapku dengan tatapan menghakimi yang membuatku semakin tegang. “Aku sibuk. Kamu seperti tidak pernah mengenalku saja,” jawabnya santai seolah aku tidak punya alasan untuk mempertanyakan sikapnya.

Aku mengepalkan tangan, sesekali bertaut gelisah meskipun. “Aku ingin bicara soal pernikahan kita,” jawabku hati-hati.

Tak lama Darius beranjak dari kursi, dia menoleh padaku sambil menaikkan alis, ekspresinya tetap datar. “Apa yang ingin kamu bicarakan? Tentang penolakanmu terhadap rencana pernikahan ini?”

Aku membisu. Dia tampak menakutkan.

Lalu Darius berderap ke arahku, menatapku dalam jarak beberapa centi. Buru-buru aku memutus kontak mata.

“Kamu tahu, itu hanya sia-sia. Semua yang kulakukan bukan tanpa alasan. Ayolah, Soraya. Kamu tidak berpikir aku menginginkan pernikahan ini setelah kejadian itu, kan?”

Aku sedikit menaikan pandangan, keningku mengernyit. “Kejadian itu?”

“Bahkan sebelum kejadian itu terjadi, aku tetap tak menginginkannya. Tapi apa yang bisa kita perbuat? Sampai akhirnya, kamu malah membuat masalah baru dan kita malah berakhir begini,” cerocosnya tanpa jeda.

Sungguh, aku semakin tak paham di mana titik terang dari semua perkataannya itu. Maksud dari kejadian itu, dan fakta barunya bahwa ternyata kami telah ditipu—mereka tak pernah setuju menikah dan mungkin tak pernah menyimpan perasaan.

Darius secara tiba-tiba mencondongkan tubuhnya lebih dekat padaku, punggungnya membungkuk untuk membisikkan sesuatu, “Sebaiknya, sebelum pernikahan ini dilaksanakan bersihkan apa yang seharusnya kamu bersihkan.”

“... jangan membuatku harus turun tangan hanya untuk mencuci kesalahanmu,” tambahnya penuh penekanan.

Bahkan untuk kesalahan yang tak pernah aku tahu? Selain menjadi peran pengganti, sepertinya aku harus merangkap menjadi detektif, huh!

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!