"Dalam dunia yang telah dikuasai oleh iblis, satu-satunya makhluk yang tersisa untuk melawan kegelapan… adalah seorang yang tidak bisa mati."
Bell Grezros adalah mantan pangeran kerajaan Evenard yang kini hanya tinggal mayat hidup berjalan—kutukan dari perang besar yang membinasakan bangsanya. Direnggut dari kematian yang layak dan diikat dalam tubuh undead abadi, Bell kini menjadi makhluk yang dibenci manusia dan diburu para pahlawan.
Namun Bell tidak ingin kekuasaan, tidak ingin balas dendam. Ia hanya menginginkan satu hal: mati dengan tenang.
Untuk itu, ia harus menemukan Tujuh Artefak Archelion, peninggalan kuno para dewa cahaya yang dikabarkan mampu memutuskan kutukan terkelam. Dalam perjalanannya ia menjelajah dunia yang telah berubah menjadi reruntuhan, menghadapi para Archfiend, bertemu makhluk-makhluk terkutuk, dan menghadapi kebenaran pahit tentang asal usul kekuatannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Apin Zen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lorong Tanpa Ujung
Kabut tipis menyelimuti jalan batu yang berujung pada sebuah gerbang raksasa. Gerbang itu tampak kuno, dihiasi ukiran-ukiran yang seakan bergerak ketika dilihat terlalu lama. Bell berhenti beberapa langkah sebelum mencapai ambang, merasakan hawa aneh yang membuat udara di sekitar terasa berat.
Eryndra melangkah mendekat. “Ini… Gerbang Lupa?”
Bell mengangguk, matanya menyapu ukiran yang berkedip samar di permukaannya. “Dan di sini… biasanya ada yang menjaga.”
Seolah menjawab kata-katanya, kabut di depan mereka menggumpal membentuk sosok tinggi bertopeng perak. Suara yang keluar dari balik topeng itu terdengar seperti gema dari lorong yang jauh.
“Siapa yang berani mengusik gerbang ini?”
Bell maju selangkah. “Kami mencari jalan ke dalam.”
“Tak ada yang masuk tanpa izin. Dan izin… hanya diberikan pada yang mampu melewati ujian.”
Tanpa peringatan, lantai batu di sekitar mereka berubah menjadi lingkaran bercahaya. Dari lingkaran itu, muncul bayangan-bayangan yang bergerak cepat, menguji reaksi mereka. Bell menangkis serangan-serangan itu dengan gerakan tenang, sementara Eryndra memanggil semburan cahaya untuk mengusir yang terlalu dekat.
“Tidak buruk,” ujar sang Penjaga setelah beberapa menit. “Tapi kekuatan saja tidak cukup. Kalian juga harus tahan pada apa yang akan kalian lihat.”
Sekejap, bayangan di sekitar berubah menjadi bentuk-bentuk samar—adegan dari masa lalu Bell, potongan wajah-wajah yang pernah ia kenal. Eryndra menoleh, menyadari ekspresi Bell sedikit mengeras, tapi ia tetap melangkah maju tanpa terhenti.
Penjaga itu akhirnya menunduk singkat, gerbang di belakangnya bergeser membuka celah kecil. “Kalian boleh masuk… tapi ingat, yang kalian lupakan di sini… tak akan pernah kembali.”
Bell dan Eryndra saling bertukar pandang, lalu melangkah masuk, meninggalkan kabut dan Penjaga itu di belakang.
Begitu Bell dan Eryndra melangkah melewati celah Gerbang Lupa, suara dunia luar menghilang. Mereka seolah berjalan masuk ke dalam ruang yang tak memiliki sumber cahaya, namun anehnya masih bisa melihat jalan di depan. Lorong itu terbuat dari batu hitam licin, seakan memantulkan bayangan mereka dengan bentuk yang sedikit… berbeda.
“Tempat ini…” Eryndra berbisik, suaranya menggema pelan, “seperti tidak menerima keberadaan kita.”
Bell menatap ke samping. Bayangannya di dinding bergerak setengah detik terlambat, lalu tersenyum samar—sesuatu yang tidak ia lakukan. Ia memutuskan untuk tidak menatapnya terlalu lama. “Tetap fokus. Tempat ini mencoba membuat kita ragu.”
Langkah mereka membawa ke persimpangan tiga arah. Tak ada tanda, tak ada petunjuk. Namun, dari arah kiri terdengar bisikan samar, seperti nyanyian yang diputar sangat pelan. Eryndra merinding.
“Kau dengar itu?”
Bell mengangguk. “Itu bukan nyanyian biasa… itu panggilan.”
Mereka memilih mengikuti suara itu. Namun, semakin jauh mereka melangkah, lorong terasa semakin panjang—meski sudah berjalan lama, ujungnya tidak juga terlihat. Batu hitam di lantai mulai memantulkan adegan-adegan asing: peperangan, langit merah darah, sosok Bell di masa depan yang berdiri sendirian di tengah kehancuran.
Eryndra mempercepat langkah, menatap ke depan tanpa berani melihat ke lantai. “Kalau ini ilusi, aku benci mengakuinya… tapi tempat ini sangat meyakinkan.”
Bell hanya diam, matanya menyipit. Ia tahu tempat ini tidak sekadar menipu mata—Gerbang Lupa menguji inti dari ingatan dan keyakinan seseorang. Dan ia punya terlalu banyak masa lalu yang bisa dimanfaatkan tempat ini untuk menghancurkannya.
Tiba-tiba, lorong berakhir pada sebuah pintu melingkar dari kaca retak. Di baliknya, terlihat bayangan seseorang yang berdiri menunggu. Wajahnya belum terlihat jelas, tapi Bell tahu… ia pernah bertarung melawan orang itu ratusan tahun lalu.