Viola merasa di tipu dan dikhianati oleh pria yang sangat dicintainya. Menyuruh Viola kuliah hingga keluar negeri hanyalah alibi saja untuk menjauhkan Viola dari pria itu karena tidak suka terus di ikuti oleh Viola.
Hingga 8 tahun kemudian Viola kembali untuk menagih janji, tapi ternyata Pria itu sudah menikah dengan wanita lain.
"Aku bersumpah atas namamu, Erland Sebastian. Kalian berdua tidak akan pernah bahagia dalam pernikahan kalian tanpa hadirnya seorang anak"
~ Viola ~
Benar saja setelah 3 tahun menikah, Erland belum juga di berikan momongan.
"Mau apa lo kesini??" ~ Viola ~
"Aku mau minta anak dari kamu" ~ Erland ~
Apa yang akan terjadi selanjutnya pada Viola yang sudah amat membenci Erland??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi.santi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Hanya kata maaf
"Bagaimana keadaanya Dokter??" Erland masih panik karena kejadian tadi.
"Sejak tadi malam, pasien sudah tiga kali mengalami seperti ini. Tiba-tiba pasien mengalami gagal jantung, tapi dengan penanganan yang cepat, pasien masih bisa di selamatkan"
Erland melihat Viola yang sudah kembali tenang setelag tadi sempat terlihat sedikit kejang.
"Itu artinya apa Dok??"
"Jika ini terus berlanjut, maka saya khawatir pasien tidak bisa bertahan lebih lama. Apalagi pasien juga belum menunjukkan tanda-tanda kesadarannya"
Erland semakin lemas mendengar penjelasan Dokter itu.
"Apa keluarganya sudah tau tentang ini Dok??"
"Sudah, tadi Kakaknya baru saja datang"
"Baiklah Dokter terimakasih"
Erland kembali mendekati Vio, tak ada gerakan sama sekali darinya. Hanya perutnya yang masih bergerak pelan karena sebagian besar nafasnya di bantu oleh alat yang pasang pada mulutnya.
Rasanya tak percaya melihat wanita yang bahkan sudah dilupakannya itu datang ke hadapannya menagih janji untuk dinikahinya.
Wanita yang dulu di anggap Erland hanya sebagai gadis ingusan yang manja. Kini sudah berubah menjadi wanita dewasa yang mandiri dan sukses.
Erland tak menampik jika dulu Viola adalah gadis yang cantik dengan tubuh yang tinggi dan bentuk badan proposional. Namun setelah melihatnya kemarin, Viola semakin cantik dengan aura kedewasaannya.
"Vio, maafkan aku. Aku tidak menyangka kalau kamu ternyata benar-benar menganggap serius omonganku waktu itu. Aku akui aku salah, bahkan setelah itu aku benar-benar melupakan kamu"
Erland mengingat semua yang di ceritakan sahabat Viola tadi malam.
"Apa kamu mengalami masa sulit selama 10 tahun ini Vi?? Kamu bekerja keras hanya untuk membuktikan kepadaku, sedangkan aku di sini sama sekali tidak peduli dengan mu"
Erland menyentuh tangan Viola, memegang kuku-kuku jarinya yang membiru karena luka di tangannya.
"Bukannya aku mengingkari janjiku padamu Vi. Tapi sedari awal aku memang tidak pernah berniat untuk menepatinya. Itu hanyalah janji yang aku buat spontan untuk menghindar dari mu. Maafkan Abang Vi"
Erland terkejut melihat setitik air mata yang mengalir dari sudut mata Viola. Dengan ibu jarinya Erland menghapusnya dengan lembut.
"Kamu bisa dengar apa yang aku katakan Vi?? Kamu marah mendengarnya kan?? Maka dari itu, cepatlah bangun. Maki aku sesukamu, asal kamu tidak seperti ini. Aku semakin merasa bersalah Vi. Mungkin meski seribu kata maaf tidak akan pernah bisa menebus semua rasa sakit hatimu, tapi hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini"
"Aku pergi dulu, cepatlah bangun Viola, semua orang menunggumu"
Erland melepaskan tangan Viola sebelum laki-laki tampan itu beranjak pergi meninggalkan Viola sendirian di ruangan yang sepi dan dingin itu.
Tanpa sepengetahuan Erland ternyata Endah mengikuti Erland ke rumah sakit. Dia sengaja tidak datang bersama Erland karena dia juga tidak mau mengganggu waktu Erland bertemu dengan Viola.
Baru setelah melihat Erland keluar dari ruangan Viola, Endah bergegas masuk ke dalam sana.
Baru saja mengenakan masker dan penutup kepalanya, Endah sudah tidak tahan untuk tidak mengeluarkan air matanya. Sahabatnya yang dulu setiap hari bersamanya, sahabatnya yang menghilang bagai di telan bumi, kini sudah kembali. Namun harus berbaring menyedihkan di ruangan sepi ini sendirian.
Endah berlahan mendekati wanita yang sejak dulu di kagumi kecantikannya itu. Tak banyak perubahan dari wajah sahabat Endah itu, hanya saja garis wajah yang semakin tegas membuat aira kecantikannya semakin keluar. Namun semua itu kini telah tertutup oleh luka-luka di bagian wajahnya.
"Vio, kenapa lo tega sama gue?? Kenapa lo pergi tanpa pamit sama gue?? Bahkan lo sama sekali nggak pernah kirim kabar apapun ke gue. Gue sempat berpikir kalau lo udah lupa sama gue" Isak Endah dengan pelan.
"Tapi kalau gue tau kenyataanya seperti ini, ternyata gue yang jahat sama lo Vi. Gue sebagai sahabat nggak pernah tau perasaan lo. Gue buta kalau lo ternyata mencintai Abang gue sendiri. Dulu saat lo ke rumah gue, lo pasti tanya soal Bang Erland, lo sering ngikutin dia kemana aja. Tapi gue kira itu semua karena lo anggap Bang Erland seperti Bang Vino. Gue nggak nyangka sama sekali Vi"
Endah menundukkan kepalanya hingga keningnya bertumpu pada tangan Viola.
"Kalau aja gue tau sejak awal. Gue pasti dukung lo sama Abang gue Vi, gue pasti bantu lo. Lo pasti nggak akan pergi jauh selama itu. Maafin gue Vi, gue rasanya gue nggak pantas di sebut sahabat"
Endah terus menangis meski tanpa tanggapan dari Viola. Endah juga tidak peduli mau di dengar atau tidak oleh Viola yang jelas dia ingin meminta maaf dari sahabatnya itu.
"Cepatlah bangun Vi, lo harus bangkit lagi. Buktikan sama Abang gue kalau dia yang nggak pantas buat lo. Meski dia Abang gue sendiri, gue nggak bakalan dukung dia karena kesalahannya itu Vi. Jadi lo harus janji sama gue kalau lo harus cepat bangun. Jangan lama-lama tidurnya, gue kangen tau"
Endah terus berada di ruangan itu hingga terpaksa di suruh keluar oleh seorang perawat karena jam besuknya sudah habis.
Seandainya saja tidak ada larangan di rumah sakit itu, pasti Endah akan lebih lama lagi menemani Viola di dalam sana.
*
*
*
*
Sudah dua minggu berlalu, tapi Viola masih belum juga ada kemajuan sama sekali, justru malah semakin menurun. Papi Dito bahkan ingin membawa Viola ke rumah sakit di luar negeri tapi di larang keras oleh Dokter. Karena menurut Dokter, percuma saja Viola di bawa kemanapun, karena saat ini Viola masih bisa bertahan hidup hanya karena alat yang menopangnya. Jika alat itu di lepas maka Viola bisa dinyatakan meninggal dunia.
Via langung pingsan saat mendengar kenyataan itu. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang Ibu selain ditinggal pergi terlebih dahulu oleh anaknya.
Vino langsung membawa Maminya ke IGD, karena sejak kecelakaan Vio, kesehatan Maminya terus menurun.
"Lalu apa yang harus saya lalukan Dokter??" Dito sudah hampir putus asa dengan kedaan Vio.
"Terus menerus memasang alat itu pada tubuh Viola justru akan semakin menyiksanya Pak. Menurut saya, segera bicarakan dengan keluarga anda untuk mengikhlaskannya"
"A-apa Dokter?? Jadi menurut Dokter, saya harus memutus kehidupan anak saya begitu?? Bagaimana mungkin saya tega pada anak saya sendiri Dokter??" Dito terlihat geram dengan keputusan Dokter yang menangani Viola.
"Maaf Pak, saya paham bagaimana perasaan anda sebagai seorang Ayah, karena saya juga seorang Ayah. Tapi secara medis Viola sudah dinyatakan meninggal dunia"
Dito menangis di hadapan Dokter yang ternyata adalah teman SMA Dito. Hancur rasanya, putri kesayangannya, putri kecilnya kini sudah di ambang kematian.
"Saya akan menunggu keputusan dari keluarga, karena menurut saya itu keputusan yang terbaik" Dokter itu beranjak meninggalkan Dito di ruangan Viola.
"Oh ya satu lagi Pak" Dokter itu berhenti sejenak.
"Apa ada keinginan Viola yang saat ini belum terlaksana?? Saya rasa mewujudkannya adalah cara tebaik untuk melepaskannya" Dokter itu kembali pergi setelah mengatakan pesannya pada Papa Dito.
Seorang Ayah itu terus menatap putri cantiknya yang masih terlelap. Wajahnya yang cantik tidak menunjukkan jika dirinya sedang bertaruh hidup dan mati, hanya bagaikan putri tidur yang tertidur dengan cantik.
*
*
*
*
"Bagaimana keadaan Mami kamu Vin??"
Papi Dito menghampiri Vino dan Beca yang duduk di depan ruang rawat inap.
"Mama sedang istirahat Pi, keadaan Mami tidak baik-baik saja. Kata Dokter, Mami stres, terlalu banyak pikiran hingga berdampak pada jantungnya"
Dito langsung lemas, terduduk di samping Vino.
"Bagaimana keadaan Viola Om??" Beca penasaran karena tadi di harus menemani Vino membawa Mami Via ke IGD.
Dengan air mata kepedihan, Dito menceritakan semuanya pada Vino dan Beca.
"Enggak Pi, Vino nggak bisa kehilangan Vio secepat ini"
Beca sudah menutup wajahnya dengan kedua tangannya, karena Beca tidak mungkin lagi untuk menahan tangisannya.
"Papi juga berat Vin, tapi ingat kata Dokter. Kita akan semakin menyiksanya dengan alat-alat itu"
Ketiga orang itu tak ada satupun yang tidak mengeluarkan air mata. Karena Viola begitu berarti bagi mereka bertiga.
"Menurut kamu, apa keinginan terbesar Viola?? Kita harus segera mengabulkannya sebelum alat itu di lepas dari tubuhnya Vin"
Dito mengusap air matanya dengan sapu tangan yang selalu di bawanya dalam kantung jasnya.
"Itulah bodohnya Vino sebagai seorang Kakak Pi, Vino tidak tau sama sekali tentang Vio. Anak nakal itu terlalu pintar menyembunyikan semuanya dari kita. Termasuk perasaannya pada Erland"
Vino mengusap wajahnya kasar, menerima kenyataan jika adiknya terbaring seperti itu saja masih sangat sulit bagi Vino. Apalagi harus mengikhlaskan Vio untuk pergi selama-lamanya, pasti sangat berat bagi Vino.
"Maaf Om, bukannya saya kurang sopan, tapi saya rasa saya tau apa yang menjadi keinginan terbesar Vio selama ini"
Wanita berambut sebahu itu membuat Ayah dan anak itu menatap Beca penuh tanya.
"Apa itu?? Katakan Beca!!"
Vino memang baru beberapa kali bertemu Beca saat dia mengunjungi adiknya ke Korea. Tapi Vino tau jika Beca adalah wanita yang cukup baik berada di sisi adiknya.
"Menikah"
To be continued..
bisa....bisa ...
emansipasi wanita anggap aja😁😁
mana bisa keguguran hamil juga ngga....
susah siihh kalo emang udah diniatin dari awal ngga bener yaa ngga bener kedepannya juga. sakit dibikin sendiri bertahan hanya demi harta🤨🤨