Cerita ini untuk pembaca dewasa. Baca dengan bijak❗
Cherry Gabriella mengambil satu keputusan nekat yang mengubah seluruh hidupnya, menjadi ibu pengganti bagi pewaris berhati dingin, Trevor Spencer.
Namun, ketika bayi mungilnya lahir, Cherry tak sanggup menyerahkan darah dagingnya, meski harus diburu oleh pria yang bisa membeli segalanya… bahkan nyawanya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Setelah mandi dan mengeringkan rambut, Cherry turun ke ruang makan. Ia mendapati Trevor sudah duduk, makan dengan tenang. Cherry ikut duduk di kursinya, mulai menyendok makanan.
“Kau tidak seharusnya menyelinap seperti itu,” ujar Trevor tanpa menoleh, masih fokus pada makanannya.
“Maaf… selamat malam,” sapa Cherry hati-hati.
Trevor hanya mengangguk.
“Bagaimana dia?” tanya Trevor kemudian, jelas merujuk pada Arnold.
“Dia baik-baik saja. Mungkin kelelahan tadi, jadi masih tidur sampai sekarang,” jawab Cherry.
“Bagus,” sahut Trevor singkat.
“Oh ya, terima kasih untuk pakaiannya. Semuanya pas. Hebat juga sales lady yang membantumu memilih pakaian dalam. Dia bisa menebak ukuranku dengan tepat,” kata Cherry sambil tersenyum canggung.
“Aku yang memilihnya,” jawab Trevor datar.
Mata Cherry membelalak. “B-Bagaimana kau tahu ukuranku?”
Trevor mengangkat wajah, menatapnya lurus. “Aku punya memori haptik. Aku mudah mengingat apa yang pernah kusentuh. Jadi, aku bisa membayangkan ukuranmu dengan jelas… dengan ingatan dari hubungan badan kita dulu.”
Pipi Cherry langsung panas. Ia menunduk, buru-buru menyuap makanannya. Seharusnya aku cukup bilang terima kasih saja. Kenapa mulutku suka bikin masalah begini?
***
Keesokan paginya, Cherry terbangun oleh tangisan Arnold. Ia sudah terbiasa bangun di tengah malam. Mereka tidur sekamar: Cherry di ranjang besar, Arnold di ranjang bayi. Kadang, kalau ia terlalu lelah, Arnold ikut tertidur di kasurnya.
Arnold jarang rewel. Kalau menangis, biasanya hanya karena lapar. Selain itu, ia lebih sering diam, bahkan wajahnya kerap tanpa ekspresi.
Setelah menyusui dan menimang, Arnold kembali tertidur. Cherry turun untuk sarapan. Ia mengerutkan dahi saat melihat Trevor duduk di sofa ruang tamu sambil mengetik di laptop.
Cherry mengambil roti dan membuat secangkir susu. Niatnya, ia akan membawanya ke kamar sambil menjaga Arnold. Tapi sebelum beranjak, ia memberanikan diri menghampiri Trevor.
“Selamat pagi,” sapa Cherry pelan.
Trevor mengangkat wajah. “Kau tidak sarapan?”
“Susu dan roti saja cukup.” jawab Cherry.
“Duduk,” ucap Trevor, menunjuk sofa besar di sampingnya.
Ragu, Cherry duduk. Ia meletakkan susu di meja. “Ada apa?”
“Pilih universitas,” ujar Trevor sambil menyodorkan laptop.
Cherry sempat ingin bertanya, tapi ia urungkan. Ia menatap layar, lalu menunjuk salah satu. “Ini bagus. Semua jurusan ada, biayanya juga tidak terlalu mahal.”
“Kau yakin?” tanya Trevor.
“Ya.”
“Tsk. Bukan aku yang akan kesusahan,” gumam Trevor.
Cherry mengerutkan kening. “Kenapa? Siapa yang akan kuliah?”
“Kau,” jawab Trevor datar.
Cherry terkejut. “Aku? Kenapa aku?”
“Kau tidak ingin menyelesaikan kuliahmu?”
Cherry menelan ludah. “Mau… tentu saja mau. Tapi itu tidak mungkin.”
“Kenapa tidak mungkin? Apa kau malu jadi mahasiswa sekaligus orang tua?”
Cherry buru-buru menggeleng. “Bukan itu. Aku hanya memikirkan Arnold… dan juga kau.”
“Aku?” Trevor menaikkan alis.
“Aku harus merawat Arnold. Kalau aku kuliah lagi, mungkin aku tidak bisa perhatikan dia. Dan… aku takut kau mengusirku kalau itu terjadi.”
“Kau tahu tanggung jawabmu. Aku percaya kau bisa mengatur waktumu. Lagipula, kau ingin menyelesaikan kuliahmu, kan?”
Cherry mengangguk pelan. “Itu mimpiku. Dan janjiku pada Ayah sebelum beliau meninggal.”
“Kalau begitu, sudah diputuskan,” ucap Trevor tegas.
Cherry menggigit bibir. Kenapa? Kenapa dia melakukan semua ini?
“Kenapa kau melakukannya?” tanyanya lirih.
“Bukan apa-apa,” jawab Trevor singkat.
“Soal uang kuliah… aku bisa jadi mahasiswa sambil bekerja,” kata Cherry.
“Tidak perlu. Kau cukup rawat anakku. Sisanya biar aku urus,” ujar Trevor.
Cherry menunduk. “Terima kasih.”
“Pastikan saja kau punya waktu untuk anakku. Aku tidak melakukan ini untukmu, Cherry. Aku lakukan ini untuknya,” tegas Trevor.
Cherry mengangkat wajah, tersenyum tipis. “Aku tahu. Bahkan kalau kau tidak bilang pun, aku tetap akan melakukannya.”
“Jurusan apa?” tanya Trevor.
“Ilmu Politik,” jawab Cherry mantap.
“Hukum? Itu kuliah panjang, bisa sampai empat tahun kalau kau ambil sarjana” komentar Trevor.
“Aku tahu. Itu mimpi Ayahku,” ucap Cherry lirih.
“Berarti kau lulus sekitar usia 24. Waktu itu, anakku sudah berusia 4 tahun,” hitung Trevor cepat.
“Memangnya kenapa? Berapa usiamu sekarang?” tanya Cherry penasaran.
“Dua puluh tujuh,” jawab Trevor sambil kembali mengetik.
“Kau sudah hampir lewat kalender. Tidak ada rencana menikah?” canda Cherry.
“Aku tidak ingin menikah dengan siapa pun. Perempuan hanya bikin masalah. Mereka bisa jadi umpan bagi musuhku.”
Cherry mendecak dalam hati. Bikin masalah katanya… tsk.
“Makanya kau menyewa ibu pengganti, supaya keturunanmu tetap ada. Tapi bagaimana kalau Arnold perempuan? Apa kau tetap akan memperlakukannya begini, atau kau biarkan kami pergi?”
“Laki-laki atau perempuan tidak masalah. Yang penting bagiku adalah pewaris.”
Cherry menarik napas panjang. Ia bangkit, mengambil roti dan susu.
“Aku harap kau tidak membuat Arnold merasa hanya kau butuhkan sebagai pewaris. Tolong cintai dia seperti ayah sejati. Aku tidak ingin dia merasa dirinya hanya benda penting bagimu,” ucap Cherry sebelum melangkah pergi.
***
Cherry tertidur saat menjaga Arnold. Bukan karena benar-benar lelah, hanya mengantuk karena tidak ada kegiatan lain.
Ia tersentak saat membuka mata, menyadari ada orang lain di kamar. Trevor.
Trevor berdiri sambil menggendong Arnold. Bayi itu hanya menatap ayahnya tanpa ekspresi, tatapan yang sama yang sering Cherry lihat di wajah Trevor.
“Kenapa kau tidak tersenyum atau memelukku? Kau selalu begitu padanya, tapi padaku kau bahkan tidak buka mulut. Jangan tatap aku seperti itu. Itu tidak sopan,” gumam Trevor pada anaknya.
Cherry menahan tawa kecil. Lucu sekali… mereka benar-benar mirip.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Cherry lembut.
Trevor menoleh. “Kau sudah bangun.”
“Ya.” Cherry bangkit, menghampiri, lalu mengambil Arnold dari pelukannya. Begitu berada di gendongannya, Arnold langsung tersenyum, tertawa kecil, dan menggeliat manja.
“Dia pilih kasih,” gerutu Trevor.
Cherry hanya tersenyum. Meski Arnold tampak tidak suka pada Trevor, ia yakin itu hanya sementara. Dengan waktu, anaknya akan terbiasa.
“Dia hanya belum terbiasa denganmu. Nanti juga akan,” ucap Cherry menenangkan.
“Dia bahkan menatapku dengan kasar,” protes Trevor.
“Dia mewarisi itu darimu. Ekspresimu juga selalu dingin begitu,” jawab Cherry sambil tersenyum geli.
Cherry membayangkan masa depan: ayah dan anak ini saling melempar tatapan tajam. Jangan sampai Arnold tumbuh seperti itu…
“Aku benci melihatnya seperti itu,” gumam Trevor lirih.
Cherry menatapnya iba. Kalau dia benar-benar mencintai anaknya, pasti menyakitkan baginya melihat Arnold tidak mengakuinya sebagai ayah.
“Maksudmu, kau tidak suka ditatap sama persis seperti cara kau menatap orang lain?” goda Cherry.
“Tsk. Aku pergi,” ujar Trevor ketus.
“Kukira kau tidak kerja hari ini?” tanya Cherry.
“Ada darurat di perusahaan,” jawab Trevor.
Cherry mengangguk. Trevor pun pergi, meninggalkan Cherry dan Arnold.
Cherry menatap bayi mungilnya. “Sayang, kau tidak boleh menatap Papa seperti itu. Itu tidak sopan. Jangan pilih kasih, nanti Papa sedih. Kau harus adil pada kami berdua, ya.”
Arnold hanya menatapnya dengan mata beningnya. Seandainya Cherry tidak tahu ia baru seminggu lahir, ia pasti mengira bayinya benar-benar mengerti apa yang ia katakan.
Cherry tersenyum. Tuhan benar-benar memberiku malaikat kecil. Aku akan menjaga anugerah ini dengan seluruh hidupku.