Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.
Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.
Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.
Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?
Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Kematian dan Kehampaan
Malam itu, langit tampak berbeda dari biasanya. Di luar jendela apartemen kumuh tempat Noir tinggal, sebuah fenomena langit yang tidak biasa mulai terjadi. Biasanya, langit malam hanya dipenuhi oleh gemerlap lampu-lampu kota yang menyala di kejauhan, namun kali ini, ada sesuatu yang jauh lebih menarik perhatian.
Di atas kota modern tempat Noir tinggal, yang penuh dengan gedung pencakar langit dan hiruk pikuk kehidupan manusia, sebuah aurora muncul dengan warna jingga yang menyala. Fenomena langit ini begitu aneh, karena aurora biasanya hanya terlihat di kutub, jauh dari tempat ini—di dekat lintang khatulistiwa.
Namun malam ini, warna jingga yang cerah membentang luas di langit, memancarkan cahaya yang tak biasa, seakan ingin memberi pesan.
Noir melihat dari jendela kaca kamarnya di apartemennya yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya dari layar monitor dalam keadaan mode screen saver. Ia menatap langit dengan tatapan kosong, terpesona oleh keindahan yang tiba-tiba muncul di atasnya.
Warna jingga yang menyebar luas itu memberi kontras tajam dengan dunia yang begitu gelap dan keras di bawahnya. Di tengah kebusukan dunia yang kini ia rasakan, cahaya itu tampak seperti sebuah mimpi yang jauh dan tak terjangkau.
Ia merasa seolah ada sesuatu yang aneh dengan fenomena ini. Sebuah pertanda, atau mungkin hanya kebetulan. Namun, hatinya merasakan suatu getaran, seperti ada sesuatu yang menghubungkan dirinya dengan kejadian langit ini.
Mungkin itu hanya khayalan seorang lelaki yang terperangkap dalam kesepian dan keputusasaan, tetapi ia tak bisa mengabaikan perasaan bahwa malam ini—malam yang begitu sunyi—terdapat sesuatu yang besar sedang terjadi.
Ia memandangi aurora yang terus bergerak perlahan di atas kota. Fenomena langit ini begitu indah, namun penuh dengan misteri. Tidak ada penjelasan rasional yang bisa diterima oleh akal sehat. Apa arti dari semua ini? Apakah itu hanya kebetulan yang kebetulan indah, ataukah itu sebuah tanda dari alam semesta yang tak terlihat, memberi pesan pada mereka yang masih mau mendengarkan?
Di bawah langit yang terang oleh warna jingga itu, Noir merasakan ada bagian dari dirinya yang mulai ditarik keluar. Malam itu, di tengah-tengah kota yang sibuk dan modern, Noir merasa seperti seorang pengamat dari dunia yang jauh, seolah ia berada di tempat yang berbeda—di luar dari segala kekacauan dan kebusukan yang ia hadapi setiap hari. Seolah aurora jingga itu memberikan sedikit secercah harapan di tengah kegelapan yang melingkupinya.
"Apakah aku sekarat?" Noir tersenyum kecut.
"Baiklah, ambillah nyawaku..." Noir memejamkan mata. Dia akhirnya benar-benar menyerah pada takdir.
Malam itu, setelah melihat fenomena langit yang aneh, Noir merasa tubuhnya semakin lemah. Auroranya yang masih menyala di langit seakan menjadi lambang dari segala yang telah hilang darinya—sebuah keindahan yang tak dapat ia raih, seperti impian-impian yang tak pernah tercapai. Ia kembali terbaring di lantai apartemennya yang gelap, tubuhnya terasa semakin rapuh, dan napasnya semakin berat.
Perasaan kosong yang selama ini menghantui dirinya kini semakin menyiksa. Hari-hari berlalu, tapi rasa sakit itu tak pernah pergi. Mungkin, seperti yang ia rasakan, ini adalah akhir dari segala perjuangannya—perjuangan yang tak pernah terhenti meski ia sudah kehabisan energi. Dunia yang terus menekan, pekerjaan yang tak pernah selesai, serta kehilangan yang tak pernah sembuh, semuanya membawa Noir ke titik ini.
Di malam yang sunyi itu, dalam kesendirian yang begitu berat, Noir akhirnya merasakan kedamaian yang tak pernah ia temui sebelumnya. Ia tidak tahu apakah itu karena dirinya benar-benar lelah, atau karena ia akhirnya bisa melepaskan diri dari segala yang menekannya. Mungkin, bagi sebagian orang, ini adalah akhir yang tragis, tetapi bagi Noir, mungkin ini adalah akhir yang ia butuhkan.
Dengan langit jingga yang masih memancar di atasnya, Noir menghembuskan napas terakhirnya, mengakhiri segala penderitaan yang selama ini ia alami. Tidak ada yang datang untuk menemani, tidak ada yang menangisi kepergiannya.
Hanya sepi yang menyelimuti apartemennya, dan aurora jingga itu yang masih membentang di langit, seperti memberikan pengakuan bahwa ia telah berjuang sekuat tenaga.
Malam itu, dunia tak mengubahnya, tak memberinya kebahagiaan yang ia cari. Namun, mungkin di akhir perjalanan ini, Noir akhirnya menemukan kedamaian yang ia impikan, meskipun itu datang dalam bentuk perpisahan yang tak pernah ia duga.
Ia pergi, meninggalkan dunia yang keras dan kejam ini, dan menjadi bagian dari kenangan yang akan hilang begitu saja, seperti bayang-bayang di bawah cahaya langit yang tak pernah bisa digenggam.