Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Gila
“Kau tidur disini, sampai aku Kembali!” titah Rose, menutupi seluruh tubuh Elano, yang berbaring diatas tempat tidurnya.
“Bagaimana jika dia tidak Kembali? Habislah riwayatku,” gumam Elano, berkeringat dingin karena takut. Namun ia juga tidak bisa menolak.
Malam mulai laut, Rose Bersiap dengan rencana gilanya. Diam-diam keluar dari kamarnya, membawa senter kecil yang ia curi dari gudang pelayan.
Lorong ke bawah tanah sudah ia kenal dari malam sebelumnya. Kali ini, ia nekat mengikuti jalur yang semalam dilewati kereta misterius.
Ia tiba di sebuah aula bawah tanah luas dengan deretan kotak besar berwarna hitam, terbuat dari kayu tebal yang diperkuat besi. Tanpa pikir panjang, ia memanjat salah satu kotak, membuka penutupnya sedikit, dan melesakkan tubuhnya masuk.
Bau kertas memenuhi hidungnya. Tangannya menyentuh permukaan yang kaku namun halus__bukan kain, bukan batu, tapi sesuatu yang berlapis-lapis.
Tiba-tiba, kotak itu bergetar. Ada suara teriakan singkat dari luar, lalu kotak mulai bergerak. Rose menahan napas. Perjalanan itu terasa lama, sampai akhirnya kotak berhenti, dan terdengar suara pintu besar berderit terbuka.
CEKIIITT!
JEBLUGH!
Ruangan itu tiba-tiba hening. Segera Rose mengintip dari celah, benar saja tidak ada orang satupun.
Penutup kotak dibuka dari dari dalam. Cahaya lampu terang menyilaukan matanya. Rose ternganga. Di sekelilingnya, bukan jasad… bukan perhiasan… tapi tumpukan uang kertas dalam jumlah yang membuatnya nyaris kehilangan kata-kata. Kotak hitam itu adalah peti uang.
Suara langkah mendekat. Rose panik. Ia menutup penutup kotak, lalu perlahan merayap keluar dari sisi belakang, memanfaatkan celah kecil di papan yang sedikit longgar. Ia menyelinap di antara tumpukan kotak lain, lalu naik ke tangga darurat di pojok ruangan.
Napasnya terengah, tapi matanya berbinar. Malam ini ia menemukan rahasia lain tentang Bianco Reale… dan rahasia itu bisa membawanya lebih dekat pada kebenaran tentang Lucas Morreti, sosok suami yang bahkan belum pernah ia lihat wajah aslinya.
Disisi lain, Hose sedang berbicang serius dengan Lucas, mengenai rumor yang mengguncang Pallazo Delle Spose.
Hose berdiri di hadapannya, kedua tangannya memegang selembar gaun robek yang kotor dan berbau lumpur busuk.
“Ini… milik istri terbaru, Tuan, Roselyne Alviera,” katanya datar, meski tatapannya tak berani menatap langsung ke mata majikannya. “Dimitri bilang, ia pulang dari taman dengan penuh luka. Baju ini__” Hose mengangkatnya sedikit, “...basah lumpur, robek parah, dan baunya… seperti selokan di belakang gedung terlarang.”
Lucas mengangkat kepalanya perlahan. Cahaya lampu meja menangkap garis wajahnya yang simetris, rahang tegas, mata kelabu yang seperti menyimpan badai. Sekilas, ia tampak seperti pangeran muda dalam balutan jas hitam__namun aura dingin di sekitarnya menelanjangi kebohongan itu.
“Dia… terluka?” suaranya rendah, nyaris bisikan, tapi Hose tahu betul intonasi itu berbahaya.
Hose menelan ludah. “Ya, Tuan. Luka gores di tangan dan kakinya cukup banyak. Dimitri bilang… ia bilang seperti habis dikejar sesuatu.”
Lucas bersandar, kedua tangannya menyatu di depan wajah, jemari saling mengait. “Atau… sedang mencari sesuatu?”
Tatapannya menyipit, tajam. “Istri baru itu… kelihatannya bukan tipe yang betah diam. Dan yang tidak betah… biasanya mencari pintu keluar.”
Keheningan tegang memenuhi ruangan. Hose hanya menunduk, tahu betul Lucas sedang menghitung langkah berikutnya.
Akhirnya Lucas berkata, pelan tapi menusuk,
“Awasi dia. Aku ingin tahu setiap langkahnya… sebelum dia menghilang dari tanganku.”
**
Langkah Rose semakin jauh. Tapi dikamusnya seolah tidak mengerti apa itu rasa takut. Rose berjongkok di sudut, napasnya tertahan, mendengarkan langkah petugas keamanan yang lewat di luar.
Begitu derap langkah itu memudar, ia menyelinap keluar dari celah pintu yang terbuka sedikit. Lorong benton itu dingin dan lenggang, hanya lampu di dinding yang berkelip.
Suara percakapan samar terdengar dari arah tikungan. Rose mendekat pelan, menempelkan tubuh ke dinding.
“Apa bos besa rada?” ujar seorang pelayan wanita dengan suara pelan.
“Dia sedang sibuk dengan Tuan Hose. Mungkin akan lama,” jawab temannya.
Rose mengerjap__ini kesempatan, pikirnya.
Dengan langkah ringan, ia mengikuti arah yang ditunjukkan percakapan tadi. Lorong menuju kamar pribadi Lucas berbeda dengan bagian lain Bianco Reale__lantainya marmer hitam berkilau, langit-langitnya tinggi dengan lukisan langit malam.
Pintu ganda berwarna gelap itu berdiri megah. Rose menekan gagangnya, tak terkunci. Pintu berderit sedikit saat ia mendorong, membuat jantungnya berdegup semakin kencang.
Ruangan itu luas, mewah namun dingin. Tempat tidur kanopi tinggi menjulang, seprai satin berwarna kelam. Meja kerja di sisi kanan penuh dengan dokumen rapi dan sebuah peta besar yang terbentang.
Rose melangkah masuk, matanya menyapu cepat setiap detail. Sebuah photo lama di pajang rapi diatas meja, pria gemuk dengan senyum lebar, mengenakan topi bowler dan dasi kupu-kupu, dibawah nya tertulis, Morreti.
“Hhhh!” dengus Rose, tertawa kecil. Ternyata ini penampakan pria doyan kawin itu, pikirnya. “Tapi saat menikah, aku lihat ia tinggi dan tubuhnya lurus di balik jas. Tidak ada perut gendud seperti ini, atau dia sakit lalu berat badannya turun. Bisa saja__Ya Tuhan, jelek sekali suamiku ternyata. Aku menyesal menyelinap kesini, Haha… dia benar-benar seperti badut, lebih jelek dari yang aku bayangkan,” celoteh Rose, kesal sendiri.
Rose tahu ia bermain api, tapi langkahnya terlalu jauh untuk berbalik. Tangannya gesit membuka laci kedua di meja samping tempat tidur. Sebuah map bersegel hitam ada di dalamnya, namun ia belum sempat menariknya keluar ketika suara gagang pintu berputar terdengar.
Krek!!
Refleks, ia merunduk dan merangkak cepat ke bawah ranjang. Nafasnya nyaris tak terdengar, tubuhnya menempel di lantai marmer yang dingin.
Suara pintu terbuka pelan. Sepasang sepatu kulit masuk, langkahnya tenang namun pasti. Di detik yang sama, sebuah buku catatan jatuh dari atas ranjang.
Bruk!!
Mendarat tepat di hadapan Rose. Kulitnya cokelat tua, tebal, dengan sudut-sudut aus seperti sering dibuka.
Rose melirik ke arah pintu dari celah bawah ranjang. Bukan Lucas Morreti yang ia lihat. Pria itu… terlalu muda. Tingginya sekitar 185, kulitnya putih bersih, wajahnya setajam patung marmer tapi dengan senyum samar yang anehnya membuat Rose membeku. Rambutnya hitam kelam, rapi, kontras dengan kemeja putih longgar yang ia kenakan.
Rose menatapnya lekat-lekat dari persembunyian, jantungnya berdegup keras__Siapa dia? Malaikat? Atau bayangan dari masa lalu yang salah masuk ke Bianco Reale?
Kalau ini kamar Lucas… maka siapa pria itu? Anaknya? Saudara? pikir Rose, kebingungan.
Tangan Rose perlahan meraih buku catatan itu, menyelipkannya ke balik bajunya. Ia tak tahu apa isinya, tapi instingnya berkata__ini penting.
Di atas ranjang, pria tampan itu duduk santai, membuka kotak rokok sambil melirik sekeliling ruangan, seolah ia tahu ada sesuatu yang tak beres.
Rose menahan napas ketika pria itu berdiri, jemarinya yang panjang mulai membuka kancing kemeja satu per satu. Cahaya lampu jatuh di kulitnya__putih, mulus, seakan diukir dari marmer.
Ya Tuhan… Rose membekap mulutnya sendiri. Ia tak tahu debar di dadanya berasal dari rasa takut ketahuan atau dari pemandangan yang tak seharusnya ia lihat.
Pria itu melepas kemejanya sepenuhnya, mengungkapkan dada bidang dan otot yang terbentuk rapi, bukan seperti pria berotot kekar yang kasar, tapi seimbang__nyaris sempurna. Bahunya lebar, pinggangnya ramping. Gerakannya tenang, santai, seperti seseorang yang tak pernah merasa terancam di tempat ini.
Rose menunduk sedikit, berusaha mengalihkan pandangan, tapi matanya malah kembali melirik dari celah. Dia terlalu sempurna. Begitu sempurna, Rose nyaris lupa kalau ia sedang menyelinap di Bianco Reale, di kamar pria paling berbahaya di kota ini.
Siapa kau sebenarnya? Gumam batinnya. Kalau benar ini kamar Lucas Morreti, maka… dimana Lucas?
Pria itu mengambil baju tidur dari lemari, membelakanginya. Rose memanfaatkan momen itu untuk merangkak sedikit mundur, agar lebih tersembunyi di bayangan kaki ranjang. Tapi jantungnya tak juga diam__seolah setiap detak akan menyeretnya keluar untuk ketahuan.
Lucas berdiri diam di tengah kamar. Tatapannya menyapu sekeliling, seakan ada sesuatu yang tak pada tempatnya.
Hidungnya menangkap aroma samar__wangi manis, lembut, bukan miliknya, bukan pula aroma pelayan yang kadang masuk membersihkan ruangan.
“Parfum wanita…” pikirnya.
Sudut bibirnya terangkat tipis. Bukan senyum, lebih seperti tanda bahwa pikirannya sudah mulai menyusun dugaan. Ia melangkah perlahan, jemari menyentuh meja, kursi, hingga ranjang, lalu berhenti.
“Hmmm…” gumamnya pendek, seakan menguji udara.
Tanpa banyak bicara, ia melangkah ke kamar mandi, pintunya menutup pelan.
Di bawah ranjang, Rose menahan napas. Peluh dingin membasahi pelipisnya.
“Dia pergi… ini saatnya.” Pikir Rose.
Dengan hati-hati, ia merangkak keluar, meraih buku catatan yang tadi ia sembunyikan di balik bajunya. Jantungnya berdegup cepat, langkahnya ringan menuju pintu.
Tapi tepat saat tangannya menyentuh gagang pintu…
Sebuah tangan kuat menekan pundaknya dari belakang. Rose sontak berbalik dan berusaha melepaskan diri.
Bersambung!
*
“Hei, terima kasih sudah baca sampai sini. Jangan lupa kasih like, komentar, atau bagikan ya. Dukungan dari kamu itu berarti banget buat aku lhoo…”
Sehat-sehat pecinta Novel online…