Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 26
Di kantor pusat Surabaya, Faizan duduk di ruang rapat eksekutif. Di depannya, layar besar menampilkan laporan keuangan kuartal berikutnya. Suara rekan-rekan kerjanya terdengar serius, membahas strategi yang akan menentukan nasib proyek besar perusahaan.
Namun, di meja samping laptopnya, ponselnya terus bergetar. Nama yang muncul berkali-kali: "Mamah".
Faizan sempat melirik sebentar, rahangnya mengeras. Ia menolak panggilan itu dua kali. Tapi ketika untuk ketiga kalinya telepon masuk, ia menghela napas berat, lalu akhirnya mengangkatnya dengan nada suara yang tetap dingin.
“Faiz,” suara Ibu Maisaroh terdengar di ujung sana, sarat emosi. “Kamu tidak ada kabarnya sejak pergi ke Surabaya, kapan kau pulang?”
Faizan bersandar di kursinya, menatap jendela gedung tinggi di seberang. Suaranya datar, tanpa intonasi hangat sedikit pun.
“Faiz di sini sedang bekerja, Mah. Ada rapat penting. Soal kepulangan, nanti Faiz juga akan pulang setelah semuanya kembali stabil.”
“Faiz,” suara ibunya bergetar. “Tapi...?”
Faizan terdiam sejenak, jemarinya mengetuk meja dengan ritme pelan. Lalu ia berkata tanpa menoleh ke siapa pun di ruangan, “Nanti kalau ada waktu Faiz hubungi lagi.”
Lalu tanpa menunggu jawaban ibunya, Faizan menutup telepon itu begitu saja. Pandangannya kembali ke layar presentasi, seolah percakapan barusan tak pernah terjadi.
Di seberang sana, Ibu Maisaroh hanya bisa memandang ponselnya dengan tangan bergetar, merasa anaknya yang dulu hangat kini sudah jauh tak terjangkau.
Kembali ke rumah Ibu Maisaroh, saat ini suasana makan siang terasa hampa. Meja makan terisi lauk-pauk hangat, tapi Alea hanya duduk diam, menatap piring di depannya tanpa minat.
“Alea, makan dulu, Nak,” suara Ibu Maisaroh terdengar lembut tapi penuh kekhawatiran. “Tubuhmu masih lemah. Kalau begini terus, bagaimana mau cepat sembuh?”
Alea menggeleng pelan. “Nanti saja, Bu… saya belum lapar.”
Padahal sejak pagi, ia bahkan belum menyentuh apapun selain segelas air putih. Tubuhnya makin kurus, matanya sayu. Tapi yang lebih menyakitkan dari semua itu adalah pikirannya yang tak pernah berhenti memutar kejadian beberapa hari terakhir—kebersamaan singkat dengan Faizan, kehilangan yang begitu cepat, dan kini kepergian suaminya tanpa kabar sedikit pun.
Setiap detik rumah itu terasa seperti penjara. Bukan karena Ibu Maisaroh—perempuan itu sudah begitu baik, begitu sabar—tapi karena Alea merasa dirinya hanya beban di rumah yang seharusnya jadi tempat pulang suaminya sendiri.
Sore itu, hujan turun pelan, membasahi halaman rumah. Alea duduk di tepi ranjang, lututnya ditarik ke dada. Di atas meja, nampan berisi makanan yang dibawakan Ibu Maisaroh masih utuh—tak tersentuh sejak siang tadi.
“Kalau aku pergi dari sini… mungkin semua akan lebih tenang,” gumamnya lirih, suara nyaris tak terdengar.
Pandangannya kosong menatap jendela. Setiap tetes air yang jatuh di kaca seperti memantulkan ribuan pertanyaan di kepalanya: "Sampai kapan aku harus di sini? Apakah Faiz akan peduli kalau aku benar-benar pergi?"
Alea memejamkan mata, mencoba memikirkan tempat yang bisa ia tuju.
"Ke rumah Tante Rani?" Itu rumah sepupu ibunya di kota sebelah. Tante Rani pernah bilang pintu rumahnya selalu terbuka untuk Alea. Tapi Alea tahu, kalau ia ke sana, cepat atau lambat Ibu Maisaroh pasti akan menemukan dirinya.
"Atau mungkin kos di dekat tempat kerja dulu?" Tempat itu sederhana, tapi ia masih mengenal pemiliknya, dan mereka cukup baik. Setidaknya di sana ia bisa benar-benar sendiri tanpa ada yang mengatur.
Namun ada satu tempat lagi yang sempat melintas di benaknya: "Rumah sahabat lamaku, Siska." Siska tinggal di kota lain, cukup jauh, dan mereka sudah lama tidak bertemu. Tapi Alea yakin Siska akan menerimanya tanpa banyak bertanya.
Ia membayangkan meninggalkan rumah itu, mencari tempat di mana tak ada seorang pun mengenalnya. Tempat di mana ia bisa memulai hidup baru tanpa harus terus menunggu seseorang yang bahkan tidak menoleh ke arahnya, air matanya jatuh pelan. Untuk pertama kalinya, keinginan pergi dari rumah itu terasa begitu nyata di hatinya.
Semakin lama ia memikirkan semua pilihan itu, semakin besar keinginan Alea untuk benar-benar pergi. Ia hanya belum tahu kapan waktunya—mungkin besok, mungkin lusa—tapi hatinya sudah mantap. Yang jelas, rumah ini tak lagi terasa seperti rumah baginya.
Malam itu, jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh ketika pintu kamar hotel terbuka. Faizan masuk dengan langkah tenang namun wajah lelah jelas terlihat di rautnya. Jasnya ia letakkan di kursi, dasinya ia longgarkan sambil menghela napas panjang.
Di atas kasur, Nayla masih terbaring, kaki kirinya diperban rapi. Ia berusaha bangkit sedikit ketika mendengar pintu terbuka, tapi rasa sakit membuatnya hanya bisa bersandar di kepala ranjang.
“Sudah makan?” tanya Faizan singkat, suaranya datar seperti biasa.
Nayla mengangguk pelan. “Sudah… Raka tadi yang bawakan makanan.”
Faizan hanya mengangguk tipis. Ia mengambil segelas air dari meja, meneguknya dalam sekali minum. Pandangannya sempat sekilas mengarah ke kaki Nayla yang diperban, lalu ia bertanya lagi, “Masih sakit?”
“Masih agak nyeri,” jawab Nayla jujur. “Tapi dokter bilang mungkin besok sudah bisa coba belajar jalan sedikit.”
Faizan hanya menanggapi dengan gumaman pendek, lalu duduk di sofa. Ia terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal, matanya menatap kosong ke arah lantai.
Nayla memperhatikan diam-diam. Ada sesuatu pada pria ini yang membuatnya penasaran—dingin, penuh jarak, tapi entah kenapa tetap membuatnya ingin tahu lebih banyak.
Kamar hotel itu sunyi. Hanya suara AC yang terdengar pelan. Faizan masih duduk bersandar di sofa, kemeja putihnya sudah sedikit kusut, sementara Nayla duduk di tepi ranjang dengan bantal di pangkuannya.
Sejak tadi Nayla ingin bertanya, tapi selalu ragu. Tatapan Faizan yang dingin seperti tembok membuatnya sulit membaca apa pun dari pria itu. Namun rasa penasaran yang sejak semalam menghantuinya semakin besar.
“Pak Faizan…” Nayla memulai dengan suara hati-hati.
Faizan membuka matanya perlahan, menoleh sekilas. “Hm?”
Nayla menggigit bibirnya sebentar, lalu memberanikan diri. “Boleh saya tanya sesuatu? Tentang… status Bapak. Maksud saya… Bapak sudah menikah?”
Suasana langsung terasa berat. Faizan tidak menjawab. Pandangannya kembali lurus ke depan, seolah pertanyaan itu hanyalah suara angin yang lewat begitu saja.
Nayla menunggu beberapa detik, berharap ada jawaban. Tapi Faizan tetap diam, wajahnya tanpa ekspresi.
“Kalau pertanyaan saya tidak sopan… maaf,” ucap Nayla akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
Faizan hanya menghela napas panjang, bangkit dari sofa, lalu mengambil segelas air di meja tanpa sekalipun menatap Nayla. Ia minum seteguk, lalu berkata datar, “Sudah malam. Istirahat saja.”
Itu saja. Tidak ada penjelasan. Tidak ada jawaban.
Nayla mengangguk pelan, meski hatinya dipenuhi tanda tanya yang makin banyak. Ia sadar, pria ini menyimpan banyak rahasia yang tak mudah disentuh orang lain.
...------------...
Bersambung...