Ketika Tuan Muda punya perasaan lebih pada maid sekaligus sahabatnya.
Gala, sang pangeran sekolah, dipasangkan dengan Asmara, maidnya, untuk mewakili sekolah mereka tampil di Festival Budaya.
Tentu banyak fans Gala yang tak terima dan bullyan pun diterima oleh Asmara.
Apakah Asmara akan terus melangkah hingga selesai? Atau ia akan mundur agar aman dari fans sang Tuan Muda yang ganas?
Happy Reading~
•Ava
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bravania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Break
Gala melangkah pelan-pelan mendekati Ryuka dan Asmara.
"Berhenti!!"
Gala menghentikan langkah ketiganya saat melihat Ryuka menempelkan pisau itu di leher Asmara.
"Please. Sadarlah! Aku tak akan pernah melihatmu."
"Maka kau pun tak akan pernah melihat dia."
Ryuka menggores leher Asmara. Hanya goresan tipis. Namun tetap saja goresan itu menghasilkan luka yang berdarah.
"Lihat! Aku sudah melukainya. Hahaha."
Tawa mengerikan itu jelas keluar dari bibir Ryuka. Dan kini Gala bisa melihat sahabatnya yang menatapnya takut. Bibirnya merangkai kata 'tolong' tanpa suara.
"Aku mencintaimu, Gala."
Suara Ryuka melirih. Ia menunduk juga pegangannya pada pisau di leher Asmara mengendur. Kesempatan ini digunakan Gala untuk mendekat ke arah dua orang itu.
Sebuah ide terlintas di kepala Gala.
"Kau mau jadi milikku?"
Ryuka dan Asmara sama-sama menatap Gala tak percaya.
"Kau serius, Gala?"
Gala menatap Asmara sekilas sebelum mengangguk pada Ryuka. Gala berharap ia tak salah lihat saat kilat sendu itu muncul di manik karamel Asmara.
"Tentu. Kemarilah dan jadi milikku."
Gadis blasteran Jepang itu mendekati Gala. Masih dengan pisau yang berada di genggamannya. Mungkin ia terlalu senang sampai tak berpikir itu hanya tipuan.
Gala menampilkan senyum tampannya saat gadis bersurai gelap itu sudah berdiri di hadapannya. Tangannya terangkat. Sedangkan Ryuka menanti Gala yang akan mengusap surainya lembut.
Asmara lebih memilih menundukkan kepalanya. Ia sadar tak sanggup jika harus terus melihat pemandangan di depannya.
Brukk
Asmara mendongak. Kini dilihatnya Gala mendekat dengan pisau di tangannya dan Ryuka di belakang sana yang tersungkur di lantai.
"Kau tak apa? Setelah ini kita obati lukamu."
Gala berusaha melepaskan tali yang mengikat tangan lalu bergantian ke tali yang melingkari tubuh Asmara secepat yang ia bisa.
Saat akan melepas tali di bagian kaki, Asmara mendorong Gala ke samping.
JLEB
Dan sebuah pisau kecil menembus kulit paha Asmara. Gala segera bangun dari kekagetannya dan mendorong Ryuka menjauh dari kawannya.
"Kau gadis gila!!"
"Ya! Dan aku gila karena mu, Gala!"
Dengan ringisan pelan yang keluar dari mulutnya, Asmara berusaha melepas tali yang masih mengikat kakinya.
Gala mendorong Ryuka yang berusaha menusukkan pisau ke tubuhnya.
Gala berlari menghampiri Asmara. Melepas jaket yang ia pakai lalu mengikatnya untuk menutupi luka Asmara. Ringisan pelan tak berhenti keluar dari bibir tipis gadis itu.
"Tahan! Kita akan ke rumah sakit."
Gala meraih pisau. Berjaga-jaga agar Ryuka tak mendekatinya dan Asmara lagi. Ia menggendong Asmara di depan tubuhnya.
"Ku pastikan kau berurusan dengan pihak berwajib setelah ini."
Lalu ia keluar dari ruangan itu.
Saat sampai gerbang. Satpam yang tadi berjaga bingung melihat Gala tak sendirian saat keluar. Namun satpam itu memilih tak ambil pusing saja.
~·~
Asmara menatap perban yang menempel di paha kirinya juga plester-plester kecil di lengan kanannya. Huh.. sepertinya ia harus rehat dulu beberapa hari dari latihan menarinya. Sedang luka di lehernya, ia minta agar tak diplester atau diperban agar ayahnya tak terlalu curiga. Ia bisa menutupinya dengan kerah baju dan beralasan sedang tidak enak badan.
"Masih sakit?" Pertanyaan bodoh sebenarnya. Tapi Gala tak ingin Asmara terlalu fokus pada sakitnya.
"Tentu saja, bodoh! Kau pikir ditusuk pisau dan berdarah seperti itu tidak sakit?!"
Gala tersenyum tipis. Asmaranya sudah baik-baik saja jika sudah bisa bicara ketus seperti itu. Tak lama senyumnya menghilang.
Greb
"Maafkan aku."
Asmara panik saat merasakan bahunya mulai basah. Gala mengeratkan rengkuhan di pinggang ramping itu.
"Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku."
"Hei, hei. Ini bukan salahmu. Jangan cengeng!" Asmara menepuk pelan punggung tegap sahabatnya.
"Jika kau tak ada aku harus apa?"
"Heh! Kau ingin aku mati?!"
Gala menggeleng kencang di bahu Asmara.
"Mana -Hiks- mungkin aku -Hiks- seperti itu?!"
Dasar anak kecil, batin Asmara.
"Sudah! Jangan menangis lagi! Cengeng sekali."
Gala melepas pelukannya dan menatap Asmara dengan mata yang penuh lelehan air mata.
Asmara menghela napas pelan. Ia mengusap air mata Gala dengan tatapan pemuda itu yang tak lepas dari dirinya.
"Sudahlah. Aku tidak apa-apa. Satu minggu lagi ini akan sembuh."
"Dokter bilang apa lagi?"
"Em.. perbannya harus diganti dua hari sekali. Aku tak boleh bergerak terlalu banyak juga. Hanya itu."
Asmara menatap Gala yang ternyata juga menatapnya- dengan teduh.
"Jangan menatapku seperti itu!"
Gala tersenyum tipis sebelum membantu Asmara turun dari ranjang.
"Ayo, pulang!"
Asmara teringat sesuatu.
"Gala, jangan cerita apa-apa pada ayahku."
"Iya."
Keduanya keluar dari rumah sakit dan kembali ke Mansion keluarga Pramadana.
Beruntung saat pulang Tuan Besar Pramadana memiliki keperluan di luar kota selama beberapa hari dan Pak Alam sudah pasti menemaninya. Jadi Asmara hanya mengabari ayahnya jika ia dan Gala sudah pulang.
~·~
Eric memekik terkejut saat melihat Gala yang mengantar Asmara sampai ke kelas.
"Lihat, kan? Reaksi mereka pasti akan berlebihan."
"Tapi kau tak bisa berjalan dengan benar, Nona Candrima."
Asmara hanya bisa mendengus sebal mendengar ucapan Gala. Ucapan pemuda itu memang benar, TAPI APA HARUS DIA MENGGENDONGNYA SAMPAI KE KELAS?! Asmara jelas saja malu. Belum lagi reaksi orang-orang.
Sebenarnya tadi Asmara hanya minta dituntun saat berjalan, tapi dengan alasan Asmara berjalan sangat lambat Gala memaksa untuk menggendongnya saja. Untung Gala menurut saat Asmara bilang agar menggendongnya di punggung, bukan ala pengantin seperti yang Gala usulkan.
"Terimakasih. Sana ke kelasmu! Nanti istirahat jangan lupa temui Pak Bayu."
"Hm. Baik baik di kelas. Jangan pergi kemanapun sendirian! Eric, aku titip Asmara, ya."
Setelah dibalas anggukan oleh Eric, Gala pun keluar dari kelas Asmara.
Saat itu juga Eric menatap Asmara penuh intimidasi.
"Ada yang ingin kau ceritakan padaku, Asmara?!"
"Ck. Malas. Kapan-kapan saja."
Nyatanya tatapan intimidasi Eric tak mempan untuk seorang Asmara Candrima.
~·~
"Ryuka ditangkap polisi tadi pagi."
"Benarkah? Ada apa?"
"Entah. Aku tak tahu. Aku hanya melihat saat ia dibawa pergi oleh polisi. Tapi aku sempat mendengar ia menyumpah serapahi seseorang."
"Siapa?"
Gala tanpa sadar menyeringai tipis saat tak sengaja mendengar dua siswi yang membicarakan gadis psycho itu.
"Hei!" Asmara menepuk pelan lengan di sampingnya.
"Eh, ya. Ada apa?"
"Ck. Kenapa melamun?! Aku bertanya padamu."
Asmara mendecak sebal saat pertanyaannya tak digubris oleh pemuda tinggi di sampingnya itu.
Asmara memang tak mendengar pembicaraan siswi tadi. Kenapa? Ya karena dua telinganya sudah terpasang headset yang tadi dibawa Gala.
"Maaf. Tadi kau tanya apa?"
"Apa kata Pak Bayu padamu?"
Ah, iya.mereka sekarang sedang di perjalanan kembali dari ruang guru. Mereka harus membicarakan masalah 'kaki' Asmara dengan Pak Bayu juga, kan?
"Ah.. Pak Bayu bilang kita akan libur latihan sampai kakimu sembuh."
"Eh? Festival tinggal tiga minggu lagi dan kita juga belum menyelesaikan gerakannya."
"Lalu kau mau apa? Memaksa tetap latihan? Yang ada kaki mu tak akan sembuh kalau begitu."
Gadis itu diam. Memikirkan cara agar mereka tak harus mengejar terlalu banyak kekurangan gerakan dan persiapan untuk performance mereka.
"Aku ada ide."
Gala menatap bingung Asmara yang menampilkan senyum lebarnya.
~·~
Tatapan Asmara tak lepas dari Gala yang menggerakkan tubuh mengikuti beat lagu milik mereka. Tak lupa ia juga merekamnya agar bisa ia tonton saat di rumah. Jadi dia tak akan ketinggalan terlalu banyak untuk tarian mereka nanti.
Dan itu adalah ide yang Asmara maksud tadi. Mereka harus tetap produktif meskipun kakinya sedang sakit seperti ini. Apalagi Festival Budaya tinggal 3 minggu lagi. Ia tak ingin penampilannya tak maksimal nantinya.
Gala berhenti. Ia duduk bersandar pada kursi yang diduduki Asmara. Kepalanya ia sandarkan di paha gadis itu. Tak lupa kakinya ia luruskan setelah lelah bergerak hampir dua jam.
"Bagaimana? Sudah kau rekam?"
Asmara mengangguk antusias. Tak lupa senyuman manis di bibirnya.
"Seminggu lagi kita akan mempraktekkannya berdua."
"Hm. Oke. Ayo, pulang!"
"Ayo! Tapi aku tak mau digendong lagi."
"Kakimu-"
"Kau bisa menuntunku, Gala."
Gala menghela napas pelan.
"Baiklah. Tunggu sebentar."
Setelah pemuda itu selesai berganti baju, mereka pun pulang. Dan tak ada aksi gendongan lagi kali ini.