NovelToon NovelToon
Immortality Through Suffering

Immortality Through Suffering

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Spiritual / Balas Dendam / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.

Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.

Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.


Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nyoya Lin Huayue Tidak Menerima Xu Hao!

Gerbang besar kediaman Klan He perlahan berderit terbuka. Suara berat engselnya berpadu dengan desir angin yang membawa aroma dedaunan pinus dari halaman dalam. Dari arah paviliun depan, suara langkah kaki cepat terdengar, semakin lama semakin dekat. Puluhan pelayan berbaris rapi di kedua sisi pintu gerbang, mengenakan pakaian seragam berwarna biru muda yang bersih tanpa noda, diikat dengan sabuk hitam dari kulit halus. Di dada mereka, tersemat lambang Klan He yang disulam dengan benang emas.

Begitu melihat sosok Cuyo melangkah masuk, semua pelayan serempak menundukkan kepala, suara mereka bergema seperti pukulan genderang.

"Selamat datang kembali, Tuan Cuyo."

Nada hormat itu memantul di dinding-dinding tinggi halaman, memberi kesan khidmat sekaligus megah.

Xu Hao terpana. Begitu melewati ambang gerbang, matanya disambut pemandangan halaman yang luasnya tak kalah dengan sebuah alun-alun kota kecil. Jalan setapak dari batu putih memanjang lurus bagaikan ular naga yang sedang beristirahat, mengarah langsung ke sebuah aula utama yang menjulang anggun di tengah-tengah kompleks. Di kiri-kanan jalan itu, taman-taman rapi tertata. Pohon-pohon pinus tua menjulang, cabangnya meliuk seperti lukisan tinta para pelukis istana. Angin berhembus lembut, menggoyangkan jarum-jarum daun yang jatuh berputar di udara.

Di sisi kiri halaman, sebuah kolam dengan air sebening kristal memantulkan langit biru. Ikan koi berwarna emas dan merah berenang santai, sesekali menciptakan riak air yang menghapus bayangan awan. Di sisi kanan, sebuah arena latihan berdiri kokoh. Beberapa murid muda mengenakan pakaian putih berlatih gerakan pedang dengan sinkronisasi sempurna. Setiap ayunan bilah mengeluarkan suara tajam, seolah memotong udara.

Namun, suasana sambutan hangat itu perlahan berubah. Mata para pelayan yang awalnya tertunduk mulai melirik ke arah Xu Hao. Bisikan-bisikan lirih mulai terdengar.

“Bukankah Tuan Cuyo berangkat ke pelelangan untuk mencari harta langka?”

“Kenapa malah membawa anak kurus yang berpakaian seperti orang desa?”

“Dia… bahkan auranya kosong, tidak ada tanda kultivasi sama sekali.”

Xu Hao bisa merasakan tatapan itu. Meski tidak berani menoleh, telinganya menangkap jelas nada merendahkan dalam suara mereka. Langkahnya menjadi sedikit kaku, namun ia tetap mengikuti Cuyo menuju aula utama.

Pintu besar dari kayu cendana di ujung jalan setapak terbuka. Aroma harum kayu tua bercampur bau dupa yang lembut menguar keluar. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan melangkah keluar. Wajahnya cantik namun memiliki ketegasan yang mengintimidasi. Kulitnya putih pucat seperti giok yang baru diasah, rambut hitamnya tersanggul rapi, dihiasi tusuk rambut dari giok hijau yang memantulkan cahaya sore. Di jemari tangannya yang ramping, tergantung sebilah kipas lipat dari sutra. Itu Lin Xuanyue istri Cuyo.

Tatapannya pertama kali jatuh pada Cuyo, senyum tipis muncul sejenak. Namun begitu matanya menangkap sosok Xu Hao, senyum itu lenyap seperti embun pagi tersapu sinar matahari. Dahinya berkerut, dan suaranya keluar dingin.

"Suamiku, apa maksudnya ini?"

Cuyo menjawab tenang namun tegas. "Ini Xu Hao. Mulai hari ini, ia akan tinggal bersama kita."

Tatapan Nyonya Lin Huayue tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. Matanya menyapu tubuh Xu Hao dari kepala hingga kaki. "Tinggal bersama kita? Suamiku, kau kembali membawa seorang anak kurus yang bahkan tidak memiliki tanda-tanda Qi sedikit pun? Untuk apa? Apa maksudmu?"

Xu Hao menunduk, tetapi rasa malu membakar wajahnya.

Cuyo menghela napas. "Hao’er berbeda. Suatu hari nanti kau akan mengerti."

Namun, Nyonya Lin Huayue justru menyipitkan mata, suaranya mengeras. "Berbeda? Yang kulihat, dia hanyalah beban. Dia akan membuang-buang sumber daya klan tanpa memberi manfaat. Orang seperti ini, jika dibiarkan, hanya akan menjadi parasit. Buang saja dia sebelum menjadi duri di daging."

Ucapan itu jatuh seperti palu besi ke dalam hati Xu Hao.

Di dalam aula, beberapa tetua yang duduk di kursi samping ikut berbisik.

“Anak ini benar-benar tidak memiliki aura.”

“Tidak ada jalur meridian yang terbuka… bahkan Qi murni pun tidak terasa darinya.”

“Membawa beban seperti ini, apa Tuan Cuyo sudah kehilangan akal?”

Setiap kata menusuk telinga Xu Hao seperti jarum es.

Cuyo melangkah maju, wajahnya mulai mengeras, tetapi sebelum ia sempat berbicara, Xu Hao membungkuk dalam-dalam. Suaranya bergetar namun tegas.

"Terima kasih, Paman Cuyo… sepertinya aku tidak pantas tinggal di sini. Suatu saat nanti, aku akan kembali untuk membalas kebaikan paman. Aku bersyukur… di perjalanan hidupku, aku bertemu orang sebaik paman. Selamat tinggal, paman."

Tanpa menunggu jawaban, Xu Hao berbalik dan berlari keluar dari aula.

Suara langkah kakinya memantul di batu putih jalan setapak, melewati taman pinus dan kolam koi. Angin sore menghantam wajahnya, dinginnya menusuk tulang. Para pelayan yang berjaga di gerbang hanya bisa menatap heran saat ia berlari melewati mereka, menghilang di antara keramaian jalan kota.

Xu Hao terus berlari tanpa arah. Setiap langkah seperti berusaha menjauh dari tatapan merendahkan itu, dari kata-kata yang menggores harga dirinya. Langit di barat mulai memerah, sinar senja memantulkan warna darah pada dinding-dinding batu. Napasnya berat, dada terasa sesak.

Akhirnya, ia berhenti di sebuah sudut jalan yang sepi, bersandar pada dinding batu yang dingin. Lututnya lemas, dan air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah, mengalir membasahi pipinya.

Ia mendongak menatap langit sore. "Mungkin… mereka benar. Aku tidak seharusnya ada di sini. Aku hanya akan menjadi beban bagi Paman Cuyo."

Lalu, dalam kesunyian itu, suara ayah dan ibunya seakan bergema di kepalanya.

Hao’er, jangan pernah bergantung pada siapa pun. Bergantung pada manusia sama dengan mengundang kekecewaan. Jika ingin bertahan, bertahanlah dengan kekuatanmu sendiri.

Xu Hao tersenyum getir di sela-sela air mata. Tawa tipisnya terdengar aneh, bercampur tangis, seperti suara seseorang yang berdiri di tepi jurang tetapi memaksa dirinya untuk tidak jatuh.

Di jalan yang sepi itu, Xu Hao melangkah pelan. Udara sore terasa dingin, angin membawa aroma tanah basah dari taman-taman kota. Namun langkahnya terhenti ketika sebuah bayangan melayang cepat dari arah belakang, dan dalam sekejap, Cuyo sudah berdiri di hadapannya.

Xu Hao menunduk, menghindari tatapan paman yang begitu peduli. Suaranya lirih namun jelas. “Pergilah, Paman. Biarkan aku pergi.”

Cuyo memandang anak itu dalam-dalam. Cahaya mentari senja yang memantul di mata Cuyo seakan mengungkapkan rasa iba yang tak tersembunyikan. “Nak, tenanglah. Paman tahu kau merasa sakit hati karena perkataan istri paman. Dia sebenarnya sangat baik. Hanya saja… lidahnya terkadang lebih cepat dari hatinya.”

Xu Hao menggeleng pelan. “Aku tidak apa-apa, Paman, dengan perkataan Bibi itu. Karena apa yang dia katakan adalah kebenarannya. Jadi, dia tidak salah berbicara seperti itu.” Ucapan itu terdengar tenang, namun ada luka yang mengalir di setiap katanya.

Xu Hao menghela napas dalam. “Aku pergi, Paman.”

Begitu Xu Hao hendak melangkah, Cuyo meraih lengannya dengan lembut namun tegas. Ia membungkuk sedikit agar sejajar dengan pandangan Xu Hao. “Jika perkataan istri paman dan semua anggota klan menyakiti hatimu, paman minta maaf. Tapi tolong… jangan pergi. Biarkan paman yang merawatmu.”

Xu Hao menatap tanah di bawah kakinya. “Aku tidak ingin membuat seluruh anggota klan Paman merasa terganggu dengan kehadiranku.”

Cuyo terdiam sejenak, lalu matanya berkilat dengan ide yang baru saja terlintas. “Baiklah. Kalau Hao’er tidak ingin tinggal di kediaman klan, bagaimana jika Hao’er tinggal bersama putri paman? Dia tinggal di puncak gunung itu.”

Jari Cuyo menunjuk ke arah luar kota. Di kejauhan, sebuah gunung berdiri menjulang, puncaknya diselimuti kabut putih tipis. Sorot mata Cuyo mengandung keyakinan. “Putri paman, Lianxue, tinggal di sana sendirian untuk memperdalam Taoisme dan mempertajam latihannya. Di sana, Hao’er bisa berlatih bersamanya. Bagaimana?”

Xu Hao memandang puncak gunung itu. Kabut yang menyelimuti tampak seperti tirai rahasia, seolah menyimpan dunia lain di baliknya. “Tapi Paman… bagaimana jika dia tidak suka denganku?”

Cuyo tersenyum menenangkan. “Tenang saja, Hao’er. Lianxue sangat baik dan dewasa. Meskipun usianya baru delapan belas tahun, dia sudah memiliki kultivasi yang cukup tinggi untuk anak gadis seusianya. Bahkan di antara generasi muda Kota Tianhe, dia termasuk yang paling menonjol.”

Xu Hao menggeleng pelan. “Aku tidak mau, Paman.”

Namun Cuyo tidak menyerah. Ia membujuk dengan sabar, mengulang kata-katanya, memberikan keyakinan sedikit demi sedikit. Nada suaranya tak hanya menenangkan, tetapi juga membawa keteguhan hati seorang ayah yang tidak ingin membiarkan anak itu kembali terombang-ambing sendirian.

Akhirnya, setelah cukup lama, Xu Hao menghela napas dan berkata pelan. “Baiklah… aku bersedia tinggal di puncak bersama Putri Paman.”

Senyum lega muncul di wajah Cuyo. “Paman akan selalu mengunjungi Hao’er setiap hari. Dan sesuai janji paman, paman akan mencari cara agar Hao’er bisa berkultivasi. Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.”

Xu Hao menunduk, menahan emosi yang nyaris meluap. “Terima kasih, Paman.”

Cuyo tertawa kecil. “Tidak perlu berterima kasih. Kalau begitu, ayo kita pergi.”

Xu Hao mengangguk.

Langkah keduanya kemudian meninggalkan jalan sepi itu. Matahari mulai tenggelam di balik pegunungan, sinarnya memercik di antara kabut tipis, memberi warna keemasan pada langit senja. Bayangan mereka memanjang di jalan batu, menuju arah di mana gunung puncak kabut menanti.

1
Nanik S
Ditunggu upnya tor 🙏🙏🙏
Nanik S
Huo... nekat benar memberi pelajaran pada Pria Tu
Nanik S
apakah mereka bertiga akan masuk bersama
Nanik S
Huo memang Urakan.... memang benar yang lebih Tua harus dipanggil senior
Nanik S
Lha Dau Jiwa sudah dijual
YAKARO: itu cuma tanaman obat kak. bukan jiwa beneran
total 1 replies
Nanik S
Inti Jiwa...
Nanik S
Lanjutkan makin seru Tor
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Makan Banyak... seperti balas dendam saja Huo
Nanik S
Pil Jangan dijual kasihkan Paman Cuyo saja
Nanik S
Mau dijual dipasar tanaman Langkanya
Nanik S
Lanjutkan
Nanik S
Ceritanya bagus... seorang diri penuh perjuangan
Nanik S
Cerdik demi menyelamatkan diri
Nanik S
Baru keren... seritanya mulai Hidup
YAKARO: Yap, Thanks you/Smile/
total 1 replies
Nanik S
Mungkin karena Xu Hai telah byk mengalami yang hampir merebut nyawanya
Ismaeni
ganti judul yaa thor?
YAKARO: enggak. Hidup Bersama Duka itu awalnya judul pertama pas masih satu bab, terus di ubah jadi Immortality Though Suffering. malah sekarang di ganti sama pihak Noveltoon ke semula.
total 1 replies
Nanik S
Xu Hai... jangan hanya jadi Penonton
Nanik S
Sebenarnya siapa Pak Tua yang menyelamatkan Hao
YAKARO: Hmm, saya juga penasaran/Proud/
total 1 replies
Nanik S
untung ada yang menolong Xu Hai
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!