“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 24. Beratnya.....
Begitu motor berhenti di depan rumah, Widya seperti masih enggan melepas genggaman di pinggang Arman. Tapi setelahnya ia buru-buru menarik tangannya, malu. Lalu pura-pura sibuk melepas helm.
“Capek?” tanya Arman sambil menaruh helm di rak.
“Lumayan,” jawab Widya singkat, tapi bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis yang tidak bisa ia sembunyikan.
Mereka masuk ke rumah. Arman menutup pintu, lalu melirik Widya yang sudah menjatuhkan tubuhnya ke sofa. “Tidur siang, yuk. Sekalian istirahat. Hari ini kita lumayan keliling-keliling tadi.” ajak Arman.
Widya mengangguk. Lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti pakaian, setelahnya bergantian dengan Arman.
“Sekarang tengah hari, Mas. Kamarnya terang banget, apa bisa tidur?”
Arman berjalan ke jendela, lalu menarik tirai sampai rapat. Ruangan pun langsung terasa redup, hanya cahaya samar yang lolos dari celah kecil. “Nah, sekarang nggak terang lagi kan?”
Widya tersenyum, lalu merebahkan diri di sisi ranjang, membiarkan tubuhnya tenggelam di kasur. Arman ikut berbaring, posisinya tidak jauh dari istrinya.
Beberapa menit, hanya ada hening. Napas keduanya terdengar teratur, tapi sama-sama sadar bahwa tidur bukan hal yang gampang untuk saat ini.
Arman bergumam pelan, hampir seperti bicara ke dirinya sendiri. “Enak juga ya… pas tidur singa gini ada temennya.” bibir Arman terlihat menahan senyum.
Widya menoleh sedikit, matanya masih terpejam. “Mas ini ngomongnya kayak aku boneka aja.”
Arman terkekeh. “Kalau boneka bisa bikin jantung aku deg-degan begini, berarti bonekanya spesial ya?”
Widya pura-pura mendengus, lalu membalik badan, punggungnya sekarang menghadap Arman. Tapi baru beberapa detik, ia bisa merasakan gerakan kecil. Arman menarik bantal guling di antara mereka, lagi-lagi menyingkirkannya.
“Mas…” Widya membuka mata, menoleh separuh. “Kenapa disingkirkan?”
Arman menatap Widya dengan tenang, senyum tipis terselip di bibirnya. “Biar nggak ada jarak, Wid. Kayak sedang bertengkar aja.”
Udara terasa lebih berat seketika. Widya tidak membalas, hanya kembali membalikkan badan. Tapi kali ini, ketika Arman bergeser sedikit lebih dekat, ia tidak protes.
Jarak tinggal beberapa jengkal, dan dari situ, degup jantung masing-masing sudah cukup terdengar tanpa perlu kata-kata.
Arman masih terjaga, menatap punggung Widya yang tenang di depannya. Sesekali napasnya terdengar berat, bukan karena lelah, tapi karena menahan dorongan hati yang makin sulit dikendalikan.
Pelan, jemarinya bergerak. Ia menyibakkan sedikit rambut Widya yang berantakan di bantal, lalu tanpa sadar, ia mulai menggulir helai-helai itu di antara jemarinya.
“Rambut kamu halus.” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Widya sebenarnya tidak benar-benar tertidur. Ia bisa merasakan sentuhan itu, jemari Arman yang hati-hati seperti takut merusak. Jantungnya lagi-lagi melonjak tak karuan, tapi ia memilih tetap diam, menutup mata rapat-rapat.
Arman, yang tidak tahu bahwa Widya masih terjaga, mulai berani menelusuri helaian rambutnya, lalu membiarkan jemarinya berhenti di ujung, mengelus pelan. Tatapannya melembut, bahkan senyumnya tersungging samar.
“Kalau tiap hari kayak gini… boleh nggak ya kira-kira,” bisiknya seakan pada dirinya sendiri.
Beberapa menit kemudian, rasa kantuk yang ditahan sejak tadi akhirnya menyeretnya pergi. Jemarinya yang masih menyentuh rambut Widya perlahan terhenti, dan ia pun tertidur di posisi itu. Wajahnya tenang, jarak mereka nyaris tak bersisa.
Widya, yang akhirnya membuka sedikit matanya, menoleh hati-hati. Melihat Arman benar-benar terlelap dengan tangannya yang masih menempel di rambutnya, membuat dadanya terasa hangat. Bibirnya tertarik tipis, ia tersenyum kecil.
“Mas Arman ini memang cakep, pantes aja Priya kayak nggak rela melepas mas Arman. Tapi kan dia udah jadi suamiku." batin Widya.
Tapi alih-alih menjauh, Widya justru membiarkan jarak itu hilang sama sekali. Pelan, Widya memiringkan tubuhnya, lalu kembali memejamkan mata. Jangan sampai Arman tahu kalau dia barusan menikmati wajah Arman.
Matahari sore sudah mulai miring, cahaya oranye samar menembus celah tirai yang setengah tertutup. Suasana kamar masih redup, seakan menahan keduanya untuk tetap terbuai.
Arman membuka mata lebih dulu. Pandangannya langsung bertabrakan dengan wajah Widya yang hanya berjarak sejengkal darinya. Begitu dekat, sampai ia bisa merasakan hembusan napas istrinya menggelitik kulit wajahnya sendiri.
Deg.
Refleks, Arman menahan napas sesaat. Rasanya seperti ada sesuatu yang mendesak dadanya dari dalam. Matanya turun sebentar, menatap hidung mungil itu, lalu bibir Widya yang hanya sejauh bisikan.
Sementara itu, Widya yang ternyata sudah setengah sadar juga perlahan membuka matanya. Dan begitu sadar posisi mereka benar-benar sedekat itu, tubuhnya refleks menegang.
“K-kok deket banget jadinya ya, Mas…” gumam Widya pelan, hampir tak terdengar.
Arman sempat bengong, lalu tersenyum kecil. “Aku juga baru sadar,” suaranya berat, nyaris serak karena baru bangun tidur.
Mereka berdua tak segera menjauh. Justru sebaliknya, kedekatan itu makin terasa karena tidak ada yang bergerak. Hanya suara napas mereka yang bergantian terdengar, hangat dan nyata.
Arman akhirnya menelan ludah, berusaha memecah ketegangan. “Wid… kalau aku bilang aku nggak mau geser, kamu marah nggak?”
Widya membulatkan mata, pipinya langsung panas. “Mas… jangan aneh-aneh.”
Arman terkekeh pelan, tapi masih belum mundur. “Nggak aneh-aneh kok. Aku cuma ngerasa… nyaman aja.”
Widya buru-buru memalingkan wajah, tapi itu hanya membuat jarak mereka berubah tipis di sisi lain. “Ya udah, tiduran lagi aja. Sore-sore gini malah ngomong yang aneh.”
Arman menghela napas, lalu dengan enggan akhirnya mundur sedikit, memberi ruang. Tapi sebelum benar-benar menjauh, jemarinya sempat menyentuh pelan pipi Widya. Sengaja atau tidak, ia pun tak yakin.
Widya menahan napas, lalu cepat-cepat bangun dan merapikan rambutnya. “Aku… aku bikin teh dulu deh,” ucapnya gugup, kabur menuju dapur.
Arman hanya menatap punggung Widya yang menjauh, lalu tersenyum tipis sambil mengacak rambutnya sendiri. “Widya, kamu itu bikin aku makin susah jaga diri tau nggak?” Arman langsung mengusap wajahnya resah.
“Wajah kami terlalu dekat tadi. Begitu dekat sampai aku bisa merasakan tiap hembusan napasnya di kulitku sendiri. Rasanya dada ini nyaris meledak. Kalau aku bilang aku tenang, jelas bohong. Aku bukan malaikat. Aku laki-laki normal, aku udah dewasa, punya nafsu, dan punya istri yang sekarang terlelap di hadapanku.” Arman kembali menghembuskan napasnya berat, setelahnya menatap langit-langit kamar.
“Harusnya aku bisa saja beralasan: kita sah secara agama, sah secara negara, kakek juga udah minta cicit. Tinggal aku rapatkan jarak, tinggal aku biarkan jemariku bergerak lebih jauh, semua jadi “halal”. Tapi apa cuma itu yang aku mau?”
Widya masih muda, masih berproses, masih berusaha menerima kehadiranku dalam hidupnya. Kalau aku terburu-buru, apa jadinya? Aku takut yang ada bukan cinta, melainkan luka.”
“Sulit sekali menahan diri. Sulit gila. Kadang aku iri sama orang yang bilang menikah muda itu penuh manisnya, karena kenyataannya… manis, iya. Tapi getirnya, godaannya, itu lebih berat.”
Arman menghembuskan napas panjang. Hampir saja dia tadi kehilangan kendali. Kalau saja tadi dia tidak cepat sadar, mungkin dia sudah…..lalu Widya….
Arman langsung menggeram.
“Masih mending lembur dan dimarahi bos, ketimbang harus menahan diri gini terus tiap malam.” gerutu Arman, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Ia ingin membasahi kepalanya dengan air, biar rasa panas di kepalanya bisa langsung mendingin.
------