Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.
Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.
Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIDAK MENDAPAT IZIN
Di lapangan latihan indoor Nexora FC, Kaelith terlihat mengenakan jersey latihan berwarna hitam dengan garis emas di sisi lengan. Keringat mengalir di pelipisnya, tapi fokusnya tidak terganggu sedikit pun.
Permainan pagi ini bukan sekadar latihan fisik, tapi game kekompakan tim permainan strategi yang menuntut kecepatan berpikir dan kerja sama. Bola berpindah cepat dari satu pemain ke pemain lain, dan Kaelith menjadi poros permainan.
"Kaelith, kiri!" teriak salah satu pemain, Dreven, sambil mengoper bola dengan kecepatan tinggi.
Kaelith menerimanya dengan satu sentuhan dan langsung memberi umpan terobosan ke arah Thalion Drevaris, penyerang muda berbakat yang baru masuk tim utama. Dengan gerakan gesit, Thalion mencetak gol simulasi.
Pelatih meniup peluit, tanda bahwa sesi kekompakan selesai.
“Bagus!” seru pelatih mereka, menepuk tangan. “Kaelith, terus pertahankan ritme itu.”
Kaelith hanya mengangguk singkat, mengusap keringat dengan handuk yang disodorkan oleh asistennya. Napasnya masih teratur, namun matanya menyiratkan bahwa pikirannya tidak sepenuhnya di lapangan.
Ia membuka botol air, meneguknya sambil menatap kosong ke langit-langit gedung latihan. Tak ada yang menyadari, bahwa sesekali, bayangan wajah Nayara masih memenuhi kepalanya bahkan di tengah keramaian tim dan peluh kerja keras.
Kaelith duduk di bangku pinggir lapangan, menunduk sambil menggenggam botol minumnya. Keringat masih membasahi pelipis dan tengkuknya, tapi pikirannya sudah jauh dari sesi latihan barusan.
Rayneth menghampiri, menjatuhkan dirinya duduk di samping Kaelith.
"Kau kelihatan seperti orang yang banyak pikiran," ucap Rayneth ringan, meski nada suaranya menyiratkan keprihatinan.
Kaelith mendesah pendek. "Apa sekarang kau pakar ekspresi, hah?"
Rayneth terkekeh. "Maybe. Tapi sahabat tahu kapan sahabatnya kepikiran sesuatu."
Diam sesaat. Kaelith menggulirkan botol air di tangannya, lalu melempar pandang ke arah lapangan kosong.
"Apa kau sudah ambil keputusan soal tawaran dari klub Asia itu?" tanya Rayneth, kini dengan nada lebih serius.
Kaelith menggeleng pelan. "Belum kupastikan."
"Padahal gajinya besar, dan status mu bakal naik level di sana. Banyak pemain Eropa mulai pindah ke sana sekarang."
Kaelith hanya menanggapi dengan gumaman tak jelas. Jujur, tawaran itu sangat menggiurkan. Klub dari Jepang itu bukan hanya menjanjikan uang besar, tapi juga eksposur yang luar biasa.
Namun satu hal yang menahan langkahnya yaitu, Nayara.
Jika ia menerima tawaran itu, berarti ia harus meninggalkan wanita itu di kota ini, sendiri, tanpa perlindungan. Dan itu bukan sesuatu yang bisa Kaelith terima dengan mudah.
"Jauh ya, Jepang dari Spanyol," gumam Kaelith, lebih pada dirinya sendiri.
Rayneth menoleh cepat. "Ini tentang Nayara?"
Kaelith tidak menjawab, tapi sorot matanya menjelaskan segalanya.
Rayneth menepuk pundaknya, paham meski tanpa banyak kata. "Kalau dia cukup penting buatmu, maka pikirkan cara agar kalian tetap dekat meski jarak memisahkan."
Malam itu, Kaelith pulang ke apartemen dalam diam. Ia membuka pintu kamar Nayara perlahan, dan pandangannya langsung tertuju pada gadis itu yang tengah duduk di depan meja belajarnya.
Di bawah cahaya lampu temaram, Nayara tampak tenggelam dalam tumpukan buku dan layar laptop yang menyala. Jari-jarinya sibuk mengetik, alisnya sedikit berkerut, menunjukkan betapa dalamnya ia larut dalam tugas kuliahnya.
Kaelith hanya berdiri di ambang pintu, memperhatikannya dalam diam seolah enggan mengganggu ketenangan malam yang menyelimuti kamar itu.
Keesokan paginya, Kaelith mengantar Nayara ke kampus. Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang mengisi ruang di antara mereka. Tak ada percakapan, hanya dentingan musik pelan dari radio mobil yang menemani.
Mobil berhenti tepat di depan gerbang kampus.
Saat Nayara hendak membuka pintu, tangan Kaelith menahan pergelangan tangannya. Ia menatap Nayara dalam, lalu mendekat dan mengecup lembut bibir gadis itu seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak sanggup ia ucapkan.
"Aku tidak bisa menjemputmu hari ini," ucap Kaelith, jari-jarinya menyentuh pipi Nayara dengan pelan. "Jadi... langsung pulang setelah kelas, ya?"
Nayara mengangguk pelan, lalu turun dari mobil tanpa kata. Hatinya masih terasa hangat oleh sisa sentuhan Kaelith, namun pikirannya tetap penuh tanya.
Nayara tiba di kelas tepat waktu, lalu tak lama kemudian Caelisya datang, berjalan cepat menyusul di belakang dosen mereka yang juga baru tiba.
“Tumben kau terlambat, Caelisya?” tanya Nayara, memperhatikan wajah sahabatnya yang memerah dan sedikit berkeringat.
“Aku kesiangan. Untung saja masih sempat datang,” jawab Caelisya sambil menghela napas lega.
Ia duduk di samping Nayara, lalu membuka botol air mineral yang sempat ia beli di kantin, meneguknya perlahan untuk meredakan dahaga.
Hari ini hanya ada tiga kelas, dan dua di antaranya sudah mereka jalani. Kini Nayara dan Caelisya tampak duduk santai menikmati makan siang bersama, sementara Nazerin tidak terlihat di lingkungan kampus.
“Di mana Nazerin? Apa dia tidak masuk kuliah?” tanya Nayara heran.
“Sepertinya tidak. Aku dengar dia pergi berlibur sekaligus menghadiri pemberkatan pernikahan kakaknya di Lisboa. Oh ya, dia juga mengundang kita,” jawab Caelisya sambil menyendok makanannya.
“Kapan?” tanya Nayara pelan.
“Minggu ini. Kau bisa ikut, kan?” Caelisya menatap penuh harap.
“Aku tidak tahu, Cael… itu sangat jauh,” jawab Nayara, suaranya merendah. Dalam hatinya, ia sudah bisa menebak bahwa Kaelith tidak akan pernah mengizinkannya pergi sejauh itu.
“Dari Sevilla ke Lisboa itu tidak jauh, Nayara. Paling cuma satu sampai dua jam kalau kita naik pesawat,” ucap Caelisya, mencoba membujuk sahabatnya dengan suara penuh harap.
Nayara terdiam. Tatapannya kosong menatap sisa makanan di hadapannya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, ia ingin sekali pergi, menikmati waktu bersama sahabat-sahabatnya. Tapi di sisi lain… ia tahu, Kaelith tidak akan membiarkannya begitu saja.
"Bagaimana? Mau ya, kapan lagi kita liburan bareng," bujuk Caelisya sambil tersenyum penuh harap.
Nayara tersenyum tipis, menyembunyikan kegelisahan yang berkecamuk di hatinya.
"Akan aku pikirkan dulu, Cael," ucapnya pelan.
Keesokan paginya, Nayara membuka pintu kamar dan mendapati Kaelith masih berada di apartemen, tengah berolahraga di atas treadmill.
“Kau belum latihan?” tanya Nayara, sedikit heran.
“Mulai jam dua belas siang. Ada apa?” Kaelith menatapnya sembari melanjutkan gerakan.
Nayara melangkah mendekat, berdiri di sisi treadmill.
“Aku ingin ke Lisboa,” ucapnya langsung, tanpa basa-basi.
Kaelith menghentikan alat olahraga itu, lalu turun dan mengambil handuk untuk menyeka keringat di wajah dan dadanya.
“Apa?” tanyanya datar.
“Aku ingin ke Lisboa... bersama kedua sahabatku. Hanya untuk beberapa hari.”
"Harusnya kau sudah tahu jawabanku, tanpa perlu bertanya lagi," ucap Kaelith, setelah meneguk air mineral dari botol di tangannya.
Ia berjalan menuju sofa dan duduk dengan santai, seolah pembicaraan barusan tidak penting. Nayara menyusul, duduk di sampingnya, mencoba meredam kekesalan yang mulai memenuhi dadanya.
"Ayolah, Kaelith... aku sungguh jenuh terus berada di Sevilla. Aku hanya minta beberapa hari saja. Di sana ada Caelisya dan Nazerin. Aku janji, aku tidak akan macam-macam," ucap Nayara, suaranya pelan namun penuh harap.
"Kau, sejak berteman dengan mereka, mulai banyak tingkah, Nayara." Kaelith menatap tajam. "Aku menyesal sudah membiarkanmu terlalu dekat dengan dua wanita itu."
Nayara menghela napas, mencoba tetap tenang. "Kami hanya akan menghadiri pemberkatan pernikahan kakak Nazerin. Setelah itu, liburan sebentar, lalu kembali ke Sevilla seperti biasa."
Kaelith mengalihkan pandangannya ke arah jendela, rahangnya mengeras. Nayara tahu, permintaan sederhana seperti ini akan selalu jadi medan perang.
"Tidak," jawab Kaelith singkat, nadanya mutlak, tak memberi ruang negosiasi.
Nayara terdiam sesaat, menahan napas, tapi amarahnya perlahan naik ke permukaan. "Kau bahkan tidak mencoba mempertimbangkannya?"
Kaelith tak menjawab. Ia sudah kembali berdiri, melangkah ke treadmill dan mulai menyalakannya seperti tidak terjadi apa-apa.
"Kau selalu begitu!" Nayara berdiri dari sofa, nadanya meninggi. "Kau mengaturku seolah aku ini milikmu sepenuhnya. Bahkan saat aku hanya ingin bernapas sedikit saja itu pun kau larang!"
Kaelith menoleh cepat, sorot matanya tajam namun tetap dingin. "Karena kau memang milikku, Nayara."
Nayara masuk ke dalam kamar dengan langkah cepat, tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Dengan satu hentakan keras, pintu tertutup di belakangnya.
Ceklek.
Ia mengunci pintu, lalu bersandar pada kayunya, napasnya memburu, dadanya naik-turun menahan emosi yang nyaris meledak.
“Dasar egois…” bisiknya pelan, matanya mulai memanas.
Ia berjalan ke tempat tidur dan menjatuhkan diri di atasnya, wajahnya terkubur di bantal. Tangisnya pecah, teredam namun menyakitkan.
Di luar, suara treadmill masih terdengar. Kaelith seolah tidak peduli. Atau justru sengaja berpura-pura tak peduli.